Tujuanku datang kali ini sebernarnya membawa visi dan misi yang cukup berat bagi hatiku, ya aku ingin curhat sebenarnya. Mencurahkan isi hatiku padanya, pada sahabat lamaku itu. Oh ya dalam hal ini sabahat lama yang aku maksud adalah orang yang aku kenal sedikit beberapa tahun lalu kami akrab kembali setelah ada teknologi BBM. Di sanalah kami nggerumpi biasanya, lewat benda kecil canggih buatan luar negeri itu. Lewat BBM itulah aku sering mencurahkan isi hatiku yang gundah gulana padanya, entah kenapa juga aku curhat padanya, mungkin karena aku suka solusi konyolnya.
“Duh Pak, dadaku nyesek banget neh,” kataku.
“Kenapa lagi Mas?” sahutnya prihatin.
“Biasalah, soal hati,” kataku singkat malu-malu.
“Oh… bunuh diri aja, tuh nelen lombok sekilo,” solusinya.
“Wah masalahnya Lombok lagi mahal Pak, sekilo sekarang 90 ribu,” ucapku tulus.
“Ya sudah beli saja 10 kg, nanti uangnya aku kasih. Kalau sudah mati cerita ya, gimana rasanya bunuh diri,” lanjutnya.
“Njih Pak, iya… iya…” kataku lirih menerima solusinya.
Aku kembali duduk, diam membisu mematung kayak tugu usang berlumut yang roboh kunduran Truk pengangkut cabe. Hatiku benar-benar remuk redam oleh apa itu yang namanya cinta. Wajahku menjadi begitu kupret, jelek dan menjemukan dipandang. Lebih dari 10 menit aku mematung.
“Hmmm… bentar mas,”
Pria setengah muda yang aku katakana cukup ganteng itu melangkah, medekati mejanya. Duduk sejenak di kursi empuknya yang bisa naik turun dan muter-muter itu. Tangannya disembunyikan di balik meja, seakan merapal mantra. Aku berharap dia memberikanku segelas air kembang yang sudah di jampi-jampi dan dimantrai olehnya. Tak lama kemudian dia kembali dengan sebuah amplop.