"Pak, tolong bantu saya. Saya tidak kuat. Saya sudah tidak sanggup. Rasanya mau mati saja," terdengar suara wanita di ujung telepon diiringi tangisan terisak.
Entah suara siapa wanita ini? Meski beberapa kali saya tanyakan siapa namanya, tidak langsung menjawabnya. Hanya terdengar suara tangisan, dan dan kalimat, "tolong saya pak..."
Dengan tegas saya coba ambil alih kendali emosinya. Saya minta fokus pada suara, sekaligus membuang sementara gambar atau perasaan apa pun yang muncul. Saya minta langsung tarik nafas panjang dari hidung dan mengembuskan perlahan melalui mulut.
Beruntung wanita ini mau mengikuti arahan dan bimbingan. Terdengar suara tangisan agak reda. Kemudian terdengar pula suara embusan nafas. Setelah agak tenang, barulah saya minta menceritakan kembali apa yang terjadi.
"Pak, saya lihat video suami saya dengan wanita lain," sebut wanita bernama Peni ini. Tentu ini bukan nama sebenarnya. Lantas, apa isi video yang membuat tangisannya sampai demikian histeris? "Video 'begituan' pak. Tidak pantas dilihat," sambungnya.
Kontak saja, ada perasaan sangat jijik ketika mengingat kembali kejadian tersebut. Pikirannya kacau, tidak karuan. Sama sekali tidak bisa beraktivitas seperti biasa.
Yang menjadi persoalan, saya tidak bisa langsung membantu Peni mengatasi masalah traumanya. Sebab, wanita ini ternyata sedang tugas di luar kota. Namun, tidak mau juga direfer ke terapis lain.
"Saya mau diterapi di Samarinda saja. Tapi tolong bantu saya dulu, karena saya masih di luar kota selama 6 hari lagi," ujar wanita 41 tahun ini.
Untuk sementara, maka Peni dibantu untuk menetralisir emosi meledaknya itu dengan teknik khusus, sebuah teknik yang cepat dan presisi guna meredakan emosi yang intens. Namun, teknik ini hanya bisa digunakan secara darurat.Â
Berikutnya, Peni tetap harus menuntaskan masalahnya dengan terapi lengkap sesuai protokol hipnoterapi dari Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology.
Sesuai janjinya, usai tugas luar kota, Peni benar-benar datang menuntaskan sesi terapinya. Dengan teknik hipnoterapis klinis, akar masalah yang menjadikan Peni sulit mengendalikan amarahnya, bisa diketahui.Â
Ternyata, klien mendarat pada usia 15 tahun. Â Ketika itu di sekolah, surat cinta yang sedianya mau dikirimkan ke seseorang malah ditemukan oleh orang lain. Surat itu kemudian dibaca keras-keras, di dalam kelas, sehingga semua orang mendengarnya.
Sontak saja, Peni merasa terkejut dan sangat marah. Segera memilih lari ke luar kelas, mengunci dirinya di toilet sekolah, dan meluapkan semua perasaannya. Kejadian di sekolah itulah yang kemudian dinetralisir dengan teknik khusus.
Tak lupa, terkait penemuan video mesum suaminya sendiri, Peni dibimbing untuk menghapus trauma dan mengaburkan semua emosi atas kejadian tersebut. Hasilnya mengaku lega dan plong.
Namun, demi masa depan anak-anaknya, Peni mengaku akan tetap memilih jalan berpisah. Tentu saja, di ranah ini, hipnoterapis tidak ikut campur atau melakukan intervensi atas keputusannya.
"Sudah saya maafkan semuanya, tapi saya akan memilih jalur hidup masing-masing demi masa depan," pungkasnya. (*) Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H