Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

"Maaf, Saya Golput karena Keadaan"

26 Juni 2018   09:59 Diperbarui: 26 Juni 2018   10:06 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta PPRA 57 mengikuti kuliah umum di Istana Wapres. dok pribadi.

Besok, tepatnya 27 Juni 2018, digelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di 171 daerah, terdiri atas 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota. Provinsi yang akan menggelar Pilkada yaitu: Provinsi Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara.

Jumlah penduduk yang mengikuti Pilkada serentak mengacu DP4 Pilkada sebesar 160.756.143 pemilih. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan diharapkan memilih siapa yang menjadi pemimpinnya dalam pemilu kepala daerah nanti. Sebab, setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal UUD NRI 1945 dan di dalamnya mengandung nilai-nilai kebangsaan, meliputi nilai demokrasi, nilai kesamaan derajat, dan nilai ketaatan hukum. Nilai demokrasi mengandung makna bahwa kedaulatan di tangan rakyat, setiap warga negara memiliki kebebasan yang bertanggung jaab dalam penyelengaraan pemerintahan.  

Ini konsekuensi dari negara yang memilih haluan demokrasi, berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar NRI 1945. Pada sila ke-4 disebutkan, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan." 

Dengan demikian rakyat harus dipimpin oleh seseorang, dan tentunya rakyat diharapkan bisa mendapatkan pemimpin yang bijaksana, sehingga akan tercipta kondisi seperti sila ke-5 Pancasila yakni "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Secara yuridis, dasar pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis (langsung) dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis".

Indonesia telah melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung sejak 1 Juni 2005 sebagai manifestasi dari upaya penguatan agenda demokratisasi di daerah. Kala itu, almarhum H Syaukani HR adalah tokoh Kaltim pertama yang dipilih rakyat secara langsung sebagai Bupati Kutai Kartanegara.

Pemilu kepala daerah, memerlukan keterlibatan seluruh komponen masyarakat. Harapannya bisa terpilih pemimpin daerah yang mampu mewujudkan kebijakan publik untuk menjadikan daerah tersebut sebagai daerah maju, mandiri, sejahtera. 

Sebuah daerah sangat memerlukan adanya pemimpin yang diharapkan bisa mengawal tujuan masyarakat di daerah yang dipimpinnya. Demokrasi melalui Pemilukada harapannya bisa mendapatkan kepala daerah yang mumpuni.

Sayangnya, ada saja pemimpin mendahulukan kepentingannya diri sendiri, termasuk berusaha mengembalikan biaya politiknya dengan berbagai cara, termasuk korupsi. Alih-alih menyejahterakan rakyat, justru melahirkan kepala daerah sebagai raja-raja kecil berperilaku korup.

Sepanjang 2004--2017 tercatat 313 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Dalam kurun waktu 13 tahun, ada 300 lebih kasus korupsi melibatkan kepala daerah di Indonesia. Dari banyaknya jumlah tersebut, modus terbesar adalah praktik penyuapan. Selanjutnya, hingga April 2018 sudah 10 kepala daerah jadi tersangka korupsi. Beberapa di antaranya terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lagi-lagi, sebagian besar terserat kasus dugaan penyuapan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menargetkan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak 2018 mencapai 77,5 persen. Total anggaran yang dibutuhkan menggelar Pilkada Serentak 2018 setelah penandatangan dana hibah mencapai Rp 15,2 Triliun. 

Sementara total anggaran setelah penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) bersama KPU di 171 daerah Rp 11,9 Triliun. Untuk anggaran setelah penandatanganan NPHD dengan Bawaslu di 106 daerah sebesar Rp 2,9 Triliun. Total anggaran setelah penandatangan NPHD di empat daerah dengan TNI/Polri untuk pengamanan Rp 339,6 Miliar (angka sementara). Jika semua sudah ditandatangani bisa naik jadi Rp 20 Triliun.

Dengan dana sebesar itu, sangat disayangkan jika partisipasi masyarakat dalam Pilkada kurang maksimal. Sebagai warga negara yang memiliki hak pilih, saya tentu sangat berharap bisa ikut partisipasi dalam Pemilukada ini. Namun, karena sedang mengikuti Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 57 di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI di Jakarta, mau tidak mau hak suara saya menguap lenyap begitu saja.

Kok bisa? Bukankah saat pencoblosan adalah libur nasional? Betul, 27 Juni 2018 sudah ditetapkan sebagai hari libur nasional. Namun, libur yang hanya satu hari tidak memungkinkan bagi saya untuk menyalurkan hak suara ke Samarinda. 

Ini bukan sekadar perlu ongkos pesawat, namun waktunya sangat tidak mungkin bisa melakukan perjalanan Jakarta ke Samarinda (PP) dalam satu hari. Kalau saja ada penerbangan langsung dari Jakarta -- Samarinda, tidak jadi soal. Masalahnya ini harus terbang dulu ke Balikpapan, ditambah perjalanan darat ke Samarinda. Benar-benar perlu waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk bisa menyalurkan hak suara.

Ini yang membuat saya terpaksa harus golput, tak bisa menyalurkan hak suara. Tak bisakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kaltim menyiapkan tempat pemungutan suara (TPS) khusus di Kantor Perwakilan Kaltim di Jakarta. 

Bukankah saat Pemilu, warga negara Indonesia di luar negeri bisa menyalurkan hak suara di kantor kedutaan. Maka, sangat mungkin warga Kaltim yang sedang di Jakarta bisa menyalurkan hak suara di kantor 'kedutaan' Kaltim alias kantor perwakilan yang ada di Jalan Kramat, Jakarta.

Saya yakin, ada banyak warga Kaltim yang sementara menetap di Jakarta. Misalnya para mahasiswa asal Kaltim yang sedang kuliah di Jakarta. Begitu juga para profesional atau pegawai yang bertugas di Jakarta. Sebab, sangat tidak efisien jika harus pulang ke Kaltim hanya untuk menyalurkan suaranya. Namun, sayang sekali jika hak suara mereka tidak diakomodasi.

Saya yakin, ada banyak warga Kaltim di kota besar lain seperti Surabaya, Bandung, Jogjakarta, hingga Makassar. Maka, keberadaan mereka tak ada salahnya diakomodir. Di mana ada kantor perwakilan Kaltim, sepatutnya ada TPS khusus. Bisa juga TPS khusus itu ditempatkan di asrama mahasiswa asal Kaltim di beberapa kota tersebut.  

dok pribadi
dok pribadi
Untung saja menyalurkan suara ini sifatnya hak. Jadi, hak itu bisa dipakai atau tidak. Bandingkan dengan Australia, menyalurkan suara adalah sebuah kewajiban. Saat memberikan kuliah umum di depan peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 57 dan 58 di Istana Wapres, Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat bertanya kepada peserta asal Australia, Brigjen Justin.

"Berapa dendanya kalau tidak memberikan suara?" tanya Wapres.

"Dendanya 100 dolar pak," jawab Justin. "Wah, lebih enak di Indonesia dong, kalau datang bisa dikasih 100 ribu," gurau Wapres menyindir soal politik uang.

Andai seperti di Australia, maka saat ini pun saya harus membayar denda karena tak menyalurkan hak suara. Lantas, kira-kira rakyat pilih mana? Memilih membayar denda atau lebih berharap dapat serangan fajar? Wallahu'alam. (*)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun