Mohon tunggu...
Muhammad Endriyo Susila
Muhammad Endriyo Susila Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)

Berminat pada kajian seputar Hukum Kesehatan (Health Law), khususnya Hukum Kedokteran (Medical Law), lebih khusus lagi Hukum Malpraktik Medik (Medical Malpractice Law). Latar Belakang Pendidikan: SH (UNDIP), MCL (IIUM), PHD (IIUM)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sengketa Medik dan Penyelesaiannya

31 Desember 2020   18:19 Diperbarui: 31 Desember 2020   19:30 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Istilah 'sengketa medik' merujuk pada sengketa yang terjadi antara dokter dengan pasien. Sengketa tersebut timbul biasanya karena adanya perbedaan pandangan terkait kerugian yang dialami oleh si pasien. Si pasien menganggap kerugian tersebut terjadi karena kesalahan/kelalaian dokter sehingga pihak dokter harus bertanggung jawab.

Bentuk tanggung jawab yang diharapkan oleh pasien biasanya adalah pembayaran ganti kerugian atau kompensasi. Jika pihak dokter merasa bahwa kerugian yang dialami oleh si pasien bukan akibat kesalahan/kelalaiannya, maka si dokter merasa tidak harus bertanggung jawab atas kerugian pasien tersebut. Perbedaan pandangan inilah yang memicu terjadinya sengketa antara pasien dan dokter, yang secara teknis dikenal dengan istilah sengketa medik.

Sengketa medik sering dikaitkan dengan isu malpraktik. Pasien yang menuntut ganti rugi kepada pihak dokter dan/atau rumah sakit biasanya menuduh bahwa dokter telah melakukan malpraktik dan kerugian yang dialaminya adalah akibat langsung dari malpraktik tersebut. 

Pada dasarnya penyelesaian sengketa medik dapat dilakukan secara litigasi (di pengadilan) atau secara non litigasi (di luar pengadilan). Tuntutan ganti kerugian difasilitasi oleh negara melalui mekanisme gugatan perdata di pengadilan. Hakim akan memeriksa materi gugatan serta alat-alat bukti yang diajukan oleh Penggugat (pasien).

Hakim juga memperhatikan pembelaan yang diajukan oleh pihak dokter dan/ atau rumah sakit (Tergugat). Apabila apa yang dituduhkan oleh pihak Penggugat dianggap telah terbukti, maka gugatan dikabulkan dan hakim akan memerintahkan pihak Tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada pihak Penggugat.

Tuntutan ganti rugi juga dapat diajukan secara langsung oleh pihak pasien kepada pihak dokter dan/ atau rumah sakit. Pihak dokter dan/ atau rumah sakit berhak menolak tuntutan pembayaran ganti kerugian tersebut atau menyetujuinya dengan besaran yang disepakati bersama. Proses perundingan untuk mencapai kesepakatan tersebut secara teknis disebut negosiasi.

Proses negosiasi kadang memerlukan kehadiran pihak ke tiga yang netral yang dinamakan mediator. Mediator membantu mengomunikasikan kepentingan masing-masing pihak kepada pihak lainnya. Proses negosiasi (negotiation) yang difasilitasi oleh mediator secara teknis disebut mediasi (mediation). Karena proses perundingan (negosiasi) itu dibantu oleh mediator, maka mediasi sering pula diartikan sebagai assisted negotiation. 

Mediasi merupakan sarana penyelesaian sengketa yang sangat dianjurkan karena menawarkan berbagai keuntungan bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Selain lebih murah dari segi biaya, lebih cepat dari segi waktu dan lebih sederhana dari segi proses, mediasi juga menawarkan model penyelesaian sengketa yang memberikan kepuasan pada ke dua belah pihak.

Berbeda, dengan model penyelesaian sengketa di pengadilan yang menempatkan satu pihak sebagai pemenang dan pihak lain sebagai pihak yang kalah, mediasi menawarkan kemenangan bagi kedua belah pihak yang bersengketa (win-win solution).

Politik hukum kesehatan menempatkan mediasi sebagai instrumen wajib (mandatory) dalam penyelesaian sengketa di bidang pelayanan kesehatan. Sengketa yang timbul dalam pelayanan kesehatan (akibat kelalaian tenaga kesehatan), termasuk sengketa medik, harus diselesaikan lebih dahulu melalui mekanisme mediasi.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa: "Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, (sengketa yang timbul akibat) kelalaian tersebut harus diselesaikan lebih dahulu melalui mediasi.

Ketentuan tersebut ditegaskan lagi oleh ketentuan Pasal 78 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan. Pasal 78 tersebut menyatakan sebagai berikut: "Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan."

Istilah restorative justice juga sering dikaitkan dengan penyelesaian sengketa medik di Indonesia. Konsep  restorative justice (keadilan restoratif) muncul sebagai antithesa terhadap konsep retributive justice (keadilan retributif) yang sekian lama digunakan sebagai paradigma dalam penegakan hukum pidana.

Sistem peradilan pidana dikritik karena terlalu fokus pada pelaku kejahatan (offender), tapi kurang atau bahkan tidak memberikan perhatian sama sekali pada pihak korban (victim). Konsep restorative justice ini menghendaki model penyelesaian perkara pidana yang lebih memperhatikan kepentingan korban.

Wujud konkrit dari pendekatan restorative justice adalah penggunaan sarana mediasi untuk menyelesaikan perkara pidana. Proses mediasi antara pelaku tindak pidana dengan pihak korban disebut dengan istilah victim-offender mediation atau penal mediation (mediasi penal).

Mediasi tersebut dimaksudkan untuk memulihkan keadaan korban yang terdampak oleh tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana diwajibkan untuk mengganti kerugian yang dialami oleh korban.

Selain pembayaran ganti kerugian dalam bentuk materi, pelaku juga didorong untuk meminta maaf kepada pihak korban atas kesalahannya menimbulkan derita pada korban. Dengan adanya pemaafan (pardon) ini, mekanisme mediasi tersebut sekaligus diharapkan dapat memulihkan hubungan antara pelaku dan korban.

Konsep mediasi penal sebagai manifestasi pendekatan restorative justice relevan untuk dibahas dalam konteks penyelesaian sengketa medik di Indonesia karena dua alasan yaitu adanya ketentuan yang mewajibkan penggunaan sarana mediasi di satu sisi, dan adanya kecenderungan untuk membawa sengketa medik ke ranah pidana di sisi yang lain.

Dua faktor tersebut dapat dijembatani dengan mekanisme mediasi penal, yaitu mediasi antara tenaga medik sebagai pelaku tindak pidana dan pasien sebagai korban tindak pidana tersebut.

#Hukum Kesehatan #Hukum Kedokteran #Malpraktik Medik #Sengketa Medik #Restorative Justice #Mediasi #Mediasi Penal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun