"Kita akan lakukan bersama, segera setelah kita wujudkan mimpi kita," senyum yang mengembang itu meluruhkan kekhawatiran Nurina seketika.
Seakan tak ingin melepaskan genggaman jemari itu, Nurina berjalan mengikuti langkah lelaki itu hingga memasuki Stasiun Tugu. Pintu peron keberangkatan penumpang lah yang akhirnya memaksa mereka berpisah.
"Mas janji? Aku sangat berharap padamu," Nurina memaksakan seulas senyum, meski hatinya seakan terbelah. Ditahannya air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Â
==========
Â
Â
Lantunan suara orang-orang yang mengaji di masjid ujung desa masih terdengar sayup sayup. Sudah jam sebelas malam. Angin musim kemarau menebarkan udara dingin. Serasa membekukan tulang-tulangnya. Nurina masih tetap bertahan di beranda.
Dicobanya untuk membaca buku yang sejak tadi dibiarkannya tergeletak di samping cangkir kopinya. Sebuah novel percintaan kiriman seorang teman baiknya dari Makassar.
Dari sekilas kisah yang tercetak di sampul belakang, nampaknya cerita dalam novel itu menarik untuk disimak. Namun hati Nurina tak fokus ke alur cerita. Ia masih menyimpan harap, Arya akan datang malam ini.
Â