Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Alhamdulillah, Gay Selama 20 Tahun Itu Akhirnya Kembali Normal

29 Maret 2016   11:19 Diperbarui: 29 Maret 2016   11:40 5314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini, seorang pria ganteng datang ke tempat saya. Usianya 36 tahun. Tubuhnya berotot, kulitnya bersih. Pendek kata penampilannya sangat terawat. Orang ini sudah saya kenal cukup lama. Tapi jujur, saya tidak tahu jika dia gay. Sebab selama ini saya merasa tidak ada yang aneh dari sikapnya. Sangat santun dan profesional dalam pekerjaannya. Pria ini benar-benar sangat pandai menutupi perilaku yang dianggap kurang pas tersebut. 

Beberapa tahun terakhir, dia mengaku terbersit sedikit keinginan untuk kembali normal. Namun keinginan itu dia tekan dalam-dalam. Apalagi dia benar-benar menikmati kondisi yang ada saat itu. Hingga akhirnya, sering membaca artikel tentang hipnoterapi, pria ini ingin mencobanya. Perlu waktu untuk meyakinkan dirinya agar benar-benar berani.

Suatu kali dia bertanya kepada saya, adakah hipnoterapis lulusan Adi W. Gunawan Institute di kota tempat dia tinggal? Sayangnya, tidak ada. Ya, pria ini memang bukan dari Samarinda. Karena itu, dia pun mengatur waktu khusus untuk bisa ke Samarinda, bertemu dengan saya.

Ketika tahu bahwa saya bisa hipnoterapi, pria ini mengaku memperhatikan saya. Dia menilai dulu, apakah diri saya bisa dipercaya atau tidak. Sering saya diajak diskusi lewat WA, soal hipnoterapi, sampai akhirnya dia merasa nyaman dan menganggap saya bisa dipercaya.

Pagi itu, akhirnya dia datang ke Samarinda, dalam kondisi sakit hati karena baru saja diputusin teman prianya. Dia kemudian semakin bertekad untuk berhenti dan menjadi normal. Selama perjalanan dia mengaku sempat komunikasi dengan pacar laki-lakinya, berharap untuk kembali. Namun ternyata si pacar lebih suka dengan pacar barunya yang lain, tentu sama-sama laki-laki.

Klien berkata, jika di perjalanan tadi kembali baikan, maka mungkin dia tidak jadi terapi. Tapi karena memang ditolak, maka keinginannya untuk kembali normal, justru lebih besar.

Tanpa malu-malu, klien menceritakan semuanya secara detail. Termasuk, sudah selama 20 tahun dia menjalani kehidupan sebagai seorang gay. Ya, sejak dia sekolah, dorongan suka dengan sesama jenis itu mulai muncul. Yang paling menjadi beban adalah keluarganya. Dia mengaku, keluarganya tidak tahu dengan perilakunya. Keluarganya hanya menganggap, belum ada wanita yang pas sehingga hingga kini belum menikah. Apalagi memang dia lebih sering tinggal di mes perusahaan, sehingga jarang berkumpul dengan keluarga.

Dari proses restrukturisasi, ternyata muncul fakta bahwa dia terlalu sayang dengan ibu dan kakaknya yang perempuan. Ibunya terlalu memanjakan klien. Bahkan menganggap klien masih dianggap sebagai anak kecil, meskipun sebenarnya sudah dewasa. Inilah yang menyebabkan klien sangat sayang dengan ibunya. Sebagai balasannya, pria ini tidak ingin membuat ibunya marah atau sakit hati. Dia ingin selalu menjadi anak yang baik dan penurut di hadapan ibunya.  

Pikiran bawah sadarnya pun menganggap, tidak boleh menyakiti hati perempuan. Itu sama saja akan menyakiti ibu dan kakak perempuannya. Itulah yang menyebabkan dia lebih memilih suka dengan sesama jenis.

Inilah keluguan pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar tidak mau ambil pusing. Supaya tidak menyakiti hati perempuan, ya jangan pacaran dengan perempuan. Kalau tidak pacar dengan perempuan, berarti tidak akan pernah menyakiti hati perempuan. Simpel.

Klien pun mengaku baru tahu jika itu yang menjadi penyebab dirinya lebih suka sesama jenis ketimbang lawan jenis. Penyebab tambahan lainnya adalah, ketika usia 7 tahun, dia pernah diolok kakak laki-lakinya sebagai ‘perempuan’, karena sangat dimanja ibunya, dan tidak pernah dibolehkan melakukan pekerjaan laki-laki.

Proses terapi memakan waktu selama 4 jam. Lumayan melelahkan dan menguras energi. Restrukturisasi berhasil dilakukan. Rasa suka terhadap sesama jenis pun berhasil dihilangkan. Perasaan sakit hati dan dendam terhadap teman prianya pun berhasil dinetralkan.

Usai terapi, klien merasa sangat nyaman dan plong. Dia coba membayangkan kembali teman prianya, terasa biasa saja. Yang muncul malah bayangan sesosok wanita yang selama ini suka dengan dia, namun diabaikannya.

Sebelum meninggalkan ruang praktik, sebuah buku tentang agama pun saya tawarkan untuk dibawa pulang. Dia bersedia, untuk bahan bacaan. Tak lama berselang, pria ini malah mengirim foto selfie sedang berada di Masjid Islamic Center Samarinda.

“Habis salat zuhur mas. Saya ngga tahu, kapan terakhir mandi wajib dan solat. Sudah puluhan tahun ngga pernah solat. Biarlah nanti sampai rumah saya mandi wajib lagi. Yang penting sekarang terasa nyaman. Harus lebih rajin ibadah,” bebernya.

Tak terasa, air mata saya ikut meleleh melihat perubahan drastis ini. Tentu saja, ini juga berkat dari pertolongan Yang Maha Kuasa, yang ikut campur tangan dalam mendukung perubahan klien.

Sebelum saya mengakhiri menuliskan artikel ini, klien saya coba hubungi, dan mengaku sedang menjalin hubungan dengan seorang wanita. Perasaannya terhadap wanita kini terus tumbuh dan terus meningkat.

Semoga perubahan ini menjadi berkah. Bukankah Sang Maha Pencipta adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang? (*)

Simak kisah menarik lainnya di www.endrosefendi.com  

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun