Mohon tunggu...
Enggar Murdiasih
Enggar Murdiasih Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Ibu Rumah Tangga

penggemar fiksi, mencoba menuliskannya dengan hati

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sepertiga Bulan

10 Juli 2015   08:42 Diperbarui: 10 Juli 2015   08:42 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

malam
rengkuh jiwa jiwa merindu
yang tergetar
kala lafadz mengalun
sayup
lirih
sendu mendayu

 

dan aku tersungkur
di lembar sajadah usang
basah oleh derai

 

~~~~~~~~~~

 

Nurina terduduk lesu. Sejak tadi ia berdiri menunggu. Beranda menjadi saksi betapa ia berusaha meyimpan resah yang bermunculan di wajahnya. Resah yang membuatnya tak sanggup berdiri diam. Sesekali kakinya melangkah, mondar mandir. Entah sudah berapa puluh kali ia melintasi beranda itu. Dari tiang di sisi kiri, menuju ke tiang di sisi kanan. Bolak balik. Ratusan kali. Tak terhitung sudah.

 

Arya belum muncul juga. Laki-laki yang berjanji ingin mengunjunginya malam ini. Dia, yang tawarkan sebuah mimpi di perjumpaan terakhirnya bulan lalu.

"Tunggulah. Di sepertiga bulan aku akan datang. Lengkap berikut surat-surat yang kau butuhkan," bisik Arya saat berpamitan pulang.

"Bukankah itu saatnya mas bermunajat kepadaNya?" Tak sanggup menahan gembira, Nurina spontan bertanya. Ujung telunjuknya menunjuk ke atas.

"Kita akan lakukan bersama, segera setelah kita wujudkan mimpi kita," senyum yang mengembang itu meluruhkan kekhawatiran Nurina seketika.

Seakan tak ingin melepaskan genggaman jemari itu, Nurina berjalan mengikuti langkah lelaki itu hingga memasuki  Stasiun Tugu. Pintu peron keberangkatan penumpang lah yang akhirnya memaksa mereka berpisah.

"Mas janji? Aku sangat berharap padamu," Nurina memaksakan seulas senyum, meski hatinya seakan terbelah. Ditahannya air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

 

==========

 

 

Lantunan suara orang-orang yang mengaji di masjid ujung desa masih terdengar sayup sayup. Sudah jam sebelas malam. Angin musim kemarau menebarkan udara dingin. Serasa membekukan tulang-tulangnya. Nurina masih tetap bertahan di beranda.

Dicobanya untuk membaca buku yang sejak tadi dibiarkannya tergeletak di samping cangkir kopinya. Sebuah novel percintaan kiriman seorang teman baiknya dari Makassar.

Dari sekilas kisah yang tercetak di sampul belakang, nampaknya cerita dalam novel itu menarik untuk disimak. Namun hati Nurina tak fokus ke alur cerita. Ia masih menyimpan harap, Arya akan datang malam ini.

 

Sorot lampu mobil yang mengarah ke jalan depan rumahnya membuatnya tersenyum sendiri. Ia segera berdiri, merapikan rambutnya yang masai tertiup angin lalu bersiap-siap dengan sambutan termanisnya.

Ketika mobil itu benar-benar berhenti di depan rumahnya, Nurina segera membukakan pintu pagar yang tak dikuncinya sedari tadi.

"Selamat malam. Benarkah ini rumah Ibu Nurina?" seorang Polisi nampak berdiri di hadapannya dalam sikap sempurna.

Ia hanya berdiri diam.

"Ibu .......,"

Nurina tergagap.

"Ooh ....eehh iya. Iya. Saya sendiri."

Dipersilakannya Polisi itu memasuki gerbang, tangannya gemetar menahan pintu agar tak terhempas angin.

 

Entah apa yang dibicarakan oleh Polisi simpatik itu, Nurina hampir-hampir tak bisa mencernanya dengan baik. Diterimanya surat-surat yang disorongkan ke hadapannya. Berita yang dibawa Polisi itu telah mengacaukan konsentrasinya.

Setelah menanda tangani seluruh berkas, Nurina menjabat tangan yang terulur itu dengan hati patah.

"Saya pamit bu. Semoga Ibu baik-baik saja yaa." Setelah memberi salam, Polisi itu berbalik arah dan segera menghilang di kelokan jalan.

 

==========

 

"Nuri ...... Sepertinya tadi ada yang datang. Siapa?" Ibu yang muncul dari dalam kamar melongokkan kepalanya ke luar. Tak ada siapapun.

"Iya bu. Pak Polisi," jawabnya.

"Polisi? Apa ....apa yang terjadi?"

"Ini bu. Dia mengantarkan ini ....," Nurina menyorongkan sebendel berkas yang ada di hadapannya.

Setelah meraih kacamatanya, Bu Marmoyo membaca lembar demi lembar dengan teliti. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat. Sesekali diliriknya wajah Nurina yang seputih kapas.

"Nuri, kau tak apa-apa nak?" sedunya kemudian. Ia hampir tak mempercayai apa yang dibacanya.

Dielusnya bahu anak perempuannya, lembut. Wajahnya masih menyisakan shock luar biasa.

 

"Ayo nak. Kita ambil air wudhu. Adukan segala keluhmu padaNya. Ini waktu yang tepat untuk bermunajat. Sepertiga malam ....," Bu Marmoyo membimbing Nurina ke padasan yang terletak di sisi kiri beranda. Nurina menurut. Langkahnya lunglai, tubuhnya seperti tak bertulang.

Dua rakaat.

Empat rakaat.

Dan Nurina tenggelam dalam doa-doa yang panjang.

Ia hanya meminum susu dicampur madu yang didororkan ibunya. Meskipun susah payah, tersedak beberapa kali namun susu itu habis diminumnya.

Bu Marmoyo tersenyum, dielusnya kepala anak perempuannya itu penuh kasih.

 

========== b e r s a m b u n g ==========

 

 

 

 

 

      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun