Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tidak Bisa Matematika? Dunia Tidak Akan Kiamat

13 Agustus 2016   21:13 Diperbarui: 15 Agustus 2016   08:33 2640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kecerdasan seseorang tidak hanya diukur dari nilai ujian saja. (dokumen pribadi)

Saat usia kelas 5 sekolah dasar, ibu ini dihukum di depan kelas karena tidak bisa mengerjakan satu soal, yang menurut gurunya sangat mudah. Padahal, mudah bagi gurunya, belum tentu mudah bagi sang murid.

Sakit hati atas perlakuan sang guru, membentuk pola pikir baru pada sang ibu, bahwa seseorang harus pandai matematika agar tidak dihukum. Hal inilah yang kemudian diterapkan pada anaknya. Anak semata wayangnya itu harus menjalani les cara menghitung cepat tiga kali dalam seminggu. Belum lagi les lainnya yang cukup menyita energi.

Pola pikir matematika adalah segalanya, sudah membuat ibu ini menuntut kesempurnaan pada anaknya. Dia akan panik dan marah besar jika nilai matematika anaknya di bawah 9.

Dengan teknik yang tepat, saya lakukan restrukturisasi di pikiran bawah sadar sang ibu. Tidak hanya restrukturisasi, penanaman pemahaman yang baru soal pendidikan juga ditanamkan untuk membentuk pola pikir yang lebih baik.

Hasilnya, sang ibu merasa nyaman dan plong. Beban ‘bodoh matematika’ yang sudah terbawa sejak kecil, berhasil dilepaskan.

Lalu, bagaimana dengan anaknya? Apa perlu diterapi? Sama sekali tidak. Sepulang dari proses terapi, sang ibu saya berikan tugas untuk meminta maaf pada sang anak. Ibu ini juga saya beri ‘PR’ untuk menjadi pendengar yang baik, mendengarkan semua keluhan dan apa yang diinginkan anak.

“Ternyata anak saya memang tidak suka matematika. Dia memang bisa, tapi tidak menjiwai. Dia mau menjalani hanya karena tidak ingin saya marah, hanya ingin menyenangkan ibunya,” jelas sang ibu, seminggu kemudian selepas sesi terapi.

Saat sesi permintaan maaf pada anaknya, sang buah hati menyampaikan bahwa dia lebih suka pelajaran bahasa Inggris. Si anak bercita-cita menjadi duta besar, dan ingin keliling dunia. “Itu kan tidak harus pandai matematika ya pak?” ujar si ibu. Kali ini dengan nada sedikit tertawa. Lalu, apakah si anak mau sekolah?

“Sudah pak, sudah saya pindahkan ke sekolah lain, sesuai keinginannya. Anaknya sudah mau sekolah. Ya ngga apa-apa ketinggalan pelajaran, yang penting mau sekolah. Tapi anaknya sendiri yang janji bisa mengejar,” ucapnya.

Pembaca yang budiman. Begitu banyak hikmah yang bisa dipetik dari kisah ini. Sukses tidaknya seseorang, tidak ditentukan oleh angka-angka atau nilai ujian. Coba cek kembali teman sekolah Anda masing-masing. Bagaimana hidupnya saat ini. Apakah yang dulu selalu menduduki ranking, sekarang sudah sukses? Sebaliknya, mereka yang dulu biasa-biasa saja, bahkan dianggap pembuat onar, ada yang hidupnya jauh lebih baik.     

Sikap orang tua lah yang terkadang membuat anak bermasalah. Ingat, dunia ini tidak hanya memerlukan  dokter atau insinyur. Ada begitu banyak profesi yang menjanjikan dan memiliki masa depan yang juga sangat cerah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun