Setiap kali usai pemilu dan jelang peralihan perubahan kepemimpinan janji-janji mulai ditagih, bukan karena pendukung tidak percaya dengan janji manis saat kampanye tetapi khawatir sang pemimpin terpilih lupa janjinya karena saking banyaknya janji-janji itu diucapkan.
Saat kampanye adalah saat dimana setiap pemilih memilah dan memilih siapa yang akan dipilih sebagai pemimpin negara ini. Harapannya adalah terjadinya perubahan nasib terutama bagi sebagian besar kaum proletar.Â
Kaum ini merupakan kaum yang termarjinalkan secara status sosial. Namun faktanya proletariansme merajai setiap kelas-kela sosial diantaranya kelompok-kelompok yang menuntut perbaikan nasib, masa depan serta kesehatan.
Kita menyaksikan sejumlah warta menyebutkan kaum buruh selalu turun ke jalan menyuarakan nasib, masa depan dan juga perbaikan ekonomi dengan tuntutan kenaikan upah dan penyesuaian UU ketenagakerjaan yang setiap tahunnya selalu meningkat di masing-masing wilayah.Â
Tuntutan tersebut mendapat perhatian dari pemerintah dan faktanya upah minimum regional, upah minimum kabupaten atau provinsi menjadi standar upah buruh tak melihat apakah buruh itu lulusan SD, SMP atau SMA atau mungkin sebagiannya lulusan S1.
Demikian pun kalangan guru berunjuk rasa meminta perbaikan nasib. Jutaan guru honorer turun ke jalan menuntut pengangkatan status dari honorer menjadi ASN. Semboyan "PNS harga mati" Pun sukses menuai perhatian pemerintah dan publik.Â
Dukungan pun mengalir hal ini tentu saja berkenaan dengan nasib para anak didik yang memerlukan kehadiran mereka didalam kelas. Â
Unjukrasa berhari-hari dan meninggalkan kelas menjadi senjata ampuh dalam mengambil simpati publik. Dukungan disertai kebijakan pemerintah menghantarkan para guru menuju masa depan, sejumlah janji ditunaikan mulai dari pengangkatan menjadi ASN.
 Tunjangan sertifikasi yang lebih simpel dan mudah serta tunjangan kinerja dan tunjangan daerah mengalir ke rekening menghantarkan proses guru menjadi profesi yang kini populer dan profesi impian. Lalu bagaimana dengan dosen? Halo apa kabar dengan nasib dosen?
Dikutip dari penelitian kesejahteraan dosen UI-UGM-UNRAM tahun 2023 tingkat pendapatan dosen diatas Rp 5 juta hanya sekitar 27,3% pendapatan dosen dengan kisaran Rp 3 juta hingga 5 juta sekitar 29,8% dan dosen yang berpendapatan dibawah Rp 3 juta terdapat sekitar 42,9 %.
Fakta ini menunjukkan rendahnya tingkat kesejahteraan dosen. Jika dibandingkan dengan guru status PPPK dan ditambah tunjangan sertifikasi pendapatan guru lebih tinggi dan lebih sejahtera.Â
 Jika melihat syarat yang harus dipenuhi dosen, bahwa dosen minimal harus berpendidikan S2 dengan perolehan pendapatan yang sangat rendah maka patut dipertanyakan kesungguhan pemerintah terhadap komitmennya terkait dengan penjaminan peningkatan kualitas pendidikan terutama yang terkait dengan nasib pejuang pendidikan.
Belum lagi dosen yang mengajar di kampus kecil di daerah kabupaten yang tingkat pendapatan penduduknya lebih rendah
Bahwa bukan hanya guru yang perlu diperhatikan nasib dan kesejahteraannya namun dosen pun terlebih lagi karena guru tidak akan ada jika tidak ada dosen. Dosen diberikan tanggungjawab dan kewajiban yang lebih besar.Â
Dosen diwajibkan melakukan Tridharma Perguruan Tinggi yang berat. Selain mengajar, dosen harus melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat.
Berdasarkan penelitian bahwa terdapat 42,9 % dosen mendapat gaji dibawah Rp 3 juta. Kemungkinan kampus-kampus kecil hanya mampu memberikan honor kisaran 1-2, 5 juta saja.Â
Jumlah  tersebut tidak memenuhi kriteria kesejahteraan atau tingkat kelayakan gaji dosen yang rata-rata lulusan S2.Â
Jika dibandingkan dengan profesi lain seperti karyawan swasta, buruh pabrik, bahkan sopir jaklingko yang telah menerima upah berdasarkan UMK, UMR atau UMP nasib dosen lebih buruk.
Namun mengapa masalah kesejahteraan dosen tidak menjadi perhatian? Faktanya dosen mengajar di beberapa kampus demi untuk menambah penghasilan.Â
Dosen nyambi berjualan online atau nyambi pekerjaan lain  wajah dosen saat menerima gaji tidak terlihat sumringah malah sebaliknya, wajah yang muram.
Isu tentang kesejahteraan dosen pun hanya sayup -sayup. Banyak pihak tidak percaya dengan kondisi ril para dosen. Dosen dianggap sebagai profesi mentereng yang berpenghasilan tinggi dan sejahtera. Padahal faktanya jauh panggang dari api. Kalangan dosen pun enggan lakukan unjuk rasa menuntut kenaikan gaji.
Tetapi sejatinya keluhan dosen harusnya menjadi perhatian pemerintah. Apalagi pada program Asta Cita Presiden Prabowo kesejahteraan dosen masuk radar isu yang patut diungkapkan ke publik.
Program kerja asta cita 4 memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM) sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda dan penyandang disabilitas.
Pada bidang memperkuat pendidikan, sains dan teknologi pada point 36.Â
Terdapat kalimat, "Meningkatkan kesejahteraan dosen, peneliti, dan penyuluh, serta memberikan akses yang mudah bagi generasi muda yang ingin melanjutkan pendidikan dengan meningkatkan ketersediaan daya tampung perguruan tinggi, standarisasi kualitas, dan mempermudah akses masuk perguruan tinggi."
Artinya presiden Prabowo memberikan janji terkait dengan kesejahteraan dosen. Hanya saja sejauh mana dosen mengetahui hal ini, sebab yang sering di gembor -gemborkan adalah peningkatan gaji guru.Â
Jika menilik profesi guru, guru sudah diberikan perhatian yang lebih dan layak. Sedangkan untuk dosen belum ada yang melirik isu penting ini kendatipun dosen itu sendiri.Â
Akankah dosen akan mengikuti langkah kongkrit sejumlah Hakim yang menuntut kesejahteraan? Dan jangan sampai pula isu kesejahteraan hanya di gulirkan oleh dosen PNS yang memang telah jelas aturan remunerasinya. Justru yang belum kelas remunerasinya adalah dosen Perguruan tinggi swasta dan non PNS. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H