Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jika Mampu, Kenapa Masih Merasa Miskin?

27 April 2020   20:28 Diperbarui: 27 April 2020   20:34 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di beberapa tempat mulai ribut. Pembagian dana bantuan langsung tunai (BLT) termasuk pembagian sembilan bahan pokok (sembako) diwarnai ketidakmerataan proses pembagian. Ada yang nyata-nyata mampu, tapi menerima bantuan. Namun ada yang jelas-jelas dalam kondisi memprihatinkan, terlewatkan tak tersentuh bantuan.

Harus diakui, mental miskin masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diatasi oleh bangsa ini. Yang unik, mereka yang mampu justru merasa dapat 'rezeki' ketika mendapat bantuan. Entah dalam bentuk uang tunai atau barang.

"Rezeki anak soleh," begitu biasanya postingan yang muncul di sosial media ketika mendapat sesuatu yang jelas-jelas barang bantuan atau sumbangan.

Kondisi ini juga tidak lepas dari sejarah panjang bangsa Indonesia yang dijajah lebih dari 350 tahun. Penjajahan itu menjadikan bangsa ini memiliki mental kurang baik. Kurang percaya dengan diri sendiri, dan selalu melihat bangsa lain lebih hebat. Paling parah ya itu tadi, merasa miskin. Sebaliknya, justru merasa bangga dan bahagia ketika mendapat sesuatu yang gratisan.

Coba perhatikan, ketika ada rekan atau sahabat yang baru mulai membuka usaha. Apa respons pertama kali yang disampaikan? "Boleh dong nanti aku dikasih gratis?" "Diskon ya? Kita kan teman." "Bagi dong..."

Atau ketika mengetahui ada rekan atau teman yang sedang jalan-jalan. Tak ada rasa sungkan atau segan meminta sesuatu atau oleh-oleh. Beda soal kalau Anda titip, apalagi kalau titipnya disertai transfer uang. Atau diberi langsung oleh-oleh tanpa meminta, tentu tak masalah. Ini nyata-nyata meminta.

Apakah salah? Tidak ada yang salah atau benar. Tolok ukur dari tindakan ini adalah timbangan mental dari sisi kebijaksanaan masing-masing individu. Apakah kita bisa bijak mengatasi kondisi tersebut?

Disadari atau tidak, orang tua juga telah mengajarkan meminta pada anak sejak kecil. Coba kalau mau memberi sesuatu pada anak kecil, bagaimana caranya? Tak sedikit orang tua yang menyusuh si kecil untuk meminta dulu. "Ayo mintanya bagaimana? Kalau sudah dikasih bilang apa?" Kedua tangan si anak kemudian menengadah seraya berkata, "minta ma..." Kesannya memang santun, lucu dan menggemaskan. Bahkan, sepintas seolah baik-baik saja. Padahal, secara tidak langsung anak sudah diajarkan meminta-minta.

Kalau memang mau memberi anak, ya beri saja. Tak perlu rasanya menyuruh si anak meminta. Sehingga anak tahu, itu memang haknya, memang khusus buat dia. Bagaimana kalau si anak merebut? Ya tinggal diberi pemahaman, bahwa berebut itu tidak boleh, apalagi kalau merebut yang bukan haknya.

Ketika anak harus disuruh meminta, yang dikhawatirkan adalah adanya program di pikiran bawah sadar. Minta dulu, baru diberikan. Sikap inilah yang akan tertanam di pikiran bawah sadar hingga dewasa. Akibatnya, tidak ada rasa malu untuk meminta kepada siapa saja.

Lalu bagaimana kalau anak merasa lapar atau haus? Apakah tidak boleh meminta? Tentu ini lain soal. Sahabat pasti tentu bisa membedakannya. Itu adalah respons anak secara otomatis dan wajar pada kebutuhan dasar. Justru itu baik, melatih anak menyampaikan kondisinya secara terbuka.

Kembali ke persoalan mental miskin tadi, sudah sepatutnya setiap orang memahami dan menyadari dirinya masing-masing. Kalau memang mampu, yakin dan berbahagialah masih diberi kemampuan oleh Yang Maha Kuasa.

Justru jangan sampai menghinakan diri di depan manusia, lebih-lebih dihadapan Allah. Ingat, Allah pasti tahu apa yang ada dalam hati dan pikiran manusia. Mari kita melatih diri dengan mental kaya. Apa pun kondisinya, Anda adalah makhluk Allah yang sangat kaya.

Bagi Anda yang suatu saat membutuhkan bantuan, ya ambillah bantuan secukupnya, seperlunya saja. Jangan sampai malah menguasai barang bantuan untuk diri sendiri. Tidak 'rakus' dengan bantuan atau sumbangan, sejatinya Anda juga sedang berbagi untuk orang lain.

Terakhir, mari kita berdoa, semoga wabah ini segera berlalu. Demikianlah harapannya. (*)

  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun