Sudah beberapa hari, postingan soal guru yang mencubit murid itu, menghiasi dinding facebook saya. Artikel itu terparkir rapi di dinding media sosial, karena nama saya memang ditautkan dalam artikel tersebut. Cukup lama saya tidak memberikan komentar apa pun.
Rasanya serba salah. Mau membela guru, tapi saya juga punya anak yang masih sekolah. Mau membela si anak, nyatanya kelakuannya yang berani merokok secara terbuka, juga tidak pantas diberi ampunan.
Setelah cukup lama menimbang-nimbang rasa, akhirnya saya coba menulis artikel ini. Saya tidak tahu pasti apakah timbangan yang saya pakai ini pas ukurannya. Apalagi timbangan hati ini tak pernah dikalibrasi atau ditera ulang oleh Badan Metrologi, sehingga belum tentu pas dan tepat sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI).
Seandainya saya juga seorang guru, adalah wajar jika saya juga ikut membela Pak Samhudi, guru SMP Raden Rahmat Sidoarjo yang dilaporkan ke polisi setelah mencubit muridnya SS sambai memar. Sebab sebagai guru, profesi saya jelas terancam bisa dipolisikan juga jika melakukan hal yang sama. Sementara, kondisi murid berbeda-beda. Ada yang menurut, ada juga yang bengal dan sulit diatur. Hukuman fisik sepertinya menjadi jalan pintas yang sah dan halal dilakukan.
Adalah wajar jika jiwa korsa sebuah profesi muncul seketika. Satu sakit, yang lainnya pun akan merasakan hal yang sama. Satu dipolisikan, tentu yang lain juga akan khawatir akan mengalami hal yang sama. Persoalannya, apakah seorang guru juga tidak boleh khilaf atau melakukan kesalahan.
Sama halnya dengan profesi wartawan. Ketika ada kekerasan yang dialami wartawan, tentu saya sebagai jurnalis juga tak akan tinggal diam. Saya jelas akan mendampingi dan membela keberadaannya. Apalagi posisi saya saat ini sebagai ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim, jelas harus bersikap jika terjadi hal seperti itu.
Masalahnya, apakah semua wartawan adalah malaikat yang tidak bisa salah? Bukankah banyak juga wartawan yang meresahkan? Tentu saya juga sepakat, kalau wartawan meresahkan dan bikin kacau model begini, sudah sepatutnya dijebloskan ke penjara. Â Â
Lalu, bagaimana dengan guru yang melakukan kesalahan dengan menghukum muridnya secara fisik? Lagi-lagi, ini akan menimbulkan pro-kontra. Perlu timbangan yang jelas untuk menakar masalah ini secara bijaksana.
Kaca mata hukum memang tidak melihat sebuah kasus itu pantas atau tidak. Sepanjang semua syarat terpenuhi, hukum pasti terus berjalan. Sedikit merunut ke belakang. Kasus guru mencubit murid juga pernah terjadi 2013 silam di Tanjung Redeb, Kabupaten Berau – Kalimantan Timur. Seorang guru SD 018 Tanjung Redeb, Rizali Hadi akhirnya divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Redeb dengan hukuman denda Rp 20 juta atau mendekam sebulan dalam tahanan.
Berkat solidaritas para guru di kabupaten itu yang mengumpulkan koin peduli, terkumpul dana Rp 45 juta lebih untuk membayar denda guru tersebut. Uang koin yang ditempatkan pada 7 galon air mineral itu, diarak menggunakan gerobak dan diantarkan ke Pengadilan Negeri Tanjung Redeb.
Kemudian, mari kita lihat esensi hukuman fisik itu sendiri. Haruskah hukuman selalu dalam bentuk fisik? Para orang tua yang hidup saat ini tentu sepakat, mereka yang sekolah di era 1980-an dan 1990-an, pasti pernah mengalami hukuman fisik. Dari mulai dipukul penggaris sampai patah, dilempar penghapus papan tulis, hingga dicubit sampai muncul warna pelangi di bagian kulit. Sebagian besar orang tua tentu dengan bangga menyampaikan, bahwa hukuman fisik itu tidak berpengaruh dan justru menjadikan murid takut dan segan dengan guru.
Sekali lagi, benarkah hukuman fisik itu tidak berpengaruh sama sekali terhadap kehidupan seseorang ketika dewasa? Untuk menjawab soal ini, izinkan saya untuk menyampaikan fakta lain. Sejak 2014 ketika saya menekuni profesi sebagai hipnoterapis, banyak realita muncul dalam proses terapi terkait trauma di masa lalu. Jangankan hukuman secara fisik, sekadar hukuman berdiri di depan kelas pun ternyata punya dampak yang sangat besar.
Saya ambil contoh salah satu pegawai di lingkungan Pemprov Kaltim yang tidak percaya diri. Padahal, dia menduduki jabatan cukup strategis. Namun, dia selalu gemetar dan deg-degan setiap kali harus memimpin rapat, apalagi ketika bertugas menjadi pembina upacara. Baginya, rapat dan upacara adalah ritual yang menyeramkan, lebih seram dari film horor manapun.
Pegawai wanita ini kemudian datang ke tempat praktik saya agar persoalan percaya diri ini bisa dibereskan. Dari proses hipnoterapi, terungkap akar masalah yang mungkin dianggap sepele. Ketika itu, klien saya ini masih berusia 8 tahun, duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Kejadiannya adalah, wanita ini lupa mengerjakan PR matematika. Akibatnya, dia dijewer dan dihukum berdiri di depan kelas sampai waktu istirahat. Hukuman ini yang ternyata membuat dirinya malu dan harga dirinya hancur. Dengan teknik terapi khusus, saya membimbing klien ini untuk mengatasi trauma tersebut, hingga klien pun menjadi lebih nyaman dan percaya diri.
Kasus lain adalah seorang pekerja yang mengalami gagap. Pegawai sebuah perusahaan swasta ini sulit sekali berbicara di depan umum. Sulit fokus dan berbicara menjadi terbata-bata. Dengan hipnoterapi, saya pun menggali data pikiran bawah sadar untuk mencari akar masalahnya. Ternyata, muncul penyebab utama gagap ini adalah ketika kelas 4 SD, saat klien saya ini dicubit oleh guru bahasa Indonesia, karena tidak mengerjakan PR mengarang. Cubitan ringan pada bagian pipi itu mungkin tak terlalu sakit, namun bagi klien ini, menjadi trauma yang mendalam.
Masih banyak kasus lain terkait trauma dengan guru di masa lalu, namun kemudian dampaknya terbawa hingga dewasa. Ini semua baru saya dapatkan semenjak rutin berpraktik sebagai hipnoterapis. Sekali lagi, saya hanya menyampaikan fakta dan realita yang terjadi di ruang praktik saya.
Atas fakta yang terjadi di ruang praktik tersebut, tentu tidak berlebihan jika saya memohon agar para guru, para pendidik, untuk memberikan hukuman dalam bentuk lain yang lebih mendidik. Nyatanya, coba perhatikan. Apakah hukuman fisik itu memberikan efek jera dan mengubah anak kemudian menjadi murid yang baik dan berprestasi? Â Â
Dulu, saya juga kerap marah dan emosi terhadap anak. Nyatanya, sikap itu tidak membuat anak menjadi lebih baik. Dari sini saya kemudian mencoba belajar dan terus belajar. Sebab, mendidik anak memang tidak hanya urusan guru. Peranan orang tua juga sangat penting. Karena itu, ada baiknya para guru dan orang tua, memahami kondisi anak.
Ternyata, yang diperlukan anak hanya satu, rasa aman. Nah, rasa aman ini hanya bisa dirasakan jika baterai kasih sayang yang dimiliki anak selalu penuh. Sementara yang berhak mengisi baterai kasih sayang anak ini adalah ibu dan bapak. Guru memiliki peran menjaga baterai kasih sayang itu agar tidak cepat drop. Syukur-syukur ikut membantu mengisi baterai kasih sayang si anak.
Lalu bagaimana caranya mengisi baterai kasih sayang pada anak? Ada lima bahasa cinta menurut teori Gary Chapman. Pertama: waktu yang berkualitas, kedua: kata-kata pujian, ketiga: pelayanan, keempat: pelayanan fisik, dan kelima: pemberian hadiah. Lima bahasa cinta itu harus dilakukan dengan tatapan mata yang tulus.
Maka, sebelum memutuskan untuk memberi hukuman pada anak, pastikan dulu, sudahkah Anda mengisi bateri kasih sayang pada anak hingga penuh? Jika belum, janganlah buru-buru menyalahkan guru di sekolah.
Hingga saat ini, saya masih percaya pada teori yang mengatakan: tidak ada anak yang bermasalah. Yang terjadi umumnya adalah, orang tua yang bermasalah. Bagaimana menurut Anda? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H