Mohon tunggu...
Enggar Murdiasih
Enggar Murdiasih Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Ibu Rumah Tangga

penggemar fiksi, mencoba menuliskannya dengan hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[ECR 5] Pos Ronda yang Berubah Wajah

1 September 2014   17:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:55 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kuseret koperku asal-asalan. Perjalanan panjang yang mesti kutempuh menyisakan penat yang sangat. Kuseka keringat yang mengalir di keningku, sesekali kukipas-kipaskan kerudung ke arah wajah. Sekedar mengurangi rasa panas terik yang menyengat.

September baru saja menapakkan kakinya. Mendung sudah lama pergi menghilang, menyisakan udara panas yang berdebu, juga tanaman yang meranggas. Beberapa malah sudah layu dan mengering.

Tak ada ojek yang biasa berseliweran di sepanjang jalan Desa Rangkat. Entah, mungkin karena kelarisan, mungkin sedang berteduh, atau mungkin sedang mengudap segelas dua gelas es sari tebu di kelokan jalan.

"Bunda Enggar? Beneran ini bunda?" kudengar teriakan tertahan dari balik punggungku. Aku menghentikan langkahku. Kutoleh siapa dia yang menegurku.

"Icha........,"  belum juga kuselesaikan kalimatku, gadis itu sudah menghambur untuk memelukku.

"Icha kangen banget buundd......," serunya. Tangannya masih memelukku erat. Kuelus kepalanya penuh kasih.

Sambil berjalan bersisian, gadis itu bercerita panjang lebar tentang keadaan Desa Rangkat. Tentu saja banyak sekali cerita yang tak kuketahui. Sejak awal puasa, aku memang memutuskan untuk tetirah ke kampung halamanku. Disamping mengunjungi makam almarhum ayahku, aku juga menjaga ibu yang sendirian. Sebagai anak perempuan satu-satunya, ibu lebih sreg bila aku yang menemaninya di kampung.

=======

"Kita istirahat dulu di Pos Ronda yuuk bund.....," ajak Icha. Ia menghempaskan pantatnya ke lantai pos ronda asal-asalan. Tak dipedulikannya debu yang teronggok tebal di sana sini.

"Kok tumben pos rondanya kotor begini? Memangnya nggak pernah dibersihkan lagi ya?"

" Sekarang sepi bund. Tak ada lagi warga Rangkat yang ngumpul bareng siang siang. Sekedar rujakan, lotisan atau mengudap gorengan bareng bareng....," keluh Icha.

"Begitukah? Lalu kemana mas Ibay, mas Hans, Dorma, Acik......juga Bu Kades?" tanyaku heran.

"Warga baru sii banyak bund, tapi mereka hanya datang, melapor kalau bertempat tinggal di sini. Terkadang hanya pasang iklan di dinding pos ronda.....lalu ilang deeh. Mungkin dikiranya desa kita ini sama dengan desa lainnya. Tempat ngiklan doang," gerutu Icha panjang pendek.

Tak lama kudengar dentingan stang sepeda yang dipukul-pukul sebagai pengganti bel. Itu dia. Rambut kribonya yang makin panjang berkibar-kibar tertiup angin.

"Kang Kriboooo.......," Icha berseru girang.

Kang Inin tertawa-tawa sambil menggowes pedal sepedanya lebih kencang. Icha memekik kaget ketika Kang Inin tergesa-gesa meletakkan sepedanya. Tanpa bisa ditahan, sepeda itu ambruk. Kang Inin justru mendekatiku dan mencium punggung tanganku.

"Bund.......sudah lama yaa? Haduuuhh, kok enggak nelpon dulu. Tadi biar Inin bisa jemput di terminal.....," katanya. Senyum sumringahnya tak mampu menutupi kelelahan yang tergambar jelas di raut wajahnya.

"Nggak apa apa kang.....bund sengaja tidak memberi tahu kok. Biar jadi kejutan....," jawabku menenangkannya.

"Nyuhunkeun dihapunten bund....," serunya lagi.

"Haduuhhh kang. Roaming atuuh. Bund nggak mudheng artinya apa?" sahutku tertawa.

Icha tergelak-gelak. Kang Inin hanya nyengir salah tingkah.

=======

Selesai menurunkan koper dari boncengan sepeda, Kang Inin sigap meminta kunci rumah padaku. Dia melarangku untuk memasuki rumah.

"Bunda duduk dulu di sini....," katanya sambil menunjuk bangku yang ada di sudut beranda. Aku menurut. Kuperhatikan saja apa yang akan dilakukannya.

Benar saja, dengan kemoceng di tangan kiri dan sapu lantai di tangan kanan, Kang Inin sibuk membersihkan lantai dan perabotan yang lama kutinggalkan. Untungnya, tanaman di halaman masih tetap subur menghijau, daun-daunnya terpangkas rapi. Sepertinya ada yang rajin menyiram halaman.

"Kang Inin juga yang sering menyiram tanaman ini?" tanyaku. Takjub. Biasanya Kang Inin tak pernah peduli dengan taman kecilku.

"Akuuuu....aku yang menyiramnya buundd.....," kudengar teriakan dan langkah kaki berlari dari rumah sebelah. Elhida dan Zaa tengah beradu cepat menghambur ke arahku.

"Anak ini....." gelengku. "Sudah menikah tapi masih kaya anak kecil saja..... ."

Kusambut uluran tangan mereka dan memeluknya. Sejurus kemudian, hingar bingar terdengar dari dalam rumahku. Icha, Kang Inin, Elhida dan Zaa saling berebut peralatan untuk membersihkan rumah.

Aku masih tertahan di beranda.

Ah, rindunyaa. Desa Rangkat yang sejuk dan penuh cinta.

====&&&&====

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun