Mohon tunggu...
Hanz Endi Pramana
Hanz Endi Pramana Mohon Tunggu... Freelancer - menulis seakan bagian dari masa lalu. akankan punah?

Lulusan Prodi Ilmu Komunikasi, Fisip, Atma Jaya Yogyakarta, mantan wartawan Tribun Pontianak (Kompas Gramedia), Kalimantan Barat. Mantan wartawan yang ingin tetap menulis. Email: endi.djenggoet@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mau Dong, Makan dengan Piring Daun

10 April 2015   10:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:18 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_377764" align="aligncenter" width="320" caption="Si kecil dengan topi daunnya. Foto: Endi"][/caption]

HIDUP dekat dengan alam, seringkali terdengar klise dan tidak menarik. Saat ini, banyak orang mengaku cinta alam, tapi pada saat bersamaan selalu membuang sampah tidak pada tempatnya. Kontradiktif, kan?

Hidup di kota tidak melulu penuh suasana menggembirakan. Karena asalnya memang orang kampung, terkadang diperlukan keluangan waktu untuk sejenak refresing ke kampung halaman atau wilayah lain yang masih ada hutannya.

Dalam beberapa kesempatan berlibur ke kampung, selalu kucoba memperkenalkan alam kepada si kecil, melalui cara-cara yang bisa dipahaminya. Cara sederhana tentu dengan membuatkan mainan.

Suatu kali, si kecil tampak sangat senang dengan mainan baru yang menurut dia keren. Keren di sini belum tentu keren menurut ukuran orang kebanyakan.

Bagaimana tidak, mainan yang disebut keren itu hanya berupa sehelai daun lebar, kemudian ditekuk membentuk kerucut dan dikunci menggunakan lidi, sehingga menjadi sebuah topi. Dengan wajah gembira, topi itu dia kenakan dan asyiklah dia bermain-main.

Di lain waktu, saat berkunjung ke kebun karet kakeknya, kutemukan sejenis rotan besar menjuntai. Kulitnya yang berduri dibersihkan, sembari si kecil memandang kegiatan itu dengan takjub.

"Kok ada durinya ya..."

Dari rotan itu kuciptakan sebuah holahop, mainan berupa lingkaran besar. Dimainkan dengan cara memasang lingkaran itu di tengah-tengah tubuh, dan diputar dengan goyangan pinggul.

Mainan holahop yang terbuat dari plastik dan bisa dibongkar pasang banyak dijual di pusat perbelanjaan di kota besar. Tapi si kecil tak akan pernah tahu bagaimana proses membuatnya, karena semuanya urusan pabrik.

Di kebun karet ini, seuntai rotan yang harus dipotong dan dibersihkan dari durinya, bisa "disulap" menjadi holahop di depan matanya. Dia pun asyik bermain di tengah kerindangan pepohonan, sambil tertawa-tawa ceria.

Mainan itu tentu tak akan ditemui di mall, supermarket, atau toko-toko di manapun di kota besar. Itu sebabnya, kesempatan berlibur di kampung selalu dimanfaatkan untuk mengenalkan alam kepada si kecil, agar tidak tercerabut dari akar nenek moyangnya.

Saat diajak mengunjungi ladang kakek-neneknya, pondok kecil di pinggir ladang tampak indah dari kejauhan. Berada dalam pondok dan sibuk bertanya ini-itu, menjadi keasyikan tak terlupakan.

Sambil bertanya, jarinya mengarah ke tungku batu di tanah dengan arang kayu yang membara. Di tungku itu, dengan bahan bakar ranting pohon karet, kakek-neneknya memasak makanan atau merebus air. Ah, si kecil ini sejak lahir hanya tahu gas elpiji di dapur kami di kota.

Betapa hebohnya ketika dia diminta mengipas ranting karet yang dibakar, supaya cukup untuk memanaskan air untuk membuat kopi. Heboh karena kadang asap menerpa, atau kipas dari daun itu tidak cukup menghembuskan angin sehingga dia minta daun yang lebih lebar.

[caption id="attachment_377765" align="aligncenter" width="320" caption="Bermain di hutan. Foto: Endi"]

14286362282063925162
14286362282063925162
[/caption]

Di sela padi biasanya ditanam (atau tumbuh sendiri) aneka sayuran khas kampung. Mengikuti neneknya, si kecil ikut memetik beberapa buah lepang--entah apa bahasa Indonesianya, jamur kuping, dan daun singkong. Dia juga ikut membersihkan bahan sayuran itu di sebuah danau kecil buatan, sebagai penampung aliran mata air.

Usai makanan masak, saatnya makan. Beberapa helai daun simpur lebar dibentangkan di lantai pondok yang terbuat dari bilah bambu. Wow, wangi sekali nasi hangat dan sayuran kampung berpadu dengan daun segar itu. Si kecil pun makan dengan lahap, sambil terheran-heran bahwa daun itu bisa dijadikan piring.

"Asyik ya makan pakai piring daun," komentarnya.

Di halaman rumah, aku memelihara beberapa pohon peneduh. Beberapa cabangnya mirip joran pancing. Inilah salah satu bahan mainan bagi si kecil. Cabang itu kupotong, kemudian diberi tali dari benang dan pengait kecil dari ranting.

Sebagai ikan-ikannya, beberapa daun sudah dilubangi agar mudah dikaitkan menggunakan mainan pancing-pancingan itu. Dan kemudian, asyiklah si kecil dengan mainan buatan ayahnya, yang bahan-bahannya diperoleh dari halaman rumah.

Kupikir, aneka mainan dan alat dari alam sekitar, tak sekadar membawa pesan cinta alam. Tapi juga menumbuhkan kreativitas, untuk menjadikan sesuatu yang sederhana menjadi berguna. Sesuatu yang tampak biasa, diolah menjadi sedikit luar biasa.

Bagi orang yang lahir, besar, dan hidup di kampung, pengalaman-pengalaman itu mungkin sama sekali tidak ada istimewanya. Semua sudah menjadi bagian dari ritme kehidupan sehari-hari. Sesuatu yang rutin, di mana letak keistimewaannya?

Tapi bayangkan bagi sekian banyak anak-anak masa kini yang lahir, besar, dan hidup di perkotaan. Mereka, jika tanpa dorongan orangtua atau keinginan diri sendiri, tak akan pernah mengenali alam dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun.

Maka di rumah kami, sedikit sekali jumlah mainan yang dibeli dari toko. Hanya beberapa buah boneka dan sedikit mainan lain sekadarnya. Hal ini membuat heran orang-orang yang sesekali berkunjung dari kampung: kok sedikit sekali mainan untuk si kecil?

Boleh jadi, orang menilai kami pelit. Silakan, bebas menilai. Kami berpikir, apa bagusnya mengeluarkan uang hanya untuk mainan dari mall yang hanya digunakan sebentar, kemudian rusak dan menjadi sampah?

SEVERIANUS ENDI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun