Ketentuan tersebut ditegaskan lagi oleh ketentuan Pasal 78 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan. Pasal 78 tersebut menyatakan sebagai berikut: "Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan."
Istilah restorative justice juga sering dikaitkan dengan penyelesaian sengketa medik di Indonesia. Konsep  restorative justice (keadilan restoratif) muncul sebagai antithesa terhadap konsep retributive justice (keadilan retributif) yang sekian lama digunakan sebagai paradigma dalam penegakan hukum pidana.
Sistem peradilan pidana dikritik karena terlalu fokus pada pelaku kejahatan (offender), tapi kurang atau bahkan tidak memberikan perhatian sama sekali pada pihak korban (victim). Konsep restorative justice ini menghendaki model penyelesaian perkara pidana yang lebih memperhatikan kepentingan korban.
Wujud konkrit dari pendekatan restorative justice adalah penggunaan sarana mediasi untuk menyelesaikan perkara pidana. Proses mediasi antara pelaku tindak pidana dengan pihak korban disebut dengan istilah victim-offender mediation atau penal mediation (mediasi penal).
Mediasi tersebut dimaksudkan untuk memulihkan keadaan korban yang terdampak oleh tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana diwajibkan untuk mengganti kerugian yang dialami oleh korban.
Selain pembayaran ganti kerugian dalam bentuk materi, pelaku juga didorong untuk meminta maaf kepada pihak korban atas kesalahannya menimbulkan derita pada korban. Dengan adanya pemaafan (pardon) ini, mekanisme mediasi tersebut sekaligus diharapkan dapat memulihkan hubungan antara pelaku dan korban.
Konsep mediasi penal sebagai manifestasi pendekatan restorative justice relevan untuk dibahas dalam konteks penyelesaian sengketa medik di Indonesia karena dua alasan yaitu adanya ketentuan yang mewajibkan penggunaan sarana mediasi di satu sisi, dan adanya kecenderungan untuk membawa sengketa medik ke ranah pidana di sisi yang lain.
Dua faktor tersebut dapat dijembatani dengan mekanisme mediasi penal, yaitu mediasi antara tenaga medik sebagai pelaku tindak pidana dan pasien sebagai korban tindak pidana tersebut.
#Hukum Kesehatan #Hukum Kedokteran #Malpraktik Medik #Sengketa Medik #Restorative Justice #Mediasi #Mediasi Penal
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI