Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Pelayan Toko Rasis?

27 Desember 2020   16:48 Diperbarui: 27 Desember 2020   17:08 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya pun bertanya harga salah satu stiker ke pelayan toko. Maklum, tidak ada daftar harga atau banderol yang terpasang, sehingga saya harus bertanya. "Yang itu harganya mahal mas," kata pelayan toko. Sontak saya kaget mendengar jawaban itu. "Mahal menurut siapa ya mbak? Menurut mbak atau menurut saya?" Si pelayan toko kaget. Dia terlihat gelagapan, bingung mencari jawaban.

"Saya kan cuma tanya harga. Berapa harganya? Bukan tanya mahal atau murah. Apa kelihatan saya tidak bisa beli?" saya cecar dengan pertanyaan itu, si pelayan toko hanya tertunduk membungkuk dan meminta maaf.

Kejadian lain, ketika bersama kawan sedang berbelanja oleh-oleh juga di Surabaya. Begitu di kasir, petugas kasir sengaja menyebutkan harga setiap barang satu demi satu dengan suara keras. "Ini harganya (sekian) ya mas. Ini harganya (sekian) ya mas," kata kasir. Kawan saya yang ada di situ sontak bereaksi.

"Mbak, maksudnya apa? Kita sudah tahu kok harganya berapa. Kan ada banderolnya. Kenapa harus disebut begitu. Takut ngga kami bayar?" tanya kawan saya bertubi-tubi. Sang petugas kasir pun langsung gelagapan. Meminta maaf dan langsung melakukan pemindaian setiap barang belanjaan.

Yang mengherankan, ketiga kejadian itu sama-sama terjadi di kota kelahiran saya, Surabaya. Padahal, saya pernah ke kota lain. Tapi perlakuan kurang nyaman itu hanya pernah saya alami di kota ini. Tentu tidak bermaksud menyebut semua Surabaya secara menyeluruh. Itu hanya dilakukan oleh oknum kasir. Namun yang ingin saya tanyakan adalah, apa yang salah?

Memang, di mal atau pusat perbelanjaan besar di kota ini, umumnya pengunjung didominasi oleh suku tertentu. Seolah yang bisa belanja juga hanya suku tertentu saja. Pola pikir inilah yang mungkin perlu diubah dan ditanamkan kepada para penjaga toko.

Wahai para pemilik usaha, sampaikan kepada para penjaga toko dan kasir, agar tidak melulu terjebak pada penampilan. Selalu tanamkan, bahwa tamu harus dilayani, apa pun kondisinya.

Di Samarinda misalnya, perusahaan yang rutin pameran emas dan berlian di kota Tepian itu, sering dibuat kaget. Ada pengunjung dengan celana pendek, sandal jepit, nyatanya beli berlian ratusan juta rupiah. 

Bukankah urusan bayar tinggal gesek, tak perlu bawa uang tunai berkoper-koper. Apa jadinya kalau penjaga pameran terjebak pada penampilan? Rezeki ratusan juta dari omzet berlian bisa gagal didapatkan.

Mudah-mudahan, tidak akan pernah ada lagi kejadian yang seperti ini. Bagaimana menurut sahabat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun