Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hina UAS? Awas, Ini Akibatnya

18 Mei 2022   22:24 Diperbarui: 18 Mei 2022   22:26 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabar tentang Ustaz Abdul Somad yang tidak boleh masuk negara Singapura, segera menembus setiap pemilik smartphone di negeri ini. Wajar saja, sebagai penceramah kondang, kejadian yang menimpa beliau jelas akan menarik perhatian. Tak hanya publik di Indonesia, tapi juga para pecinta ustaz yang ada di luar Tanah Air.

Awalnya, saya enggan ambil bagian dalam kejadian ini. Apalagi, belum tahu dengan jelas duduk perkaranya. Semua masih sumir. Sebagai wartawan, harus melakukan disiplin verifikasi fakta sebelum menuliskan semua kejadiannya secara gamblang.

Namun, nurani saya bergolak ketika di balik kejadian itu, ada banyak sekali yang melakukan perundungan pada Ustaz Abdul Somad. Saya bukan penggemar fanatik, meski sudah banyak tausyiah beliau yang sudah saya dengar. Bahkan suatu ketika, saya berkesempatan melihat langsung pengajian beliau di Tanjung Priok, Jakarta, beberapa waktu lalu.     

Kembali ke soal perundungan tadi. Terlepas dari siapa orangnya, kok ya tega-teganya merasa berbahagia atau kegirangan ketika mendapat kabar Ustaz Abdul Somad dilarang masuk negeri jiran tersebut.

Kalau pun tidak satu agama, tidak satu aliran, atau tidak satu keyakinan, bukankah kita semua adalah saudara sebangsa dan se-Tanah Air? Sudah setipis itukah persatuan dan kesatuan di negeri ini? Sehingga ketika ada anak bangsa yang sedang mengalami musibah, justru ada yang bertepuk tangan, bahkan membuat meme berisi hinaan hingga hujatan.

Di era teknologi informasi yang begitu pesat dengan gaya hidup yang semakin hedonis, kini setiap orang mudah merasa bangga dengan apa yang dimiliki. Setelah berhasil mendapat semua yang diinginkan, lantas mudah melakukan penghinaan terhadap orang lain.

Sahabat semua, bangga berlebihan atau sombong, merupakan salah satu sifat yang secara tidak disengaja bisa muncul. Sebab, di setiap diri manusia, sifat ini akan selalu ada. Bergantung pada diri sendiri, mampu atau tidak mengendalikan perasaan tersebut.

Yang perlu diingat, menghina atau meremehkan orang lain merupakan salah satu sifat yang membuat energi diri sendiri bocor. Kebocoran energi akibat menghina orang lain, akan berdampak seperti bumerang. Energi negatif itu akan kembali kepada mereka yang melakukan penghinaan.

Ibarat mobil yang sedang melaju kencang, menghina orang lain sama saja sedang menusukkan paku pada ban mobil milik diri sendiri. Bisa dilihat, dampaknya mobil akan terhambat hingga akhirnya terhenti. Kalau sudah begini, mobil tak bisa melaju, otomatis mobil lain dengan mudah akan menyalip karena tidak ada perlawanan.

Itulah jawaban, kenapa orang yang melakukan penghinaan, pada akhirnya bisa disalip oleh orang yang sebelumnya dihina. Anda pernah dihina atau diremehkan orang lain? Lantas, apa yang terjadi pada orang yang menghina Anda? Apakah hidupnya lebih baik atau kini Anda sudah bisa melaluinya?

Anda yang jelas-jelas menghina Ustaz Abdul Somad, apakah hidupnya sudah jauh lebih baik? Ya tentu saya mendoakan, Anda tetap jauh lebih segalanya, termasuk dari sisi sikap dan perbuatan.

Dari penelitian guru besar David R. Hawkins melalui disertasinya berjudul Qualitative and Quantitative Analysis and Calibration of The Level of Human Consciousness disebutkan, menghina atau merendahkan orang lain, level energinya rendah yakni 10 pangkat 175 lux (satuan energi cahaya).

Lantas bagaimana dengan respons orang yang dihina. Jika setelah dihina yang muncul adalah perasaan malu, maka energinya akan sangat rendah yakni 10 pangkat 20 lux. Sementara jika yang muncul perasaan bersalah, energinya 10 pangkat 30, atau perasaan putus asa energinya 10 pangkat 50 lux.

Maka, jika dihina atau direndahkan, kemudian merasa malu, putus asa dan rasa bersalah, ini akan menjadikan orang yang dihina semakin drop. Namun nyatanya, sikap Ustaz Abdul Somad menunjukkam sebaliknya. Selama ini, ketika beliau dihina, sikapnya tetap optimistis, sehingga energinya justru semakin tinggi yakni 10 pangkat 310. Ditambah ketika beliau memaafkan, energi semakin naik ke angka 10 pangkat 350. Ditambah ketika beliau tetap tenang bahkan santai, energinya langsung melonjak 10 pangkat 540.

Itulah kenapa, mereka yang terhina kemudian menjadikan hinaan itu sebagai motivasi, energi yang didapatkan justru akan semakin besar dan jauh lebih besar. Sementara si penghina energinya malah semakin drop.

Persoalan energi di atas jelas sebuah hasil penelitian ilmiah, meski dalam ajaran agama pun, tidak dibenarkan untuk menghina orang lain.

Jadi, hindari menghina, merendahkan atau meremehkan orang lain. Sikapi saja semua berita atau informasi dengan damai dan sukacita. Supaya energi yang kita miliki tidak terbuang percuma. Ketimbang buang energi menghina orang lain, bukankah lebih baik energi itu dipakai untuk meraih impian?

Bagaimana menurut Sahabat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun