Kabar tentang Ustaz Abdul Somad yang tidak boleh masuk negara Singapura, segera menembus setiap pemilik smartphone di negeri ini. Wajar saja, sebagai penceramah kondang, kejadian yang menimpa beliau jelas akan menarik perhatian. Tak hanya publik di Indonesia, tapi juga para pecinta ustaz yang ada di luar Tanah Air.
Awalnya, saya enggan ambil bagian dalam kejadian ini. Apalagi, belum tahu dengan jelas duduk perkaranya. Semua masih sumir. Sebagai wartawan, harus melakukan disiplin verifikasi fakta sebelum menuliskan semua kejadiannya secara gamblang.
Namun, nurani saya bergolak ketika di balik kejadian itu, ada banyak sekali yang melakukan perundungan pada Ustaz Abdul Somad. Saya bukan penggemar fanatik, meski sudah banyak tausyiah beliau yang sudah saya dengar. Bahkan suatu ketika, saya berkesempatan melihat langsung pengajian beliau di Tanjung Priok, Jakarta, beberapa waktu lalu. Â Â Â
Kembali ke soal perundungan tadi. Terlepas dari siapa orangnya, kok ya tega-teganya merasa berbahagia atau kegirangan ketika mendapat kabar Ustaz Abdul Somad dilarang masuk negeri jiran tersebut.
Kalau pun tidak satu agama, tidak satu aliran, atau tidak satu keyakinan, bukankah kita semua adalah saudara sebangsa dan se-Tanah Air? Sudah setipis itukah persatuan dan kesatuan di negeri ini? Sehingga ketika ada anak bangsa yang sedang mengalami musibah, justru ada yang bertepuk tangan, bahkan membuat meme berisi hinaan hingga hujatan.
Di era teknologi informasi yang begitu pesat dengan gaya hidup yang semakin hedonis, kini setiap orang mudah merasa bangga dengan apa yang dimiliki. Setelah berhasil mendapat semua yang diinginkan, lantas mudah melakukan penghinaan terhadap orang lain.
Sahabat semua, bangga berlebihan atau sombong, merupakan salah satu sifat yang secara tidak disengaja bisa muncul. Sebab, di setiap diri manusia, sifat ini akan selalu ada. Bergantung pada diri sendiri, mampu atau tidak mengendalikan perasaan tersebut.
Yang perlu diingat, menghina atau meremehkan orang lain merupakan salah satu sifat yang membuat energi diri sendiri bocor. Kebocoran energi akibat menghina orang lain, akan berdampak seperti bumerang. Energi negatif itu akan kembali kepada mereka yang melakukan penghinaan.
Ibarat mobil yang sedang melaju kencang, menghina orang lain sama saja sedang menusukkan paku pada ban mobil milik diri sendiri. Bisa dilihat, dampaknya mobil akan terhambat hingga akhirnya terhenti. Kalau sudah begini, mobil tak bisa melaju, otomatis mobil lain dengan mudah akan menyalip karena tidak ada perlawanan.
Itulah jawaban, kenapa orang yang melakukan penghinaan, pada akhirnya bisa disalip oleh orang yang sebelumnya dihina. Anda pernah dihina atau diremehkan orang lain? Lantas, apa yang terjadi pada orang yang menghina Anda? Apakah hidupnya lebih baik atau kini Anda sudah bisa melaluinya?