Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 menyematkan beberapa tujuan besar diantaranya: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial yang berdasar pada nilai Pancasila. Sejalan dengan hal tersebut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Dalam praktiknya, tanah merupakan sesuatu yang berharga dari beberapa aspek, seperti aspek ekonomi, aspek sosial, aspek politik, serta aspek hukum mengenai hak peguasaan tanah tersebut. Pemerintah memiliki kewenangan dalam mengatur dinamika pertanahan, terkhusus dalam lalu lintas hukum dan pemanfaatan tanah yang dituangkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 2 ayat (2) terkait wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah, termasuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tindakan-tindakan hukum yang menyangkut tanah.
Sejalan dengan adanya kewenangan negara (pemerintah), Bank Tanah merupakan representasi bentuk kewenangan pemerintah pusat dalam menyelenggarakan fungsi perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah, yang mana kekayaan badan bank tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana Bagian Keempat Pertanahan Paragraf 1 Bank Tanah Pasal 125 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Perwujudan Badan Bank Tanah merupakan badan khusus yang mengelola tanah sebagaimana Pasal 125 ayat (2).
Relevansi Badan Bank Tanah: Kebijakan Pemanfaatan dan Pengendalian Tanah
Eksistensi bank tanah dilatarbelakangi oleh kerisauan karena masih terdapat sebagian besar tanah terlantar yang tidak jelas peruntukannya, sehingga berakhir pada penggunaan tanah sebagai objek spekulasi. Oleh sebab itu, pemerintah menilai bahwa bank tanah hadir sebagai salah satu langkah strategis dalam mewujudkan reforma agraria, optimalisasi tata kelola pertanahan di Indonesia, dan upaya untuk membuka peluang lapangan kerja untuk melaksanakan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Salah satu HPL (Hak Pengelolaan) yang dikuasai oleh Bank Tanah di Indonesia adalah penyediaan lahan seluas 6.648 Ha dengan potensi pengembangan perkebunan, tanaman hortikultura, peternakan, dan tanaman pangan di Poso, Sulawesi Tengah. Selain itu pula, Badan Bank Tanah juga menyediakan lahan seluas 1.550 Ha untuk kegiatan reforma agraria. Dengan kata lain, Bank Tanah sebagai badan hukum Indonesia diberi kewenangan khusus untuk menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, untuk: a. Kepentingan umum; b. Kepentingan sosial; c. Kepentingan pembangunan nasional; d. Pemerataan ekonomi; e. Konsolidasi lahan; dan e. Reforma agraria.
Hak Pengelolaan Bank Tanah dalam dimensi reforma agraria merupakan salah satu upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan pembangunan serta mewujudkan ekonomi berkeadilan melalui pengendalian tanah. Pengendalian Tanah oleh Bank Tanah dalam Pasal 13 PP No. 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah, terdiri atas kegiatan: a. pengendalian penguasaan tanah; b. pengendalian pemanfaatan tanah; dan c. pengendalian nilai tambah. Interpretasi dari “pengendalian penguasaan tanah” adalah pengendalian terkait penguasaan tanah, sehingga penguasaan tanah tidak tersentralisasi pada golongan masyarakat tertentu. Dengan begitu, interpretasi terhadap “pengendalian pemanfaatan tanah” merupakan pengendalian terhadap aktivitas pemanfaatan tanah sehingga selaras dengan rencana tata ruang dan program utama yang ditetapkan oleh Badan Bank Tanah.
Apabila dicermati lebih lanjut, “pengendalian nilai tanah” adalah pengendalian terhadap nilai tanah dan harga yang ditetapkan dan dikendalikan oleh Bank Tanah sehingga harga menjadi wajar dan melakukan pencegahan praktik spekulasi tanah. Adapun pengendalian yang dilakukan oleh Bank Tanah adalah sesuai dengan sifat Bank Tanah, yakni bersifat transparan, akuntabel dan nonprofit.
Uraian di atas mencerminkan kebijakan pemerintah dalam upaya mewujudkan kemakmuran rakyat dan memastikan ketersediaan lahan. Pemanfaatan tanah oleh Bank Tanah di Indonesia dalam praktiknya dilakukan melalui kerja sama dalam bentuk jual beli, sewa, kerja sama usaha, hibah, tukar menukar, dan bentuk lain yang disepakati dengan pihak lain dengan mengedepankan asas kemanfaatan dan asas prioritas.
Namun begitu, pelaksanaan PP No. 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah yang berada di Provinsi Sulawesi Tengah Kabupaten Poso yang berlokasi di Desa Alitupu, Winowanga, Maholo, Kalimago dan Desa Watutau yang terbagi di dua kecamatan yaitu Lore Timur dan Lore Piore dari total luas HGU (Hak Guna Usaha) sebesar 7.740 ha menimbulkan konflik masyarakat, pemerintah, dan Badan Bank Tanah. Hal tersebut disebabkan karena adanya penguasaan lahan oleh Bank Tanah di luar ex HGU yang selanjutnya diklaim oleh Bank Tanah dengan melakukan penetapan pal batas di atas lahan milik masyarakat Watutau yang diatasnya terdapat lahan perkebunan yang sudah sejak lama dikelola oleh masyarakat.
Reliabilitas Badan Bank Tanah: Upaya Mewujudkan Ekonomi Berkeadilan
Perlu diketahui bersama bahwa Badan Bank Tanah bukan untuk kepentingan tertentu. Keterpihakan Badan Bank Tanah telah ditetapkan secara ketat dalam PP No. 64 Tahun 2021 yang menyebutkan bahwa Bank Tanah bukan hanya sebatas kepentingan investor, melainkan juga untuk kepentingan negara dan masyarakat. Beberapa hal yang mungkin dapat dinilai bersama adalah Badan Bank Tanah menyediakan paling sedikit 30 persen dari ketersediaan tanah dan untuk kepentingan sosial atau kepentingan lainnya dapat ditetapkan sampai dengan Rp0,00 (nol rupiah) sesuai dengan kebijakan Komite.
Beberapa keuntungan apabila bank tanah diimplementasikan yaitu: (1) bank tanah mampu memberikan solusi atas masalah tata ruang dan lingkungan; (2) memfasilitasi pembangunan infrastruktur nasional; (3) mengakhiri polemik kepemilikan dan penguasaan tanah serta memperkuat badan eksisting Kementerian ATR/BPN. Dengan eksistensi badan bank tanah seperti penilai tanah, penjaminan tanah, pembeli dan pemodal tanah, pengendali tanah, dan pendistribusian tanah, dan penjaga tanah, maka aktivitas bank tanah akan membawa dampak positif untuk pengelolaan pertanahan nasional di waktu mendatang. Namun demikian, terdapat kelemahan praktek Bank Tanah apabila dijalankan di Indonesia, seperti: (1) berpeluang untuk mendiskreditkan institusi yang tersedia; (2) menciptakan disharmonisasi kewenangan dan inkonstitusional atas kebijakan pertanahan yang sudah berlaku. Hal demikian dikarenakan diferensiasi kerangka implementasi dan tujuan antara bank tanah dengan kerangka implementasi pertanahan berupa reforma agraria.
Jadi, penilaian reliabilitas atau keandalan Badan Bank Tanah sebagai Badan Khusus yang mengelola tanah dibutuhkan 2 (dua) pertimbangan, yakni sebagai solusi atau kelemahan. Jika berkaca pada Hak Pengelolaan oleh Bank Tanah, badan tersebut juga mengorientasikan paling sedikit ketersediaan tanah yang diperuntukkan untuk reforma agraria. Ini menandakan bahwa badan Bank Tanah merupakan badan khusus yang memberikan kontribusi terhadap pengembangan ekonomi wilayah melalui pencadangan dan penyediaan lahan. Dengan memiliki tanah terlebih dahulu, Bank Tanah diharapkan dapat memiliki tanah dengan tarif yang wajar sehingga biaya pembangunan menjadi normal.
Upaya mengatasi kelemahan dari adanya Bank Tanah adalah melakukan koordinasi dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan pendistribusian tanah agar tanah dapat diserahkan kepada pihak yang tepat. Hal tersebut dilakukan karena secara operasional Bank Tanah sebatas menyediakan tanah, sementara tahapan kegiatan termasuk koordinasi dengan Pemerintah Daerah dilakukan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional di daerah. Dengan demikian, pembagian tanah perlu melalui proses koordinasi dan implementasi ketentuan mengenai redistribusi tanah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H