Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Kalau Tidak Tambah Muatan, Saya Makan Apa?

2 Maret 2022   07:54 Diperbarui: 2 Maret 2022   14:00 2051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi truk memuat banyak bawaan. (foto: Tribunnews)

Matahari sebentar lagi beranjak meninggalkan kawasan perbatasan antara Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau, di Provinsi Kalimantan Timur. 

Sinarnya masih berusaha menyelinap di sela-sela pepohonan tinggi lebatnya hutan tropis. Lima truk sarat muatan, berbaris memanjang di tepi jalan aspal yang sudah mulai terkoyak. Tak ada satu pun roda truk yang melewati garis tepi jalan. Semua parkir di bahu jalan.

"Sebentar lagi gelap, jangan sampai ada motor atau mobil yang nabrak truk kami yang sedang parkir. Kalau sampai terjadi, tetap kami yang disalahkan, karena parkir melewati garis tepi," sebut sang sopir, sebut saja namanya Andre.

Obrolan senja itu terus mengalir dengan sopir truk 6 roda ini. Saya penasaran, karena sopir ini sangat fasih aturan berlalu lintas. "Saya ujian beneran mas. Harus tahu betul semua aturan, biar dapat SIM B2 umum," ujar pria berusia 45 tahun ini.

Tapi, tetap ada yang menggelitik. Kalau tahu aturan, kenapa muatannya melebihi kapasitas bak truk yang dia bawa? Andre nyengir. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan saya. Bukankah muatan berlebih itu menyalahi aturan? Terus kalau kena razia bagaimana?

"Nah, makanya saya istirahat dulu di sini. Supaya tidak kena razia. Tunggu agak tengah malam baru lewat. Kalau kena razia ya ngga papa, tinggal kasih salam tempel," ucapnya malu-malu.

Dengan gamblang, pria lulusan STM bangunan ini pun menceritakan kenapa truknya melebihi kapasitas muatan.

Dulu, ketika jalan trans Kalimantan masih rusak parah, justru penghasilannya cukup tinggi. Dengan dalih kondisi jalan yang rusak, para sopir truk bisa mematok ongkos yang tinggi untuk sekali angkut ke wilayah utara Kaltim. 

Saat jalan rusak, sopir bisa berhari-hari di jalan sehingga perlu operasional lebih besar.  

Tapi, setelah kondisi jalan mulai membaik, mau tidak mau pengusaha yang akhirnya pegang kendali. Tarif angkut barang bisa ditekan. Jika barang telat diantar, pengusaha bisa beralih ke truk lain.

Akibatnya, keuntungan yang diterima sopir semakin menipis. Belum lagi langkanya solar di Kalimantan, membuat waktu tempuh masih harus dipotong untuk urusan antre solar di SPBU. 

Karena alasan itulah, sopir berani menambah muatan melebihi dimensi kendaraan. Istilah kerannya Over Dimension Over Loading alias ODOL.

Saat barang yang diangkut lebih banyak, tentu saja uang yang dikantongi sopir lebih tebal. Bahkan ketika kena razia dan harus memberikan salam tempel ke oknum petugas nakal, Andre mengaku masih bisa dapat sisa penghasilan yang bisa dibawa pulang.

"Kalau tidak tambah muatan, saya makan apa? Pas-pasan saja, ongkosnya habis untuk operasional," bebernya.

Tentu, bukan seorang Andre saja yang melakukan hal ini. Hampir semua sopir truk melakukan hal yang sama. Masih lumayan jika yang diangkut adalah barang yang volumenya besar, tapi secara bobot tidak terlalu berat.

Persoalannya, di Kaltim ada banyak sekali yang muatannya memang berat. Sebut saja angkutan batu bara koridoran alias ilegal yang melintasi di jalan umum. 

Belum lagi truk pengangkut kelapa sawit yang kelebihan muatannya sungguh kelewatan. Tak heran jika aspal di Kalimantan sulit bertahan lama. Sungguh tidak sebanding antara kapasitas jalan dengan truk melebihi kapasitas yang banyak melintas.

Lalu kenapa ini bisa terjadi? Lagi-lagi, semua bermula dari tidak tegasnya implementasi peraturan di lapangan.  

UU No 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan salah satunya jelas sudah mengatur ketetapan sanksi bagi truk yang ODOL atau kelebihan muatan. Bahkan, di hampir semua perlintasan jalan nasional, disiapkan pula jembatan timbang. Tapi apakah itu berfungsi?

Silakan cek di lapangan. Ada banyak jembatan timbang yang berubah jadi pajangan. Sebagian dibiarkan rusak. Ironisnya, jembatan timbang diduga hanya jadi lahan pungli bagi oknum petugas.    

Dampaknya, pemerintah terus membelanjakan uang negara cukup besar untuk memperbaiki jalan nasional. Belum lagi, risiko kecelakaan yang disebabkan kendaraan besar sarat muatan. Entah sudah berapa banyak truk yang tumbang karena tidak mampu menaklukkan tanjakan jalan trans Kalimantan.  

Lantas, dengan kondisi tersebut, bisakah pemerintah merealisasikan target zero ODOL pada  2023 nanti? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun