Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cubitan Murid Seharga Rp 20 Juta

3 Juli 2016   20:06 Diperbarui: 3 Juli 2016   20:13 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Akhiruddin/Berau Post

Sekali lagi, benarkah hukuman fisik itu tidak berpengaruh sama sekali terhadap kehidupan seseorang ketika dewasa? Untuk menjawab soal ini, izinkan saya untuk menyampaikan fakta lain. Sejak 2014 ketika saya menekuni profesi sebagai hipnoterapis, banyak realita muncul dalam proses terapi terkait trauma di masa lalu. Jangankan hukuman secara fisik, sekadar hukuman berdiri di depan kelas pun ternyata punya dampak yang sangat besar.

Saya ambil contoh salah satu pegawai di lingkungan Pemprov Kaltim yang tidak percaya diri. Padahal, dia menduduki jabatan cukup strategis. Namun, dia selalu gemetar dan deg-degan setiap kali harus memimpin rapat, apalagi ketika bertugas menjadi pembina upacara. Baginya, rapat dan upacara adalah ritual yang menyeramkan, lebih seram dari film horor manapun.

Pegawai wanita ini kemudian datang ke tempat praktik saya agar persoalan percaya diri ini bisa dibereskan. Dari proses hipnoterapi, terungkap akar masalah yang mungkin dianggap sepele. Ketika itu, klien saya ini masih berusia 8 tahun, duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Kejadiannya adalah, wanita ini lupa mengerjakan PR matematika. Akibatnya, dia dijewer dan dihukum berdiri di depan kelas sampai waktu istirahat. Hukuman ini yang ternyata membuat dirinya malu dan harga dirinya hancur. Dengan teknik terapi khusus, saya membimbing klien ini untuk mengatasi trauma tersebut, hingga klien pun menjadi lebih nyaman dan percaya diri.

Kasus lain adalah seorang pekerja yang mengalami gagap. Pegawai sebuah perusahaan swasta ini sulit sekali berbicara di depan umum. Sulit fokus dan berbicara menjadi terbata-bata. Dengan hipnoterapi, saya pun menggali data pikiran bawah sadar untuk mencari akar masalahnya. Ternyata, muncul penyebab utama gagap ini adalah ketika kelas 4 SD, saat klien saya ini dicubit oleh guru bahasa Indonesia, karena tidak mengerjakan PR mengarang. Cubitan ringan pada bagian pipi itu mungkin tak terlalu sakit, namun bagi klien ini, menjadi trauma yang mendalam.

Masih banyak kasus lain terkait trauma dengan guru di masa lalu, namun kemudian dampaknya terbawa hingga dewasa. Ini semua baru saya dapatkan semenjak rutin berpraktik sebagai hipnoterapis. Sekali lagi, saya hanya menyampaikan fakta dan realita yang terjadi di ruang praktik saya.

Atas fakta yang terjadi di ruang praktik tersebut, tentu tidak berlebihan jika saya memohon agar para guru, para pendidik, untuk memberikan hukuman dalam bentuk lain yang lebih mendidik. Nyatanya, coba perhatikan. Apakah hukuman fisik itu memberikan efek jera dan mengubah anak kemudian menjadi murid yang baik dan berprestasi?   

Dulu, saya juga kerap marah dan emosi terhadap anak. Nyatanya, sikap itu tidak membuat anak menjadi lebih baik. Dari sini saya kemudian mencoba belajar dan terus belajar. Sebab, mendidik anak memang tidak hanya urusan guru. Peranan orang tua juga sangat penting. Karena itu, ada baiknya para guru dan orang tua, memahami kondisi anak.

Ternyata, yang diperlukan anak hanya satu, rasa aman. Nah, rasa aman ini hanya bisa dirasakan jika baterai kasih sayang yang dimiliki anak selalu penuh. Sementara yang berhak mengisi baterai kasih sayang anak ini adalah ibu dan bapak. Guru memiliki peran menjaga baterai kasih sayang itu agar tidak cepat drop. Syukur-syukur ikut membantu mengisi baterai kasih sayang si anak.

Lalu bagaimana caranya mengisi baterai kasih sayang pada anak? Ada lima bahasa cinta menurut teori Gary Chapman. Pertama: waktu yang berkualitas, kedua: kata-kata pujian, ketiga: pelayanan, keempat: pelayanan fisik, dan kelima: pemberian hadiah. Lima bahasa cinta itu harus dilakukan dengan tatapan mata yang tulus.

Maka, sebelum memutuskan untuk memberi hukuman pada anak, pastikan dulu, sudahkah Anda mengisi bateri kasih sayang pada anak hingga penuh? Jika belum, janganlah buru-buru menyalahkan guru di sekolah.

Hingga saat ini, saya masih percaya pada teori yang mengatakan: tidak ada anak yang bermasalah. Yang terjadi umumnya adalah, orang tua yang bermasalah. Bagaimana menurut Anda? (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun