Mohon tunggu...
Ende Widiyana
Ende Widiyana Mohon Tunggu... Guru - Akademisi

Pengajar Propesional yang dapat mendorong pengetahuan yang kuat kepada siswa. dapat menggunakan teknologi untuk membantu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang pembelajaran yang kompleks. mudah beradaptasi dengan gaya belajar yang berbeda berdasarkan siswa yang saya ajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Urgensi Kaidah Tafsir dalam Memahami Makna

15 Juli 2024   04:53 Diperbarui: 15 Juli 2024   06:44 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Allah dan Rasul-Nya, telah menjamin  bahwa manusia tidak akan tersesat dalam menjalani kehidupan yang fana ini selama ia mengikuti petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu berpegang-teguh kepada Al-quran dan Al-Hadits.

Sebagaimana Firman Allah Swt. Dalam QS Thaha ayat : (123-124)

(123) (124)

Artinya: Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta." (Q.S Thaha: 123, 124).

Ahli tafsir dari kalangan sahabat Nabi yaitu Abdullah bin Abbas dalam menjelaskan kedua ayat ini, berkata bahwa, "Allah menjamin kepada siapa saja yang membaca Al-quran dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat." [Tafsir ath Thabari, 16/225].

Menurut Tafsir Al-Wajiz karya Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah, mentafsirkan maksud ayat tersebut bahwa Allah Swt. berfirman kepada Adam dan Hawa: "Turunlah kalian berdua dari surga menuju bumi. Wahai manusia, sebagian kalian akan menjadi musuh sebagian lainnya dengan saling bersaing dalam kehidupan. Dan jika datang kepada kalian hidayah dariKu dengan menurunkan kitab dan mengutus rasul, maka barangsiapa yang mengikuti hidayahKu dengan mengerjakan perintah-perintahKu, maka dia tidak tersesat di dunia dan tidak akan menderita di akhirat."

 

Pengertian Tafsir Al-qur'an

Pengertian Tafsir secara etimologis tafsir berasal dari kata " -- -- " yang artinya adalah menjelaskan, menerangkan, atau menyingkap. Ibnu Abbas menafsirkan kata "" adalah "" yang berarti penjelasan atau perincian. Adapun pengertian tafsir Al Qur'an secara terminologis, didefinisikan oleh beberapa ulama sebagai berikut :

Al-Imam Muhammad Abdul Adzim Az-Zurqooni dalam kitabnya Manaah Al-'Irfaan fii Uluum Al-Quran

"Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al Quran Al karim dari segi makna yang terkandung di dalamnya sesuai apa yang dimaksud oleh Allah ta'ala sebatas kemampuan manusia"

Adapun menurut Al-Imam Az-Zarkasyi

"Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam, menjelaskan maknanya, menarik kesimpulan hukum dan hikmahnya."

Dari pengertian diatas kita dapat menyimpulkan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang penjelasan terhadap makna dan maksud ayat-ayat Al Quran Sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Allah Swt. sebatas kemampuan manusia.

Memahami makna yang dimaksud dalam Al-Qur'an musti berdasarkan pada berbagai ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran atau disebut dengan Ulumul Qur'an. Tafsir Al-Qur'an adalah suatu metode untuk memahami Al-Qur'an (KK).

Dalam memahami ilmu tafsir memerlukan beberapa hal yang mendasar agar sasaran atau tujuan mempelajari ilmu tersebut tercapai. Diantaranya, harus megunakan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ilmu tersebut. Dalam hal ini adalah ilmu tafsir. Dalam konteks inilah, penulis akan muncul suatu permasalahan, sejauhmanakah urgensi dari fungsi dan peran. Kaidah-kaidah tafsir dalam memahami Al-Qur'an? Untuk itu, dalam mempelajari tafsir diperlukan kaidah-kaidah agar dapat mengetahui dan sekaligus memilah-milah ayat-ayat Alquran, baik yang menyangkut ketauhidan, ibadah maupun yang berkaitan dengan muamalah.

Selaras dengan ayat diatas adalah sebuah hadits Baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berbunyi

Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, HR. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta'zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).

Ketika Rasulullah saw masih berada di tengah-tengah umatnya, beliau berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap maksud ayat-ayat al-Quran. Beliaulah yang menjelaskan segala sesuatu bagi masalah yang ditanyakan oleh para sahabat. Kemudian Setelah Rasulullah wafat, penafsiran sahabat terhadap ayat-ayat al-Qur'an berpijak pada inti kandungan serta penjelasan makna yang dikehendaki ayat al-Qur'an yang merujuk pada pengetahuan mereka tentang sebab-sebab turunnya ayat serta peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab turunya ayat (Ali Hasan, 1992:15).

Demikian pula generasi berikutnya yang dikenal dengan sahabat kecil dan para tabi'in. Mereka dapat memahami petunjuk al-Quran walaupun pemahamannya dari segi bahasa/makna tidak sepenuhnya sama dengan pemahaman para sahabat yang telah bersama Nabi saw menyaksikan turunnya al-Qur'an dan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya alQur-an (Quraish, 1989:40) yang dikenal dengan istilah asbab al-nuzul. (AlZarqaniy, t.th:3). Setelah masa tabi'in berakhir, ijtihad menyangkut ayat-ayat al-Quran tidak dapat dielakkan lagi. Hal ini selain disebabkan oleh hadits dan riwayat-riwayat menyangkut berbagai hal termasuk tafsir, ada yang sahih (dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya), ada yang daif (lemah). Di samping itu, laju perubahan sosial semakin menonjol, selain banyaknya persoalan baru yang muncul di tengah-tengah masyarakat yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., sahabat, dan tabi'in. Demikian pula meningkatnya porsi peranan akal dalamPenafsiran ayat-ayat al-Qur'an sehingga bermunculanlah berbagai corak penafsiran serta pendapat menyangkut ayat-ayat al-Qur'an (Yunan, 1990:6)

Keragaman penafsiran tersebut relevan dengan keadaan al-Qur'an itu sendiri seperti yang dikatakan oleh Muhammad Arkoun, seorang pemikir al-jazair kontemporer, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab bahwa alQur'an memberikan kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya tentang pemikiran dan penjelasan pada tingkat mutlak. Dengan deemikian, ayat-ayatnya selalu terbuka untuk interpretasi, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.(Quraish, 1993:6). Hal demikian menunjukan bahwa makna-makna yang dikandung al-Quran bersifat dinamis, terbuka untuk dikaji, dan untuk mengamalkan petunjuk-petunjuknya perlu penafsiran.

Pengertian Kaidah Tafsir

 

  • Pengertian Kaidah

            Kaidah-kaidah tafsir asalnya adalah terjemah dari kata Bahasa Arab ( Qowaid at-tafsir ) yang berasal dari dua suku kata yaitu Qawaid dan Al Tafsir. Qawaid sendiri adalah bentuk plural atau jamak dari 'Qidah' yang secara bahasa berarti pondasi. Dalam Al-Mu'jam Al Wasith oleh Ibrahim Anis disebutkan :

"Kata kaidah, dalam konteks sebuah bangunan adalah pondasinya."

Makna ini juga disebutkan oleh Ar Raghib Al-Asfahani di dalam Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an (Raghib al Asfahani, 2001: 410) "Kata kaidah, dalam konteks sebuah bangunan adalah pondasinya".

Dalam bahasa Indonesia, kaidah berarti rumusan, azas-azas yang menjadi hukum, aturan-aturan yang tertentu atau patokan dalil (Pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, 1989:376). Dalam al-Quran kata qawaid ditemukan pada QS. al-Baqarah (2):127, QS.al-Nahl (16):26 yang berarti dasar-dasar, fondasi dan tiang. Dengan demikian, kaidah-kaidah mengandung arti undang-undang, aturan-aturan, azas-azas, fondasi atau patokan.

  • Pengertian Tafsir 

Adapun kata "tafsir" merupakan bentuk masdar dari kata kerja ma'lum,  fassara-yufassiru yang secara etimologis berarti jelas (nyata) dan menjelaskan (Faris, 1979:504). Dari segi leksikologis berarti menjelaskan, membuka sesuatu yang tertutup dan menjelaskan yang sukar (Ibrahim: 288).

Dalam al-Qur'an kata tafsir dijumpai pada (QS Al-Furqan 25:33) Allah Swt. berfirman :

'Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang permisalan, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya"

As Sa'di (1996: 531) menjelaskan bahwa makna wa ahsana tafsira dalam ayat tersebut adalah Mubayyin lil ma'aani bayanan kaamilan yang berarti "Menjelaskan makna-makna dengan penjelasan yang sempurna"

Dari sudut terminologis ulama berbeda pendapat dalam memberi definisi tafsir. Menurut al-Zarkasyiy, tafsir adalah ilmu yang dengannya diketahui pemahaman kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw., penjelasan akan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya (Zarkasyiy, 1988:33). Sedangkan menurut al-Zarqaniy, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia, dan mencakup di dalamnya memahami makna dan penjelasan yang dimaksud (al-Zarqaniy :3). Abdul Muin Salim memandang definisi tersebut di atas memiliki persamaan dan perbedaan Persamaannya terletak pada tujuannya yaitu tafsir bertujuan untuk kebaikan hidup manusia, sedangkan perbedaannya terletak pada hakekat tafsir. Selanjutnya Muin Salim menerangkan kedua pandangan tersebut di atas ke dalam satu kesimpulan bahwa tafsir adalah upaya untuk memahami, menemukan dan menjelaskan isi yang dikandung oleh al-Qur'an.

Dengan demikian istilah tafsir mengandung tiga konsep yaitu;

  • Tafsir sebagai kegiatan ilmiah untuk memahami isi Al-Qur'an.
  • Tafsir sebagai ilmu (alat) yang digunakan dalam kegiatan ilmiah.
  • Tafsir sebagai hasil kegiatan ilmiah (Muin Salim, 1990:13-16).

Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah suatu kegiatan ilmiah yang mengungkap dan menjelaskan makna ayat-ayat, hukum-hukum dan hikmah-hikmah, serta petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalam al-Quran sesuai dengan kadar kemampuan masing masing yang menafsirkan. Jadi pengertian qawaid al-tafsir dilihat dari segi bersandarnya kata qawaid pada kata tafsir berarti semuah kaidah yang ada hubungannya dengan kegiatan tafsir.

      3.  Pengertian Kaidah Tafsir

Qawa'id al-Tafsir merupakan kata majemuk, terdiri dari kata Qawa'id () dan kata al-Tafsir (). Qawa'id secara etimologis merupakan bentuk jamak dari kata qa'idah ( ), atau kaidah dalam bahasa Indonesia. Kata qa'idah secara semantik berarti asas, dasar, pedoman atau prinsip, sedangkan Tafsir adalah keterangan atau penjelasan mengenai makna-makna al-Qur'an sebagai wahyu Allah. Arti dari Al-Qawid di dalam ayat tersebut adalah pondasi asas (Abu Al Hasan Ali ibn Ahmad Al-Wahidiy, 1995: 131).

Adapun secara istilah kata kaidah bermakna seperti yang diungkapkan Khalid bin Utsman As-Sabt bahwa:

"Hukum umum yang digunakan untuk mengidentifikasi hukum-hukum rinciannya." (Khalid bin Utsman As-Sabt, 27)

Adapun makna kaidah tafsir menurut Khalid ibn Utsman Al Sabt Sebagai berikut:

"Aturan-aturan umum yang digunakan untuk mengantarkan kepada Istimbat makna-makna Al-Qur'anul Azhim dan pengetahuan tentang cara menerapkannya." (Khalid ibn Ustman al Sabt, 1999: 30 dan Salman Harun, dkk., 2017: 31).

Dari pengertian yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Qawa'id al-Tafsir ialah dasar atau pedoman yang harus diketahui oleh seorang mufassir dalam memberikan keterangan atau penjelasan mengenai makna-makna yang terkandung di dalam al-Qur'an. Olehnya itu, untuk menafsirkan al-Qur'an seseorang harus memperhatikan aspek-aspek bahasa al-Qur'an serta korelasi (al-munasabah) antar surat, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan dan sebab-sebab turun ayat.

M. Quraih Shihab mengatakan bahwa komponen-komponen yang harus ada dalam kaidah-kaidah tafsir antara lain (a) ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan al-Qur'an; (b) Sistematika yang hendak ditempuh dalam menguraikan penafsiran; dan (c) patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat al-Quran, baik itu diambil ari ilmu-ilmu bantu seperti bahasa dan usul fiqhi maupun yang ditarik langsung dari penggunaan al-Quran (Quraish, 1993:154). Komponen-komponen tersebut dapat memberi batasan yang jelas dalam upaya perumusan kaidah-kaidah tafsir.

Dari beberapa keterangan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah tafsir adalah aturan-aturan dan azas-azas yang dijadikan dasar atau landasan operasional penafsiran al-Quran yang dibakukan menjadi kaidah tafsir dan penting untuk diketahui oleh mufassir dalam memahami secara tepat sesuai makna yang dikandung oleh ayat-ayat al-Quran.

Perbedaan antara Ulumul Qur'an, Tafsir dan Kaidah Tafsir

Pada awalnya Ulumul Qur'an digunakan untuk ilmu umum yang diambil dari Al-Qur'an seperti akidah, fikih, tafsir, akhlak, qiraat, Bahasa Arab, 'Ijazul Qur'an (kemukjizatan Al-Qur'an) I'rb Alquran (gramatikal bahasa Arab) dan ilmu apa saja yang diambil dari Al-Qur'an. Dalam perkembanganya, Ulumul Qur'an kemudian menjadi istilah disiplin ilmu tersendiri yang berkaitan dengan seluk beluk Al-Qur'an. Di antara definisi ulumul Qur'an yang populer adalah apa yang disebutkan oleh Nurudin 'Itr. beliau mengatakan bahwa Ulumul Qur'an adalah "Pembahasan universal yang terkait dengan Al-Qur'an Al-Karim dari sisi turunnya, urutannya, kodifikasinya, penulisannya, tafsirnya, kemukjizatannya, nasikh dan mansukhnya dan yang lainnya." (Nur ad Din 'Itr, 1993: 8).

Kaidah tafsir dan tafsir adalah cabang dari Ulumul Qur'an yang lebih spesifik. Kaidah tafsirmembahas rambu-rambu dan aturan tafsir ayat. Sedangkan tafsir mengaplikasikan rambu-rambu dan aturan tersebut dalam ayat sehingga tersingkap maksud ayat sesuai yang dikehendaki pembuat syariat.

Sejarah Perkembangan Kaidah Tafsir

Sejak awal turunnya wahyu, Nabi Muhammad sallahu alaihi wassalam senantiasa mengajarkan Al-Qur'an kepada para sahabatnya. Mufasir pertama dalam Islam adalah Rasulullah Sallahu alaihi wassalam itu sendiri. Kemudian beliau mewariskan ilmu Al-quran dan tafsir kepada para sahabat secara bertahap. Ibnu Jarir menukil riwayat dari Ibnu Mas'ud bahwa para sahabat belajar Al-quran sekitar sepuluh ayat dan berhenti untuk menghafal, memahami dan mengamalkannya.

Sumber tafsir pada saat itu adalah wahyu dari Allah secara langsung, atau dari ayat Al-Qur'an yang lain atau Nabi sallallahu alaihi wassalam berijtihad sendiri. Hal tersebut karena apa saja yang datang dari beliau dalam masalah agama pada hakikatnya adalah wahyu (Muhammad Husain Al Dzahabi, 19).

Dari madrasah Rosulullah lahirlah para pakar tafsir. Inilah para sarjana pertama yang mewarisi ilmu tafsir langsung (talaqqi) dari nabi Muhammad Sallahu alaihi wassalam. Diantara mereka adalah khulafaurrasyidin, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa Al Asy'ari, Ubay ibn Ka'ab, Anas bin Malik, Abdullah bun Zubair, Jabir ibn Abdillah, Aisyah dan lainnya

(Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 2013: 182-183. Lihat juga Syaful Rokim, 2020: 81).

Setelah Islam meluas di era Usman bin Affan, maka banyak para sahabat menyebar di berbagai wilayah dan menjadi guru tafsir di wilayah tersebut. Oleh karena itu, diperguruan Madinah Ubay bin ka'ab yang mencetak Zaid bin Aslam, di Mekkah ada Ibnu Abbas yang mencetak Mujahid dan Thawus, di Kufah pada saat itu ada Ibnu Mas'ud yang mencetak Al Qomah dan Masruq. Metode penafsiran para sahabat adalah penafsiran bil ma'tsur atau langsung dengan riwayat yang diperoleh Nabi sallahu alaihi wassalam. Jika dicermati banyak ditemui bahwa para sahabat menafsirkan Alquran dengan hadis-hadis Nabi sallallah alaihi wasallam.

Meskipun tidak terkodifikasikan secara rinci, penafsiran mereka mengikuti kaedah yang diajarkan langsung Rasulullah. Metode tersebut mereka warisan kepada generasi berikutnya. Seiring berjalan waktu, baru kemudian ilmu kaidah-kaidah tafsir berdiri sendiri menjadi satu cabang ilmu tersendiri.

Pada awalnya karya ilmiah ulama yang berkembang tentang kaidah-kaidah tafsir bercampur dengan pembahasan ulumul Qur'an atau usul Fiqih. Di antara karya ulama pertama yang menyinggung tentang masalah ini adalah Ar-Risalah karya Imam Asy-Syafi'I, Al Risalah adalah karya monumental Muhammad ibn Idris Al Syafii (150-204 H). Secara coraknya kitab tersebut digolongkan ke dalam kitab Ushul Fiqh. Akan tetapi di dalam kibab tersebut Imam Syafii telah menyinggung kaidah penafsiran berkaitan dengan 'Aam dan Khas, Nasikh-Mansukh dan lainnya. Hanya saja tidak ditulis sebagai disiplin ilmu kaidah Tafsir secara tersendiri. Lihat, Al-Risalah, Muhammad ibn Idris Asy Syafii, (Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Mathbaah Al-Baba Al-Hubla wa Auladuhu, Mesir, 1938). Selain mempelopori kajian ushul fikih, buku ini sebenarnya merupakan salah satu buku pelopor tentang pembahasan kaidah tafsir walaupun tidak fokus membahas kaidah-kaidah tafsir secara khusus.

Macam-Macam Tafsir Berdasarkan Sumbernya

Dalam buku berjudul Ulumul Quran II yang disusun oleh Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi'i dijelaskan bahwa tafsir Alquran ditinjau dari segi sumbernya (sumber penafsiran) ada tiga macam, yaitu tafsir bil ma'tsur, tafsir bil ra'yi, dan tafsir bil izdiwaji.Tafsir bil ma'tsur sering disebut dengan tafsir Bir Riwayah atau tafsir Bil Manqul, yaitu tafsir Alquran yang dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran didasarkan atas sumber penafsiran dari Alquran, dari riwayat para sahabat Nabi Saw dan dari riwayat para tabi'in. 6 Pada Tafsir bil Ma'tsur, penafsiran ayat-ayat Alquran diambil dari sumber-sumber yang berhubungan dengan makna ayat yang akan ditafsirkan, lalu disebutkan penafsirannya berdasarkan riwayat, nukilan atau kutipan. Menukil dari Nabi dan harus menghindari riwayat-riwayat yang dhaif (lemah) dan palsu, dan itu jumlahnya cukup banyak.7 Mereka para mufassir kalau sudah ketemu riwayat tersebut maka mereka tidak lagi berijtihad di dalam menjelaskan maksud ayat yang ditafsirkan dan tidak mencari penafsiran dari sumber yang lain. Bahkan mereka harus menghindari keterangan yang tidak ada manfaatnya karena tidak ada dalilnya.

Tafsir bil ra'yi sering juga disebut dengan tafsir bil dirayah atau tafsir bil ma'qul, yaitu tafsir Alquran yang didasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran mufassir tarhadap tuntunan kaidah Bahasa Arab dan kesasteraannya, teori ilmu pengetahuan, setelah dia menguasai sumber-sumber tadi.8 Pada tafsir bil ra'yi ini mufassir menjelaskan makna-makna Alquran dengan hanya berpegang pada pemahaman mereka sendiri dan penyimpulan yang didasarkan pada pendapat semata, sehingga terkadang tidak disertai bukti-bukti jelas dari ayat itu sendiri. Hal ini bisa berakibat pada penyimpangan terhadap kitabullah. Karena itulah terhadap tafsir bil ra'yi ini para ulama berlainan pendapat, ada yang membolehkannya dan ada juga yang mengharamkannya. Dikatakan haram kalau memang tidak ada dasar sama sekali dalam Alquran, atau dilakukan tanpa dasar kaidah Bahasa Arab dan pokok-pokok hukum syariah dan atau untuk memenuhi kemauan nafsu belaka.9 Sebagian ulama yang membolehkan penafsiran dengan menggunakan metode tafsir bil ra'yi mensyaratkan kepada mufassir untuk memenuhi syarat-syarat sebagai seorang mufassir, kalau tidak maka juga tidak boleh untuk melakukan penafsiran.

Tafsir bil izdiwaji disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil ma'tsur dan tafsir bil ra'yi, yaitu penafsiran ayat Alquran berdasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayah yang kuat dan sahih, dengan sumber hasil ijtihad akal pikiran yang sehat. Tafsir macam ini banyak ditulis pada tafsir modern dan muncul sesudah kebangkitan kembali umat Islam. Buya Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar menyatakan bahwa penerapan cara penafsiran ini dalam menafsirkan Alquran dilakukan oleh penafsirnya dengan memelihara sebaik-baiknya hubungan antara naqal dan akal serta antara riwayah dan dirayah. Penafsir tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat-pendapat penafsir yang telah terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan pengalamannya sendiri.

Macam-Macam Kaidah Tafsir 

Kaidah-kaidah tafsir yang berkembang dalam sejarah penafsiran Alquran sangat beragam. Berdasarkan perkembangan tersebut, jika dipetakan kadiah-kaidah tafsir dapat dikelompokkan menjadi kaidah dasar, umum, dan khusus.

  • Kaidah dasar tafsir

Kaidah dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan Alquran yang meliputi Alquran, Hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabi'in. Dalam kaidah dasar ini, seorang mufassir pertama-tama harus kembali kepada Alquran dan menelitinya secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat Alquran tentang suatu tema atau pokok persoalan. Kemudian menghubungkan dan memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika pada suatu ayat masalahnya disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat lain.

Kemudian mufassir juga harus memerhatikan hadis-hadis Nabi. Bila mendapatkan hadis shahih, ia harus menafsirkan ayat berdasarkan hadis tersebut. Ia tidak dibenarkan untuk menafsirkan menurut pendapatnya sendiri dan meninggalkan hadis tersebut. Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat Alquran, ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang terkadang sanadnya lemah, diperlukan kehati-hatian dan seleksi yang teliti. Demikian juga dengan perkataan tabi'in. Hanya saja keberadaan perkataan tabi'in dalam menafsirkan Alquran ini diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma'sur dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir bi al-ra'yi, seperti tafsir para mufassir lainnya setelah tabi'in.

  • Kaidah Umum Tafsir

Kaidah umum yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang mufassir dalam menafsirkan Alquran. Seorang mufassir yang akan menafsirkan ayart-ayat suci Alquran harus memenuhi syarat-syarat. Para ulama menyebutkan beberapa syarat yang haruis dimiliki oleh seseorang yang hendak menafsirkan Alquran. Syarat-syarat tersebut, di antaranya; mempunyai akidah yang lurus, bersih dari hawa nafsu dan menguasai ilmu tafsir (ilmu-ilmu Alquran beserta pendukungnya).11 Ilmu-ilmu Alquran misalnya; ilmu Asbab An nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), ilmu makki wal madani, ilmu nasikh wal mansukh, ilmu muhkam wal mutasyabih dan lain sebagainya. Adapun ilmu lainnya sebagai pendukung yang harus dimiliki oleh seorang mufassir meliputi ilmu Bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqaq, balaghah (ma'ani, bayan dan badi'), ushul fiqh, dan ilmu qira'at. Ilmu bahasa (linguistik) berfungsi untuk mengetahui kosa kata, konotasi, dan konteks Alquran. Melalui ilmu nahwu (tata bahasa), seorang mufassir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah seiring dengan perubahan i'rab. Dengan Ilmu Sharaf (konjungsi), seorang mufassir dapat melihat bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata. Sementara kaidah isytiqaq (derivasi kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda pula. Ilmu Balaghah berperan dalam membimbing mufassir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma'ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan (badi'). Adapun Ilmu Ushul Fiqih dapat membantu mufassir dalam mempelajari cara pengambilan dan perumusan dalil-dalil hukum. Sedangkan Ilmu Qiraat digunakan oleh mufassir untuk mengetahui cara-cara melafalkan Alquran.

  • Kaidah Khusus Tafsir Kontemporer 

Adapun kaidah penafsiran secara umum dalam menjelaskan ayat-ayat Allah Swt. banyak cara yang ditempuh para pakar tafsir. Ada yang menyajikannya sesuai urutan ayat-ayat sebagaimana tertulis dalam mushaf Alquran. Misalnya dari ayat pertama surat al-Faatihah hingga ayat terakhir, kemudian beralih ke ayat pertama surat kedua (al-Baqarah) hingga berakhir pula, dan seterusnya. Pesan dan kandungan Alquran disajikan dengan rinci dan luas mencakup aneka persoalan yang muncul dalam pikiran sang mufassir, baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan ayat yang ditafsirkannya. Cara penafsiran seperti ini dikenal dengan sebutan tafsir tahlily. Ada juga yang memilih topik tertentu, kemudian menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tersebut di manapun ayat tersebut ditemukan. Selanjutnya disajikan kandungan dan pesan-pesan yang berkaitan dengan topik yang dipilihnya tanpa terikat dengan urutan ayat dan surat sebagaimana tersebut dalam mushaf dan tanpa menjelaskan hal-hal yang tidak berkaitan dengan topik walau hal yang berkaitan itu secara tegas dikemukakan oleh ayat dibahasnya. Cara ini dikenal dengan sebutan tafsir maudhu'iy. 

Penafsiran dengan metode tafsir maudhu'iy inilah yang dimaksud dengan tafsir kontemporer. Hal tersebut karena dengan metode tafsir maudhu'iy, tafsir Al-Qur'an akan mampu menjawab tantangan zaman dan selalu relevan dengan perkembangan zaman modern. Tafsir maudhu'iy terdiri dari dua kata, yaitu kata tafsir dan kata maudhu'iy. Kata tafsir termasuk bentuk masdar (kata benda) yang berarti penjelasan, keterangan, uraian. Kata maudhu'iy dinisbatkan kepada kata maudhu', isim maf'ul dari fi'il madhi wadha'a yang memiliki makna beraneka ragam, yaitu yang diletakkan, yang diantar, yang ditaruh, atau yang dibuat-buat, yang dibicarakan, tema, atau topik. Makna yang terakhir ini (tema atau topik) yang relevan dengan konteks pembahasan di sini. Secara harfiah tafsir maudhu'iy dapat diterjemahkan dengan tafsir tematik, yaitu tafsir berdasarkan tema atau topik tertentu. Secara terminologi Abdul Hayyi al-Farmawi mendefinisikan bahwa tafsir maudhu'iy adalah menghimpun ayat-ayat Alquran yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan, serta mengambil kesimpulan.16 Definisi tafsir maudhu'iy ini memberikan indikasi bahwa mufassir yang menggunakannya dituntut harus mampu memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Mufassir menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya dalam upaya mengetahui perkembangan petunjuk Alquran menyangkut persoalan yang dibahas. Kemudian menguraikan satu kisah atau kejadian bersadarkan runtutan kronologis peristiwa. Mufassir juga sangat diperlulan mengetahui dan memahami latar belakang turun ayat atau yang disebut dengan asbab al- nuzul (bila ada) karena hal ini sangat besar pengaruhnya dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an secara benar.

Untuk mendapatkan keterangan yang lebih luas, penjelasan ayat dapat ditunjang dari hadis, perkataan para sahabat, dan lain-lain yang ada relevansinya. Karena, pada hakikatnya tafisr maudhu'iy adalah tafsir yang menggunakan tafsir bil ma'tsur, yakni tafsir yang merujuk pada penafsiran Alquran dengan Alquran, atau penafsiran Alquran dengan Hadis melalui penuturan para sahabat. Karena mereka menyaksikan di saat turunnya wahyu. Penafsiran merekalah yang layak dijadikan sumber. Di samping itu mereka juga adalah orang-orang yang dididik oleh Rasulullah Saw secara langsung dalam berbagai aspek. Menurut pendapat Ahmad Sayid al-Kumi, hidup di zaman modern sekarang ini sangat membutuhkan kehadiran corak tafsir maudhu'iy. Karena dengan cara penafsiran yang sedemikian itu memungkinkan seseorang memahami masalah yang dibahas dan segera sampai kepada hakikat masalah dengan jalan singkat, praktis, dan mudah.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun