Suara mesin terdengar lebih nyaring. Earphone yang tadi aku kenakan, dilepas perawat. Pemeriksaan bagian kepala ini perlu waktu membosankan. Rasanya lebih bosan dari menunggu berlalunya sinetron Ganteng-ganteng Srikaya yang membodohi pemirsa televisi itu. Benda kecil dari busa sebagai pengganti penutup telinga, tak mampu menahan masuknya suara nyaring dari mesin ini.
Tiba-tiba saja aku seperti menyusuri lorong waktu. Sebuah adegan tergambar dengan jelas. Sehabatku Desi, terlihat berdua di kantin kampus dengan Yusuf, cowok yang aku taksir. Desi pun tahu jika aku sangat menyukai Yusuf. Adegan saat semester awal perkuliahan itu benar-benar menguras energi dan perasaan. Aku tak mengira Desi tega berbuat itu. Namun aku tetap bersikap biasa, seolah tak terjadi apa-apa.
"Mbak, sudah selesai..." tiba-tiba suara perawat itu menyadarkan diriku. Aku segera dibimbing untuk beranjak dari alat itu. Pikiranku melayang. Kenapa adegan di kantin itu kembali muncul?
***
Seminggu berlalu. Aku kembali ke rumah sakit untuk mengetahui hasil pemeriksaan MRI. "Hasil dari MRI juga tidak apa-apa. Semua baik-baik saja. Jangan-jangan ada sesuatu yang kamu pikirkan," kata dokter Wisnu Praja. Tentu saja aku merasa lega karena dari hasil pemeriksaan itu tidak ditemukan apa pun. Tapi, apakah yang aku pikirkan?
Sepulang dari rumah sakit, aku terus mencoba mencari tahu, apa yang aku pikirkan. Psikosomatis, sakit karena pikiran. Begitu kata artikel yang aku baca di website endrosefendi.com. Website itu milik praktisi hipnoterapis klinis di kotaku. Dari laman itu pula, aku baca ada beberapa teknik yang bisa dilakukan untuk menetralisir pikiran tidak nyaman. "Aku harus coba," batinku. Â
Aku lantas teringat dengan adegan yang muncul saat pemeriksaan MRI. Ya, ada gambar Desi di situ. Tanpa pikir panjang, aku ambil beberapa lembar kertas HVS kosong. Aku tumpahkan semua perasaanku terhadap Desi sahabatku.
Tak terasa, sudah satu lembar kertas putih itu penuh goresan. Tak ketinggalan hiasan beberapa tetes air mata melekat di situ. Ya semua amarah dan sumpah serapah aku tumpahkan di kertas itu. Dada terasa sangat sesak ketika mulai menuliskannya.
Setelah tiga lembar kertas aku penuhi dengan tumpahan amarah, dada akhirnya terasa ringan. Tak lupa, aku tuliskan sebait doa untuk sahabatku, juga untukku sendiri. Setelah Itu, aku beranjak ke dapur, menghalau korek api, dan membakar semua kertas itu.
Setelahnya, tubuh terasa sangat lelah. Aku segera menghempaskan diri ke ranjang dan larut ke alam lelap. Ternyata aktivitas menulis semua emosi dan perasaan membutuhkan energi yang besar.
Pagi harinya, tubuh terasa sangat ringan dan lega. Aku merasa ada yang aneh. Ya. Ke mana rasa sakit di kepalaku? Aku tak merasakannya lagi. Padahal, biasanya setiap pagi nyeri itu selalu datang. "Alhamdulillah," gumamku. Rupanya, emosi masa lalu itu yang membuat 'virus' di kepalaku.