[caption id="attachment_330709" align="aligncenter" width="300" caption="Jokowi di Majalah Time"][/caption]
Setidaknya, lima hal menonjol dari sosok Jokowi terkini, bisa ditafsirkan via filosofi meta komunikasi. Dan itu bersumber dari aktivitas beliau paska pelantikan Presiden RI.
Masing-masing: (1) mimik muka serius Jokowi di Majalah Time; (2) pilihan kemeja batik Pak Presiden, dalam menerima tamu negara; (3) kantung mata Mr. President yang sedikit menghitam, sebagai indikasi kelelahan; (4) insiden kecil saat arak-arakan, dan Jokowi nyaris kepeleset, serta pasangan Jokowi - JK yang melepas jas; dan (5) intonasi serta tuturan bahasa verbal Jokowi yang agak berubah, menjadi lebih pelan, lebih lambat, disertai gesture rada kaku.
Semua itu bisa diurai melalui bahasan meta komunikasi, yang berarti mencoba memberi komentar atau ulasan terhadap semua proses komunikasi, termasuk dengan tiap perntil unit komunikasi yang berlangsung. Dengan demikian, meta komunikasi adalah menerjemahkan pesan dibalik pesan.
Senyampang, sosok Jokowi terkini adalah mega data! Beliau hari ini menyimpan jutaan bit potensi informasi yang bisa "diolah" oleh siapa saja. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga menyimpan berton-ton potensi atom sebagai basis materi informasi. Jangankan ajang resmi (seperti konferensi pers), bahkan sepatu, baju, dan gaya rambutnya pun sudah jadi bahasan meriah. Seperti sebuah infotainment yang meminta ulasan panjang lebar dari pengamat busana di Televisi swasta.
Meta komunikasi Jokowi pun bahkan muncul dari pojok metafisika, yakni "terawangan" dari seorang perempuan cantik yang disebut-sebut ahli supranatural (alias klenik). Konon ada sepasukan balatentara Jin yang ikut mengawal Jokowi paska pelantikan.
Ringkas kata, magnitude Jokowi mengundang pelbagai analisis dari segala penjuru, mulai dari perspektif politik, sosial, ekonomi, budaya, hingga filsafat. Pun juga ocehan-ocehan berbasis logika mistika, perdukunan, dan ramalan cenayang. Dalam gerbong yang sama, masih pula muncul para komentator yang tergolong Jokowi haters. Semua kian membuat riuh rendah suasana.
Alhasil, letupan informasi dan penafsiran Jokowi terkini adalah representasi sempurna dari meta komunikasi. Fenomena ini, mau tak mau, perlu diurai dari sisi teoritis. Yakni berlangsungnya saling keterhubungan antara Jokowi sebagai elemen pesan, dengan instrumen pesan (media/ media sosial), internalisasi pesan oleh penerima (khalayak), dan imbal balik yang terjadi.
Ini adalah sebentuk model dasar dalam proses komunikasi standar, akan halnya Jokowi dalam tafsir meta komunikasi, maka yang terjadi adalah "proses di luar standar", alias revolusi proses komunikasi.
Pertama, Jokowi terkini adalah lebih dari sekedar media darling dan ikon politik yang luar biasa (extra ordinary people), melainkan juga sudah beralih menjadi agenda utama untuk aktivitas media, rakyat, dan sumbu dinamika sosial politik.
Bila kemarin-kemarin, beliau masih menjadi sumber berita, maka hari ini dia adalah pengendali berita. Suatu peralihan dari Man makes news menjadi Man Manage News. Bukti atas hal ini: sebelum jadi Presiden masih banyak media yang "melewatkan" berita tentang Jokowi, tetapi setelah dilantik, semua media "tak melewatkan" setitik pun informasi soal Jokowi.
Kedua, sebagai mainstream publikasi total di mana-mana, maka tak ayal Jokowi melahirkan serentetan sampah informasi, atau informasi asimetris (pesan yang berlawanan dengan konteks kebenaran). Berita atau informasi tentang Jokowi telah melahirkan lautan sampah data. Alih-alih memberikan penjelasan, malah justru membuat semakin membingungkan.
Ketiga, Jokowi lahir di sebuah periode yang berciri runtuhnya otonomi informasi, yang dipegang oleh para opinion leader.
Hari ini, setiap orang berhak "berbunyi", entah melalui twitter, facebook, BBM, dan lain-lain. Sayangnya, peralihan otonomi informasi dari para pengemuka pendapat kepada rakyat luas ini, tidak disertai dengan kemampuan memadai. Maksudnya, rakyat dengan latar akademik tak jelas sekalipun, bisa ikut-ikutan ngoceh. Termasuk pesta pora dalam pesan-pesan sumir dan berbau provokasi.
Beberapa teoritisi komunikasi menyebut bahwa rakyat (sebagai penerima pesan, atau audiens), telah berubah menjadi khalayk kepala batu (sebelumnya mereka adalah khalayak yang pasif).
Tapi hebatnya, terkadang kekuatan ocehan rakyat jelata ini jauh lebih kuat daripada analisis pakar paling kaliber sekalipun, dengan syarat, ocehan itu berada dalam platform yang sama, misalnya menciptakan trending topic di twitter, atau terakumulasi dalam ikon hastag (#).
Keempat, secara umum ada simbiosis mutualisme antara Jokowi dengan khalayak luas.Hubungan saling membutuhkan itu, dalam bentuk ekspetasi perubahan politik, melahirkan preferensi awal bagi khalayak, dalam menjahit pola komunikasi (politik) mereka. Sederhananya, setiap bangun tidur, khalayak sekarang mencari secepat mungkin informasi tentang Jokowi. Sementara media massa (dan media sosial) juga dengan sengaja melakukan persistensi (usaha konsisten dan terus menerus) melakukan total ekspos terhadap Jokowi.
Lantas, apa faedah dari fenomena ini? Jika kita percaya pada adagium bahwa era internet adalah sebuah siklus yang mengembalikan tata cara komunikasi ke basis dasarnya, yaitu percakapan bebas, yang sama persis dengan percakapan tempo doeloe, yang tanpa aturan, tanpa formalitas, tanpa basis akademis, dan kerap tanpa tujuan, maka tentu semua booming informasi atas Jokowi akan sia-sia belaka, kecuali memenuhi hasrat ekspresi dalam komunikasi.
Justru di titik inilah tanggung jawab kita hadir. Yakni mengisi ruang-ruang informasi publik dengan referensi yang jelas, koeheren, penuh makna, dan bernuansa edukasi. Paling tidak, jenis informasi seperti ini bisa menghadirkan alternatif perspektif, seraya menyingkirkan lautan sampah informasi yang berbau fitnah. Dengan demikian, meta komunikasi harus dilakukan oleh orang-orang yang tercerahkan. Bukan oleh dukun, cenayang, apalagi Jokowi Haters...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H