Mohon tunggu...
Endi Biaro
Endi Biaro Mohon Tunggu... profesional -

Penikmat Buku

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Meta Komunikasi" Jokowi Terkini

23 Oktober 2014   19:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:59 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, sebagai mainstream publikasi total di mana-mana, maka tak ayal  Jokowi melahirkan serentetan sampah informasi, atau informasi asimetris (pesan yang berlawanan dengan konteks kebenaran). Berita atau informasi tentang Jokowi telah melahirkan lautan sampah data. Alih-alih memberikan penjelasan, malah justru membuat semakin membingungkan.

Ketiga, Jokowi lahir di sebuah periode yang berciri runtuhnya otonomi informasi, yang dipegang oleh para opinion leader.

Hari ini, setiap orang berhak "berbunyi", entah melalui twitter, facebook, BBM, dan lain-lain. Sayangnya, peralihan otonomi informasi dari para pengemuka pendapat kepada rakyat luas ini, tidak disertai dengan kemampuan memadai. Maksudnya, rakyat dengan latar akademik tak jelas sekalipun, bisa ikut-ikutan ngoceh. Termasuk pesta pora dalam pesan-pesan sumir dan berbau provokasi.

Beberapa teoritisi komunikasi menyebut bahwa rakyat (sebagai penerima pesan, atau audiens), telah berubah menjadi khalayk kepala batu (sebelumnya mereka adalah khalayak yang pasif).

Tapi hebatnya, terkadang kekuatan ocehan rakyat jelata ini jauh lebih kuat daripada analisis pakar paling kaliber sekalipun, dengan syarat, ocehan itu berada dalam platform yang sama, misalnya menciptakan trending topic di twitter, atau terakumulasi dalam ikon hastag (#).

Keempat, secara umum ada simbiosis mutualisme antara Jokowi dengan khalayak luas.Hubungan saling membutuhkan itu, dalam bentuk ekspetasi perubahan politik, melahirkan preferensi awal bagi khalayak, dalam menjahit pola komunikasi (politik) mereka. Sederhananya, setiap bangun tidur, khalayak sekarang mencari secepat mungkin informasi tentang Jokowi. Sementara media massa (dan media sosial) juga dengan sengaja melakukan persistensi (usaha konsisten dan terus menerus) melakukan total ekspos terhadap Jokowi.

Lantas, apa faedah dari fenomena ini? Jika kita percaya pada adagium bahwa era internet adalah sebuah siklus yang mengembalikan tata cara komunikasi ke basis dasarnya, yaitu percakapan bebas, yang sama persis dengan percakapan tempo doeloe, yang tanpa aturan, tanpa formalitas, tanpa basis akademis, dan kerap tanpa tujuan, maka tentu semua booming informasi atas Jokowi akan sia-sia belaka, kecuali memenuhi hasrat ekspresi dalam komunikasi.

Justru di titik inilah tanggung jawab kita hadir. Yakni mengisi ruang-ruang informasi publik dengan referensi yang jelas, koeheren, penuh makna, dan bernuansa edukasi. Paling tidak, jenis informasi seperti ini bisa menghadirkan alternatif perspektif, seraya menyingkirkan lautan sampah informasi yang berbau fitnah. Dengan demikian, meta komunikasi harus dilakukan oleh orang-orang yang tercerahkan. Bukan oleh dukun, cenayang, apalagi Jokowi Haters...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun