“Buat kamu aja. Korannya ngga usah,” kata wanita itu dari balik kaca, saat menyodorkan selembar uang 5 ribuan.
Karena koran sudah habis, aku bergegas menuju ke lokasi bapak mangkal. Ternyata bapak tidak ada. Aku duduk di trotoar jalan, setia menunggu bapak. Rasa dongkolku sudah hilang, berganti perasaan bangga memegang uang yang cukup besar. Uang Rp 7 ribu itu, bisa untuk bayar uang sekolah 2 bulan, karena setiap bulan harus bayar Rp 3.500.
“Kamu bersihkan badanmu di toilet pom bensin situ aja. Bawa sekalian seragam sekolah dan sepatunya. Bapak tunggu di sini,” kata bapak yang ternyata habis mengantar penumpangnya.
Aku mandi sekenanya di toilet pom bensin itu. Handuk kecil milik bapak, aku gunakan untuk mengeringkan badan. Segera aku kembali ke tempat bapak. Aku lihat dari kejauhan, bapak tersenyum melihat langkahku dengan seragam putih biru yang baru.
“Ayo bapak antar ke sekolah,” kali ini kalimatnya lebih semangat. Rasa lelah seketika berganti senang. Cuaca panas terik tak lagi aku rasakan. Bagiku, becak yang disewa bapak dari seorang juragan itu terasa full AC, penuh angin sepoi-sepoi menerpa wajah.
Belum sampai sekolah, aku sudah membayangkan bakal punya teman baru dan guru baru. Satu lagi, kini artinya aku sudah semakin dewasa karena tidak lagi pakai seragam putih merah.
Sampai di depan sekolah, aku mencium punggung tangan kanan bapak. Belum puas, aku peluk tubuh bapak dengan semringah. Bau matahari di tubuh bapak, segera merasuk hidungku. Bagiku, itu seperti bau parfum paling mahal di dunia ini, karena bau itu baru bisa tercium setelah bapak bekerja keras.
Tak ada rasa malu sedikit pun. Sementara teman lain diantar orang tuanya menggunakan sepeda motor, bahkan mobil, aku hanya diantar becak. Aku tak mau mengecewakan bapak.
Hari pertama itu, berjalan sempurna. Bahkan aku sempat disuruh maju oleh bu guru untuk bercerita pengalaman pertama masuk sekolah. Tanpa canggung, aku ceritakan bahwa tadi sebelum sekolah, aku harus jualan koran untuk mendapat uang jajan. Aku lihat teman-teman terharu, tapi aku tak menanggapi. Bagiku itu biasa saja.
Ya, ternyata momen hari pertama sekolah diantar bapak, sekaligus menjadi hari terakhirku merasakan becak itu. Keesokan harinya, bapak kembali drop. Kesehatannya menurun drastis sehingga tak bisa lagi bangun dari tikar pandan yang menjadi alas tidur kami sekeluarga.
Beruntung, ada tetangga yang meminjamkan sepeda, sehingga setiap pagi, aku tetap bisa jualan koran, hingga langsung pergi ke sekolah seperti biasa. Dua minggu kemudian, tepatnya 1 Agustus 1991 sejak pertama kali aku masuk SMP, bapak akhirnya mampu melepas rasa sakit itu untuk selama-lamanya. Bapak dijemput malaikat maut. Mungkin Allah sudah tidak tega melihat bapak terus-menerus menahan rasa sakitnya.