Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Becak Spesial dan Loper Koran

3 Juli 2016   00:56 Diperbarui: 3 Juli 2016   21:13 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Amrullah Achmad

“Ayo bangun, kamu cari uang jajan dulu,” kata bapak. Ya, aku memang harus semakin rajin membantu ibu yang sudah lebih dulu membuka lapak tambal ban itu. Aku segera mandi dan bergegas menjalankan perintah bapak.

“Bawa tas, sepatu dan baju sekolahmu sekalian. Jadi nanti langsung sekolah,” katanya lagi. Lagi-lagi aku bergegas ke lemari, mengambil seragam yang rapi karena sudah diseterika ibu dengan seterika arang. Lebih hemat listrik.

Semua aku masukkan di tas, dan aku bawa menuju becak yang sudah parkir di depan teras rumah kayu itu. Ternyata, di jok becak, sudah ada 10 lembar koran Jawa Pos. Halaman depannya, menampilkan berita utama tentang perang teluk Irak Vs Kuwait.

“Ah, mungkin bapak mau sekalian mengantar pesanan koran milik orang,” batinku saat melihat tumpukan koran medio 1991 itu.

Apalagi ternyata, becak yang dikayuh bapak, tidak mengarah ke bengkel ibu. Becak mengarah ke Jalan Mayjen Sungkono Surabaya, ke sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

“Supaya kamu punya uang jajan, jualan dulu koran ini,” kata bapak sambil menunjukkan koran yang ada di sampingku.

“Apa….? Aku harus jualan koran? Apa salahku sampai harus melakukan ini?” ribuan pertanyaan lain berkecamuk di dalam hati. Tapi aku hanya diam, tak berani melawan bapak. Aku tahu bapak lagi sakit, aku tidak mau membuat bapak semakin sedih. Aku memang miskin, tapi aku juga masih punya cita-cita. Demi semua itu, aku akhirnya tak mau melawan sama sekali.

“Iya pak,” jawabku singkat. Turun dari becak, aku menyambar tumpukan koran itu, sembari bergegas menuju pom bensin di samping Makam Pahlawan Surabaya itu.

Tas berisi sepatu bekas SD dan seragam, disimpan baik-baik di kotak kecil, di balik becak bapak. “Bapak mangkal di sekitar sini aja, mudah-mudahan dapat penumpang,” ujarnya lagi. Jujur, masih ada sedikit rasa dongkol. Aku merasa bapak begitu jahat, menyuruh anaknya jual koran. Sedangkan temanku yang lain, dengan mudah mendapatkan uang jajan dari orang tuanya. Tapi lagi-lagi kendalikan diriku sendiri.

Hari pertama masuk sekolah ketika SMP itu, akhirnya mengantarkanku berhasil meraih cita-cita menjadi wartawan.
Hari pertama masuk sekolah ketika SMP itu, akhirnya mengantarkanku berhasil meraih cita-cita menjadi wartawan.
Di lokasi itu, aku harus bersaing dengan tiga penjual koran lainnya. Tapi, hari itu, malaikat pembawa rezeki sedang berpihak padaku. Koran yang aku bawa ternyata laku keras. Berita Perang Teluk itu benar-benar menarik setiap pengunjung pom bensin. Harga koran itu Rp 200 per eksemplar.  Karena laku semua, maka 10 eksemplar koran itu seharusnya menghasilkan uang Rp 2 ribu.

Tapi, hari pertama itu aku mendapat uang Rp 7 ribu. Ya, salah satu pengunjung pom bensin, ada yang memberi aku uang tunai Rp 5 ribu, Wanita muda yang mengendarai mobil itu awalnya aku kira membeli koran. Ternyata dia hanya memberi uang cuma-cuma. Dari penampilannya, aku tebak dia seorang mahasiswi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun