Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Pelayan Toko Rasis?

27 Desember 2020   16:48 Diperbarui: 27 Desember 2020   17:08 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya saya enggan menuliskan ini. Sebab, boleh jadi, hanya saya yang merasakannya. Sementara bagi orang lain, mungkin dianggap biasa-biasa saja. Namun entah kenapa, jika saya tidak menuliskannya, saya merasa ada yang mengganjal.

Minggu (27/12) tadi, saya ke Pakuwon Super Mall Surabaya. Tujuannya adalah ke salah satu toko stationery yang ada di mal tersebut. Maklum, anak saya yang terakhir, minta dibelikan sesuatu. Sebuah bingkai foto untuk memajang hasil karyanya.

Anak ketiga itu memang kadang tidak suka diam. Kalau sudah ingin membuat sesuatu, pasti berusaha sampai jadi. Entah sudah berapa banyak hasil karya buatan tangannya sendiri. Nah dia membutuhkan bingkai khusus untuk memajangnya. Menurut dia, bingkai yang ia cari ada di toko stationery itu.

Sebenarnya, bisa saja barang itu dibeli di cabang toko stationery itu di Samarinda. Tapi, namanya juga oleh-oleh, pasti beda rasanya. Maka saya pun tetap berupaya mencarikan, demi menyenangkan hatinya.

Setelah tanya ke petugas sekuriti, saya akhirnya berhasil menemukan lokasi toko itu. Di lantai LG, Pakuwon Mall Home. Mal itu memang begitu besar. Jika tidak biasa, akan mudah tersesat. Walau banyak penunjuk arah, paling simpel ya bertanya ke petugas.

Berputar-putar sebentar, akhirnya saya menemukan barang yang dicari. Dua bingkai foto berbeda ukuran yang ada di rak, sudah berpindah ke tangan saya. Kebetulan melintas di rak ikat pinggang, saya pun menyambar dua ikat pinggang, beda model.

Cukup dengan 4 item belanjaan, saya langsung antre di kasir. Saya lihat ada wanita setengah baya di depan saya terlayani dengan baik. Semua barang langsung dipindai, dibayar, selesai. Begitu juga pemandangan yang saya lihat sebelumnya, juga sama. Barang langsung dipindai, dibayar, selesai.

Nah, tiba giliran saya, kejanggalan itu terasa. "Kita cek harga dulu ya pak?" Saya hanya mengangguk saja. "Ini harganya 97 ribu pak," saya kembali mengangguk. "Yang ini harganya 88 ribu pak," katanya lagi. Saya masih diam saja. "Yang ini 175 ribu pak," ujarnya. Saya masih diam dan mengangguk saja.

Barang berikutnya pun dia cek. Semua barang sudah dicek, barulah dia pindai satu demi satu. Total barang belanjaan hampir 500 ribu rupiah. Saya serahkan kartu debet, dan kasir ini terlihat agak kikuk. Proses belanja selesai, saya langsung balik kanan.

Lalu apanya yang janggal? Jujur, sejak kasir berkata akan cek harga dulu, salah satu bagian diri saya ada yang berontak. Kenapa harus cek harga? Bukankah kita sudah tahu harganya, karena ada di rak. Bukankah pelanggan lain tidak dilakukan pengecekan harga. Lalu ada apa dengan diri saya? Apa karena penampilan tidak meyakinkan? Apakah karena saya bukan dari suku tertentu? Entah kenapa, hari itu saya benar-benar sedang enggan buang-buang energi untuk hal begitu. Saya memilih diam.

Namun, pikiran bawah sadar seketika melayang dan terlempar pada kejadian di masa lalu. Kejadian itu adalah ketika sedang berjalan ke Tunjungan Plaza Surabaya. Saat itu, ada toko yang menjual stiker khusus untuk hiasan di dinding rumah. Terlihat bagus, saya berencana membeli stiker itu untuk ditempel di kamar mandi.

Saya pun bertanya harga salah satu stiker ke pelayan toko. Maklum, tidak ada daftar harga atau banderol yang terpasang, sehingga saya harus bertanya. "Yang itu harganya mahal mas," kata pelayan toko. Sontak saya kaget mendengar jawaban itu. "Mahal menurut siapa ya mbak? Menurut mbak atau menurut saya?" Si pelayan toko kaget. Dia terlihat gelagapan, bingung mencari jawaban.

"Saya kan cuma tanya harga. Berapa harganya? Bukan tanya mahal atau murah. Apa kelihatan saya tidak bisa beli?" saya cecar dengan pertanyaan itu, si pelayan toko hanya tertunduk membungkuk dan meminta maaf.

Kejadian lain, ketika bersama kawan sedang berbelanja oleh-oleh juga di Surabaya. Begitu di kasir, petugas kasir sengaja menyebutkan harga setiap barang satu demi satu dengan suara keras. "Ini harganya (sekian) ya mas. Ini harganya (sekian) ya mas," kata kasir. Kawan saya yang ada di situ sontak bereaksi.

"Mbak, maksudnya apa? Kita sudah tahu kok harganya berapa. Kan ada banderolnya. Kenapa harus disebut begitu. Takut ngga kami bayar?" tanya kawan saya bertubi-tubi. Sang petugas kasir pun langsung gelagapan. Meminta maaf dan langsung melakukan pemindaian setiap barang belanjaan.

Yang mengherankan, ketiga kejadian itu sama-sama terjadi di kota kelahiran saya, Surabaya. Padahal, saya pernah ke kota lain. Tapi perlakuan kurang nyaman itu hanya pernah saya alami di kota ini. Tentu tidak bermaksud menyebut semua Surabaya secara menyeluruh. Itu hanya dilakukan oleh oknum kasir. Namun yang ingin saya tanyakan adalah, apa yang salah?

Memang, di mal atau pusat perbelanjaan besar di kota ini, umumnya pengunjung didominasi oleh suku tertentu. Seolah yang bisa belanja juga hanya suku tertentu saja. Pola pikir inilah yang mungkin perlu diubah dan ditanamkan kepada para penjaga toko.

Wahai para pemilik usaha, sampaikan kepada para penjaga toko dan kasir, agar tidak melulu terjebak pada penampilan. Selalu tanamkan, bahwa tamu harus dilayani, apa pun kondisinya.

Di Samarinda misalnya, perusahaan yang rutin pameran emas dan berlian di kota Tepian itu, sering dibuat kaget. Ada pengunjung dengan celana pendek, sandal jepit, nyatanya beli berlian ratusan juta rupiah. 

Bukankah urusan bayar tinggal gesek, tak perlu bawa uang tunai berkoper-koper. Apa jadinya kalau penjaga pameran terjebak pada penampilan? Rezeki ratusan juta dari omzet berlian bisa gagal didapatkan.

Mudah-mudahan, tidak akan pernah ada lagi kejadian yang seperti ini. Bagaimana menurut sahabat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun