Mohon tunggu...
NUR ENDY
NUR ENDY Mohon Tunggu... Guru - Guru

Belajar, Bergerak, Berbagi, dan Menggerakkan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Budaya Positif di Kelas dan Sekolah

16 Desember 2021   03:17 Diperbarui: 16 Desember 2021   03:26 5122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1) Pemahaman dan hal-hal menarik bagi saya terkait konsep-konsep inti pada materi modul 1.4: disiplin positif, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi

Modul 1.4 menyajikan materi yang menarik dan tergolong baru bagi diri saya. Sehingga untuk dapat menemukan dan memahami konsep-konsep inti yang dimunculkan dalam modul ini membutuhkan kemampuan literasi yang mendalam. 

Selain harus dengan membaca secara seksama, kegiatan diskusi dan kolaborasi bersama rekan-rekan CGP lain dalam menganalisa beberapa kasus dalam modul ini sangat membantu saya dalam memahami materi.

Makna kata 'disiplin' pada materi disiplin positif memberikan pandangan baru bagi saya. Jika sebelumnya saya berpikir bahwa disiplin anak muncul karena adanya aturan dan tata tertib di kelas/sekolah, maka sekarang saya paham bahwa disiplin anak yang sebenarnya harus ditumbuhkembangkan dari keyakinan positif yang telah ada dalam dirinya, sehingga kedisiplinan itu sendiri dapat bertahan dalam jangka panjang dan memang benar-benar dibutuhkan dalam kehidupan anak. 

Jadi, aturan dan tata tertib yang ada di kelas/sekolah harus muncul dari keyakinan positif anak yang disepakati dan menjadi komitmen bersama dalam bentuk keyakinan kelas.

Materi terkait kebutuhan dasar manusia menjadi menarik bagi saya, karena ternyata setiap tindakan yang dilakukan oleh anak, entah itu positif atau negatif, pada dasarnya mempunyai alasan tertentu. Alasan-alasan itulah yang pada akhirnya disebut sebagai pemenuhan kebutuhan dasar. 

Lima (5) kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), cinta dan kasih sayang (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan kekuasaan (power) menjadi pengetahuan baru bagi saya. Sebagai guru, kita harus jeli dan ulet dalam mengidentifikasi kebutuhan dasar masing-masing individu murid di kelas. 

Dengan mengetahui dan memahami kebutuhan dasar setiap murid, tentunya kita akan lebih mudah mengarahkan serta memfasilitasi mereka untuk bisa memenuhi kebutuhan dasarnya dengan cara-cara positif.

Hal menarik dari materi Lima (5) posisi kontrol menurut saya adalah adanya dampak berbeda yang akan diterima oleh murid saat seorang guru menerapkan beberapa kontrol terhadap dirinya dari lima posisi tersebut. Hal tersebut menarik karena saya bisa merefleksikan diri atas praktik penerapan disiplin yang selama ini telah saya lakukan terhadap anak.

Materi restitusi bagi saya juga merupakan pengetahuan dan pengalaman yang baru. Hal yang tidak terduga bagi saya adalah bahwa ternyata posisi kontrol yang kita ambil dalam proses penerapan disiplin anak akan sangat mempengaruhi proses dan hasil restitusi anak tersebut. 

Sepuluh (10) ciri khusus restitusi menjadi dasar utama bagaimana sebuah restitusi bisa dikatakan berhasil atau gagal. Tiga (3) tahapan restitusi yang tersusun dalam bentuk Segitiga Restitusi/restitution triangle (Menstabilkan Identitas/Stabilize the Identity, Validasi Tindakan yang Salah/Validate the Misbehaviour, Menanyakan Keyakinan/Seek the Belief) juga akan memudahkan seorang guru dalam menyiapkan proses restitusi pada muridnya. 

2) Pengalaman saya dalam menggunakan konsep-konsep inti materi modul 1.4 dalam menciptakan budaya positif baik di lingkup kelas maupun sekolah

Untuk dapat menciptakan budaya positif dalam sebuah lingkungan komunitas, maka harus menggunakan cara-cara yang positif pula, meskipun cara-cara tersebut terkesan rumit dan membutuhkan tenaga ekstra dalam praktik penerapannya. 

Kelas yang saya tangani di sekolah tergolong besar dari segi kuantitas murid, yaitu terdiri dari 31 anak. Jumlah anak yang tergolong banyak tersebut tentunya latar belakang, karakter, serta kebutuhan anak sangat beragam dan bersifat universal. 

Hal pertama yang saya lakukan dalam menciptakan budaya positif di kelas adalah mengidentifikasi kebutuhan dasar setiap anak. Saya harus mengetahui dan memahami secara terperinci terkait kebutuhan dasar apa yang anak butuhkan. Kegiatan tersebut saya lakukan menggunakan metode observasi dan wawancara secara langsung.

Setelah mengetahui kebutuhan dasar dari masing-masing individu anak di kelas, melalui kegiatan diskusi dan musyawarah kelas, saya memandu anak-anak untuk menentukan keyakinan kelas. Keyakinan kelas tersebut kemudian kita susun dalam wujud komitmen bersama secara simple dan jelas, sehingga akan mudah untuk diingat oleh semua warga kelas. 

Komitmen bersama tersebut benar-benar hadir dari dalam diri anak, bukan dari kemauan atau kehendak pribadi saya sebagai gurunya. Agar keyakinan kelas tersebut benar-benar dapat diterapkan secara holistik dan berjangka panjang oleh semua warga kelas, maka saya selalu berusaha mengambil posisi kontrol sebagai seorang manajer, minimal sebagai pemantau dalam beberapa permasalahan pada proses restitusi anak.

Restitusi adalah proses kolaboratif, sehingga tidak mungkin dapat saya lakukan sendiri atau bahkan hanya dilakukan oleh anak sendiri, sehingga proses kolaborasi benar-benar saya terapkan di kelas. 

Selain kolaborasi antara saya dengan anak, proses kolaborasi antarmurid juga mulai terlihat di kelas dalam proses restitusi. Ketika proses restitusi terjadi antarmurid, ternyata proses dan hasilnya lebih nampak bermakna. 

Hal tersebut juga lebih memudahkan saya dalam penerapannya, meskipun dalam beberapa kesempatan mengharuskan saya untuk tetap mengontrol emosi agar tetap stabil.

3) Penerapan segitiga restitusi sebelum mempelajari modul 1.4

Meskipun saat itu belum sadar bahwa yang telah saya lakukan merupakan proses dalam segitiga restitusi, nyatanya saya telah melakukannya. Suatu hari telah terjadi konflik antara dua murid laki-laki saya, sebut saja murid A dan murid B. A merupakan murid baru di kelas saya, pindahan dari sekolah lain. 

Agar mempermudah saya dalam kegiatan observasi terhadap murid A tersebut, maka ia saya tempatkan di paling depan dan dekat dengan pintu kelas. Pada waktu istirahat pelajaran, murid B ingin keluar kelas, namun murid A menutup pintu kelas dan mengganjalnya dengan meja miliknya. 

Saat itu murid B merasa jengkel dan mengejek murid A. Murid A pun membalas ejekan murid B dan tetap menutup pintu kelas. Tingkat kejengkelan murid B memuncak karena merasa murid A tersebut masih baru di kelas namun sudah berani mengusili dan mengejeknya. 

Akhirnya murid B menarik baju murid A dan gesekan fisik pun tidak terhindarkan. Melihat situasi tersebut, ketua kelas dan beberapa murid lain mencoba melerai mereka, namun secara tidak sengaja wajah ketua kelas tertonjok oleh murid B hingga kesakitan bahkan keesokan harinya tidak masuk sekolah karena harus periksa ke dokter. 

Situasi dan kondisi tersebut saya ketahui dari cerita dan aduan beberapa murid lain di kelas. Saya pun memanggil murid A dan murid B keesokan harinya. Dalam situasi tersebut saya berusaha tidak mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. 

Saya mulai bertanya kepada keduanya "Apa sebenarnya yang terjadi?". Awalnya mereka menjawab dengan saling mempertahankan kebenaran atas dirinya. Kemudian saya bertanya "Baik, anggap saja Kalian berdua dalam posisi benar, kira-kira saling mengejek dan saling memukul itu baik apa tidak menurut Kalian?". 

Mereka secara serempak menundukkan kepala dan menjawab "Tidak baik Pak". Saya pun melanjutkan pertanyaan, "Nah, Kalian sudah saling memahami bahwa tindakan tersebut tidak baik bahkan tidak sesuai dengan komitmen bersama kelas kita kan? 

Lalu selanjutnya apa yang akan Kalian lakukan?". Mereka berdua sama-sama menangis dan menjawab "Kami akan saling minta maaf dan memaafkan Pak. Kami juga berjanji tidak akan mengulangi ini lagi". 

Kemudian tanpa menunggu perintah dari saya, mereka berdua bersalaman dan saling berpelukan. Saya pun menguatkan keyakinan mereka, "Kalian sudah melakukan kesalahan, namun Kalian juga telah menyadari dan berjanji tidak akan mengulanginya. Itu yang memang seharusnya dilakukan. 

Salah itu lumrah dan biasa, namun minta maaf dan memaafkan adalah hal yang sangat luar biasa. Bagus, Kalian telah lakukan itu". Mereka berdua pun tersenyum dan saling merasa lega.

Disitu permasalahan belum berakhir, karena masih ada ketua kelas yang saat itu tidak masuk sekolah karena masih kesakitan dampak dari pertengkaran murid A dan murid B. Selanjutnya, saya bertanya kepada mereka, "Kalian berdua sudah tahu kalau ketua kelas hari ini tidak masuk?". 

Murid B menjawab, "Tahu Pak, ketua kelas tidak masuk karena kemarin tidak sengaja tertonjok oleh saya saat emosi". Lalu murid A melanjutkan menjawab, "Kami berdua sepulang sekolah nanti akan datang ke rumahnya mau minta maaf dan menjenguknya Pak". Siangnya saya mendapat informasi dari orangtua ketua kelas bahwa ternyata mereka berdua benar-benar datang mengunjungi ketua kelas bahkan ditemani oleh sebagian besar murid lain.

Saat itu saya benar-benar tidak sadar telah melaksanakan tahapan-tahapan dalam segitiga restitusi, namun hasil dari proses restitusi tersebut ternyata melebihi ekspektasi saya. 

Awalnya saya hanya berharap mereka berdua saling memaafkan, namun ternyata tanpa menunggu perintah dari saya, mereka telah sadar bahkan mempunyai inisiatif untuk datang menjenguk sekaligus meminta maaf kepada ketua kelas. 

Mungkin saat itu saya sedang mengambil posisi sebagai manajer, sehingga restitusi benar-benar dapat menguatkan keyakinan dan nilai kebajikan yang ada dalam diri murid.

4) Perubahan cara berpikir saya dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah setelah mempelajari modul 1.4

Sebelum mempelajari modul 1.4 terkait budaya positif ini, saya tidak tahu posisi apa yang saya ambil saat berusaha menciptakan budaya positif di kelas dan sekolah. Sehingga konsistensi penerapannya pun juga belum jelas. Saya juga kurang memperhitungkan mengenai kebutuhan dasar murid saya di kelas dan di sekolah dalam mewujudkan budaya positif tersebut. Namun setelah mempelajari modul ini cara berpikir saya mulai berubah secara signifikan. 

Saya semakin yakin dan mantap bahwa setiap proses pen'disiplin'an di kelas dan sekolah untuk mewujudkan budaya positif harus mempertimbangkan kebutuhan dasar, berdasar atas keyakinan kelas yang telah dibuat, memposisikan diri saya sebagai manajer, serta menerapkan prinsip dan langkah-langkah restitusi dengan tepat.

5) Pentingnya mempelajari topik modul 1.4 bagi saya 

Materi ini sangat penting bagi saya, baik sebagai seorang individu (ayah dan suami) maupun sebagai seorang pemimpin pembelajaran. Konsep-konsep yang terkandung dalam materi pada modul budaya positif ini menjadi literatur penambah wawasan dan pengalaman saya bagaimana saya harus berpikir, bertindak, dan berbagi terhadap anak, murid, dan orang lain secara tepat dan bijak, sehingga tujuan dari proses pen'disiplin'an itu benar-benar dapat dicapai dan menjadi budaya positif di lingkungan sekitar saya. 

Contoh-contoh demonstrasi studi kasus yang ada pada materi dalam modul ini juga mempermudah saya dalam memahami materi untuk kemudian dapat saya terapkan di lingkungan rumah, kelas, dan sekolah saya.

6) Yang bisa saya lakukan untuk membuat dampak/perbedaan di lingkungan saya setelah mempelajari modul 1.4

Setelah mempelajari modul ini, langkah-langkah secara sistematis dan terstruktur perlu saya lakukan untuk membuat perubahan positif di lingkungan saya, terutama lingkungan kelas dan sekolah. Budaya positif di lingkungan kelas dan sekolah akan sangat sulit tercipta tanpa adanya kolaborasi. 

Maka, langkah pertama yang akan saya lakukan setelah menanamkan pada pribadi saya terkait budaya positif tersebut adalah berkoordinasi dengan kepala sekolah, rekan guru, murid, dan orangtua/wali murid. 

Selanjutnya, saya akan mulai menerapkan budaya positif tersebut di kelas saya terlebih dahulu dengan harapan dapat menjadi role model bagi kelas-kelas lain. Ketika hasilnya mulai nampak, maka saya bisa lebih percaya diri dalam mengimbaskan hal tersebut ke rekan guru lainnya.

Dalam proses penerapannya, sangat dimungkinkan adanya hambatan dan tantangan, maka kolaborasi menjadi sangat penting. Selain dengan rekan guru, kolaborasi dengan orangtua/wali murid juga sangat menentukan keberhasilan penerapan budaya positif ini. 

Proses-proses komunikasi dan kolaborasi dengan orangtua/wali murid kelas saya akan lebih saya intensifkan, baik melalui moda daring maupun luring, baik formal maupun non-formal. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di lingkungan rumah dan masyarakat, maka penyamaan persepsi dan visi terkait budaya positif tersebut memang sangat penting untuk direncanakan dan dilakukan.

7) Hal-hal lain yang menurut saya penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah

Selain belajar materi dari modul 1.4 tentang budaya positif ini, menurut saya mencari literatur lain dari berbagai macam sumber juga sangat dibutuhkan dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah. Literatur tersebut bisa dalam bentuk tulisan, demonstrasi, gambar, video, maupun praktik baik dari rekan guru lain serta orangtua/wali murid. 

Konsep-konsep terkait hubungan guru dan orangtua/wali murid dalam membangun sebuah budaya positif menurut saya juga penting untuk dipelajari, sehingga proses menciptakan budaya positif terhadap anak dapat terjadi secara utuh dan menyeluruh. 

Selain itu, belajar tentang konsep restitusi terhadap pelanggaran berat yang terjadi pada anak juga penting untuk dilakukan, misalnya pelanggaran terkait penyalahgunaan narkoba dan pelecehan seksual yang menyebabkan anak dalam tingkatan traumatik yang mendalam. Kita juga perlu belajar konsep penanaman budaya positif untuk anak-anak dengan kecerdasan khusus, karena tidak menutup kemungkinan di kelas atau sekolah terdapat murid inklusi yang membutuhkan perlakuan khusus dalam proses restitusi.

8) Langkah-langkah awal yang akan saya lakukan jika kembali ke sekolah/kelas setelah mengikuti sesi modul 1.4

Seperti yang telah saya tulis dalam poin 6 di atas, langkah-langkah awal yang akan saya lakukan di kelas/sekolah setelah mengikuti sesi ini adalah membangun komunikasi positif dan berkoordinasi dengan kepala sekolah, rekan guru lain, murid, dan orangtua/wali murid terkait penerapan budaya positif. 

Koordinasi terkait pentingnya penerapan budaya positif di kelas/sekolah penting untuk saya lakukan terhadap kepala sekolah, rekan guru lain, dan orangtua/wali murid. Hal tersebut untuk menyamakan persepsi dan visi ke depan terkait budaya positif apa yang kita harapkan terjadi di kelas/sekolah saya. 

Murid di kelas saya juga harus paham bagaimana nilai-nilai kebajikan dan keyakinan kelas dapat benar-benar kita jalankan bersama, sehingga budaya positif tersebut bisa diciptakan. 

Melakukan pemetaan terhadap kebutuhan dasar dari masing-masing individu murid saya di kelas juga menjadi langkah awal yang akan saya lakukan. Hal tersebut penting saya lakukan guna memudahkan saya dalam melakukan penanganan dan proses restitusi ketika terjadi permasalahan pada diri mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun