"Hilmy, duduk di sebelah sini," pintanya lembut. Tangan kirinya menepuk sisi sofa yang didudukinya. Bocah kecilku beringsut mendekat. Sorot matanya penuh pertanyaan yang tak terucapkan. Kuelus rambutnya, berusaha menenangkannya.
"Kakak Cyria, mau duduk di mana? Di sofa yang itu atau di samping adik?" Lydia diam menunggu. Cyria kebingungan.
"Ayo kakak, pilih yang mana?" Hilmy berteriak tidak sabar. Akhirnya dhenok - sebutan untuk anak perempuan - bergeser ke sofa yang ditunjukkan mamanya. Matanya yang bulat menyorotkan keingintahuan yang besar.
"Naah siippp. Sekarang, papa duduk di sini. Nanti, bantuin mama yaaa .....," isteriku sigap menyodorkan beberapa karton yang sudah diguntingnya menjadi benda-benda lucu ke hadapanku. Entah sejak kapan ia mengerjakannya. Setahuku, Lydia hampir tak pernah mempunyai waktu luang untuk sekedar menggunting atau membuatkan mainan untuk kedua bocah kecil kami.
~**~
"Tumben. Kok Lydia nggak ngomel-ngomel saat listrik padam seperti ini? Biasanya ia mengeluh panjang pendek kalau tiba-tiba lampu mati. Apa yang direncanakannya kali ini?" gumamku tidak percaya. Aku sangat mengenalnya dengan baik. Ia paling tidak suka bila aliran listrik padam. Apalagi bila bak penampungan air lupa diisi, Lydia bisa menggerutu sepanjang hari. Aku tahu, dia tidak bisa jauh jauh dari air. Kedua anakku pun mengikuti kebiasaannya.
Setiap hari Minggu tiba, Lydia akan bermain-main air dengan mereka di halaman. Menyiram tanaman, menyemprot anak-anak dengan air dari slang yang mengucur, membiarkan mereka bereksperimen dengan gundukan tanah dan pasir yang tersedia di sudut halaman. Teriakan dan tawa mereka terdengar riuh rendah memenuhi seantero rumah. Aah, senangnya.
~**~
"Paa .....," tepukan tangan Lydia di pahaku mengagetkanku. Aku terlonjak. Hilmy dan Cyria tergelak-gelak.
"Papa melamun siii .....," protes mereka.
"Hayuuuu ..... sekarang semua duduk manis. Tidak boleh berisik dan dengarkan mama. Akan ada hadiah untuk siapa yang bisa menjawab pertanyaan .....," perintah Lydia tegas.