"Masih puasa kan mbak Fitri," tanya petugas pria berkaca mata yang menyambutku, begitu sampai di rumah sakit. Aku dibimbing berganti pakaian, termasuk harus meninggalkan semua barang bawaan di sebuah loker khusus.
Sembari berganti pakaian, aku mengintip alat yang bentuknya seperti donat raksasa itu. Bentuknya mirip ban yang dipakai untuk berenang di waterpark. Bedanya ini berwarna putih, dan tentu memiliki fungsi sangat canggih. Ada perasaan was-was karena sebentar lagi tubuhku akan masuk ke tengah lubang alat itu.
"Anggap saja mau berenang," aku menenangkan diri. Aku bayangkan lingkaran besar itu berwarna orens dan penuh dengan gambar lucu. Kedua ujung bibirku pun naik, tak sadar aku tersenyum membayangkan pikiran konyolku.
Usai mengenakan pakaian khusus, di luar ruangan ganti sudah ada perawat wanita menjelaskan beberapa cara untuk menjalani pemeriksaan MRI ini. Ketika pemeriksaan pertama di daerah abdomen, perut atas dan bawah, aku diminta tarik nafas, lepas nafas dan tahan nafas. Ketika tahan nafas ini peralatan MRI ini mulai bekerja.
Sebuah earphone diberikan kepadaku agar aku bisa lebih rileks dan nyaman. Ini juga untuk mengurangi rasa cemas. Maklum, kata petugas tadi, suara mesin MRI ini tak ubahnya seperti bengkel mobil, suaranya gaduh. Karena itu, lebih baik mendengarkan musik.
Lagu lawas dari Scorpions membuatku larut dalam hentakan musiknya yang bertempo cepat. Aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang dilakukan mesin raksasa ini pada tubuhku. Aku fokus pada musik kesukaanku. Musik yang kerap diprotes ibuku untuk didengarkan. Katanya, perempuan berjilbab tidak pantas mendengar musik jenis ini. Ah, yang penting aku suka musiknya.
Perlahan aku rasakan tempat tidur bergeser masuk ke dalam lubang donat putih ini. Beberapa saat kemudian, sayup terdengar suara alat itu bekerja. "Plok...plok...plok...," suara seperti ini beberapa mengalahkan suara musik yang bermain di telingaku.
Beberapa bunyi berbeda juga sempat memaksa masuk ke dalam telinga, seiring dengan tempat pembaringanku yang berubah-ubah posisi. Kadang masuk, kadang keluar. Seketika perasaan rileks langsung kalah dengan ketegangan, saat aku sadari tubuhku sepenuhnya berada di dalam alat ini. Tak bisa beranjak ke mana-mana, pasrah hingga bisa keluar lagi.
"Jangan-jangan, inilah ajalku, dan inilah rasanya saat berada di alam kubur."
Segera aku usir lagi perasaan tidak nyaman itu. Kini aku membayangkan ketika berada di kolong meja, saat bermain sembunyi-sembunyian dengan ponakanku, Annisa yang masih berusia 5 tahun. Annisa langsung tertawa lebar saat aku memberikan kejutan dari bawah meja. Tubuhnya terlihat seperti hampir terloncat karena kaget. Tubuh anak dari kakak pertamaku itu pun terguncang karena tak kuasa menahan tawa bahagia.
Sebuah suntikan di lengan menyadarkan bahwa aku berada di alat canggih itu. Sebuah cairan hangat segera menyebar ke seluruh tubuh. Aku hanya bisa berdoa, semoga penyebab nyeri di kepala itu bisa segera diketahui. Kali ini, aku sempat diberi kode agar kepala benar-benar tidak boleh bergerak sedikit pun. Bahkan menelan ludah pun menjadi 'haram' hukumnya.