Mohon tunggu...
anto fise
anto fise Mohon Tunggu... -

love rainy days and coffee :)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Orasi Penghinaan dan Aspek Pragmatiknya

25 November 2016   01:35 Diperbarui: 26 November 2016   13:32 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”  (Pasal 207 KUHP)

Istilah menghina, menurut KBBI: menghina/meng·hi·na/ v1 merendahkan; memandang rendah (hina, tidak penting) 2 memburukkan nama baik orang; menyinggung perasaan orang (seperti memaki-maki, menistakan).

Contoh ucapan yang menghina (seseorang): “Kamu itu anjing!” (diucapkan dengan kalimat langsung, di depan orang yang dihina)

“Saya ingin bilang bahwa kamu itu anjing, tapi tidak boleh” (diucapkan di depan orang yang dihina, dengan didahului dengan frasa “Saya ingin bilang bahwa..” dan disertai dengan frasa “tapi tidak boleh” diakhir kalimat)

“Direkturnya anjing!” (diucapkan dengan kalimat langsung, di muka umum/publik)

“Saya ingin bilang bahwa direkturnya anjing, tapi tidak boleh” (diucapkan di muka umum/publik, dengan didahului dengan frasa “Saya ingin bilang bahwa..” dan disertai dengan frasa “tapi tidak boleh” diakhir kalimat)

Dari beberapa contoh tersebut intinya ialah bahwa penghinaan apapun kemasan verbalnya , proposisi atau pesan pragmatiknya tetaplah penghinaan. Ibarat saya membungkus bangkai tikus dengan kemasan apapun tidak akan menihilkan bahwa yang saya bungkus adalah bangkai tikus.

Dalam pragmatik ada aspek tindak tutur (speech act) yang digolongkan menjadi tiga tipe yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak tutur (speech act) merupakan suatu konsep yang menggagas bahwa seseorang ketika bertuturkata pada konteks tertentu juga melakukan tindakan. Misalnya, saya berkata kepada seorang teman: “Hati-hati, di jalan itu ada lubang cukup besar” maka selain bertutur saya juga melakukan tindakan peringatan. Atau contoh lainnya, ketika saya berkata: “Anjing!” maka selain bertutur, saya juga melakukan tindakan memaki .

Suatu tuturan atau ujaran akan mempunyai implikasi pragmatik ketika ada konteks yang mengiringi atau melatarinya. Konteks bisa berupa lawan bicara, ruang publik, suatu momen, ataupun kerumunan massa. Misalnya, saya mengucapkan “Direkturnya goblok!” di dalam kamar dimana hanya ada saya sendiri, maka tidak ada implikasi pragmatik dari ucapan atau makian saya tersebut karena tak ada lawan bicara dan pendengar ucapan atau makian saya. Artinya saya hanya mengekspresikan suatu makian (misuh).

Namun akan menjadi lain ceritanya jika kata makian itu saya ucapkan di tengah kerumunan massa yang sedang melakukan demo terhadap sebuah perusahaan. Maka bukan hanya implikasi pragmatik yang bisa diperoleh dari ucapan saya itu, bisa jadi akan ada juga implikasi hukumnya terhadap diri saya sebagai pengucapnya.

Konteks yang melatari ucapan saya itu membuatnya bukan lagi sekadar ekspresi makian namun sudah menjadikannya sebagai sebuah ucapan yang memaki pihak/figur tertentu karena ada ruang publik, momentum, dan massa pendengar yang membuat ucapan saya memiliki daya ilokusi (illocutionary force), yaitu sebagai tindakan memaki bahkan menghina.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun