Istilah 'sengketa medik' merujuk pada sengketa yang terjadi antara dokter dengan pasien. Sengketa tersebut timbul biasanya karena adanya perbedaan pandangan terkait kerugian yang dialami oleh si pasien. Si pasien menganggap kerugian tersebut terjadi karena kesalahan/kelalaian dokter sehingga pihak dokter harus bertanggung jawab.
Bentuk tanggung jawab yang diharapkan oleh pasien biasanya adalah pembayaran ganti kerugian atau kompensasi. Jika pihak dokter merasa bahwa kerugian yang dialami oleh si pasien bukan akibat kesalahan/kelalaiannya, maka si dokter merasa tidak harus bertanggung jawab atas kerugian pasien tersebut. Perbedaan pandangan inilah yang memicu terjadinya sengketa antara pasien dan dokter, yang secara teknis dikenal dengan istilah sengketa medik.
Sengketa medik sering dikaitkan dengan isu malpraktik. Pasien yang menuntut ganti rugi kepada pihak dokter dan/atau rumah sakit biasanya menuduh bahwa dokter telah melakukan malpraktik dan kerugian yang dialaminya adalah akibat langsung dari malpraktik tersebut.Â
Pada dasarnya penyelesaian sengketa medik dapat dilakukan secara litigasi (di pengadilan) atau secara non litigasi (di luar pengadilan). Tuntutan ganti kerugian difasilitasi oleh negara melalui mekanisme gugatan perdata di pengadilan. Hakim akan memeriksa materi gugatan serta alat-alat bukti yang diajukan oleh Penggugat (pasien).
Hakim juga memperhatikan pembelaan yang diajukan oleh pihak dokter dan/ atau rumah sakit (Tergugat). Apabila apa yang dituduhkan oleh pihak Penggugat dianggap telah terbukti, maka gugatan dikabulkan dan hakim akan memerintahkan pihak Tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada pihak Penggugat.
Tuntutan ganti rugi juga dapat diajukan secara langsung oleh pihak pasien kepada pihak dokter dan/ atau rumah sakit. Pihak dokter dan/ atau rumah sakit berhak menolak tuntutan pembayaran ganti kerugian tersebut atau menyetujuinya dengan besaran yang disepakati bersama. Proses perundingan untuk mencapai kesepakatan tersebut secara teknis disebut negosiasi.
Proses negosiasi kadang memerlukan kehadiran pihak ke tiga yang netral yang dinamakan mediator. Mediator membantu mengomunikasikan kepentingan masing-masing pihak kepada pihak lainnya. Proses negosiasi (negotiation) yang difasilitasi oleh mediator secara teknis disebut mediasi (mediation). Karena proses perundingan (negosiasi) itu dibantu oleh mediator, maka mediasi sering pula diartikan sebagai assisted negotiation.Â
Mediasi merupakan sarana penyelesaian sengketa yang sangat dianjurkan karena menawarkan berbagai keuntungan bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Selain lebih murah dari segi biaya, lebih cepat dari segi waktu dan lebih sederhana dari segi proses, mediasi juga menawarkan model penyelesaian sengketa yang memberikan kepuasan pada ke dua belah pihak.
Berbeda, dengan model penyelesaian sengketa di pengadilan yang menempatkan satu pihak sebagai pemenang dan pihak lain sebagai pihak yang kalah, mediasi menawarkan kemenangan bagi kedua belah pihak yang bersengketa (win-win solution).
Politik hukum kesehatan menempatkan mediasi sebagai instrumen wajib (mandatory) dalam penyelesaian sengketa di bidang pelayanan kesehatan. Sengketa yang timbul dalam pelayanan kesehatan (akibat kelalaian tenaga kesehatan), termasuk sengketa medik, harus diselesaikan lebih dahulu melalui mekanisme mediasi.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa: "Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, (sengketa yang timbul akibat) kelalaian tersebut harus diselesaikan lebih dahulu melalui mediasi.