Um... ha
Berulang kali kuhembuskan nafas dengan keras setelah menariknya  dalam-dalam. Ada sesuatu yang tertahan menciptakan rasa sesak dalam  dadaku dan membuatku harus melakukan itu berulang-ulang setiap pagi  ketika aku melihatnya berlalu di hadapanku. Rasa sesak ini seharusnya  sudah hilang beberapa bulan yang lalu, aku seharusnya bisa bersikap  lebih biasa sekarang.Â
Ya, cerita tentang dia telah berlalu beberapa  bulan yang lalu, namun tetap saja aku tak pernah bisa melupakannya.  Kubiarkan dadaku menahan sesak yang tak bisa hilang meski telah  kuhembuskan berkali-kali. Aku mencoba mengalihkan seluruh perhatianku  dan mulai membuka halaman demi halaman buku yang aku baca sebelum dia  datang, dan mulai membacanya lagi.Â
Sayangnya, meski telah membaca dengan  penuh perjuangan, tidak satupun kalimat dalam bacaan itu yang dapat aku  simak, Aku sungguh tidak bisa memahami satu hal pun dari apa yang sudah  aku baca. Sepertinya perhatian dan pikiranku masih terfokus padanya,  yang sekarang justru mengeraskan suaranya seolah sengaja mengalihkan  seluruh perhatianku sehingga hanya terfokus padanya dan tidak bisa  melakukan apa-apa.Â
Aku merasakan kekesalan yang menambah rasa sesak dan  sakit hati yang saat ini aku rasakan. Aku putuskan untuk menutup buku  yang sedang aku baca, berdiri, dan berjalan ke luar kelas, dengan  harapan tidak akan lagi mendengar suaranya.
"pagi baby!"
Suara lembut Ula, sahabatku, rasanya sedikit menenagkan rasa kesal,  sedih dan campur aduk yang aku rasakan. Sambil menyapaku, dia meletakkan  tangannya di pundakku seolah memberi semangat untuk bangkit dan terus  berjalan meninggalkan semua rasa yang telah aku berikan pada Harun.Â
Aku  hanya tersenyum tipis, mengangkat wajahku padanya dan kemudian kembali  tunduk dengan wajah tidak karuan, menggambarkan perasaanku yang tentu  saja dapat dipahami oleh seorang sahabat. Ula adalah sahabat terbaikku  di kampus ini, meski kami baru saling mengenal ketika penerimaan mahasiswa  baru. Dia selalu ada dalam suka dan dukaku, menjadi satu satunya teman  yang selalu mendengarkan apa yang ingin aku katakan dan menerima semua  sifat-sifat burukku yang aku tahu sangat mengesalkan.
"sayang, kamu kenapa?"
Ucap Ula dengan lembut membuatku tak bisa menutupi rasa campur aduk  yang menggerogoti hatiku. Aku tidak bisa menahan rasa sesak yang  akhirnya meluluh dalam tetes-tetes kecil dari mata ini.
"ahh, kenapa seperti ini, aku tidak seharusnya menangis."
Aku segera menghapus air mata di wajahku dengan ekspresi malu sebagai  seorang yang harusnya bisa bersikap dewasa. Aku ingin menunjukkan bahwa  aku baik-baik saja, tetapi perasaan ini memaksa untuk terus mengeluarkan  butir-butir air yang tidak bisa berhenti mengalir.
"ya ampun Vita sayang, ngak papa kok, nangis aja!"
Ula meraihku dan memelukku dengan penuh kasih sayang. Air mata yang  sedari tadi menetes kini semakin deras, aku melampiaskan seluruh  perasaan tak menentu dalam pelukan Ula, sahabatku.
Semua ini berawal dari kebodohan yang aku lakukan. Beberapa  bulan yang lalu, ketika  mulai mendekatiku, harusnya aku tidak  memberikan hatiku padanya. Harusnya aku tetap menganggapnya hanya  sebagai teman. Akan tetapi, semua perhatian, kelembutan dan setiap hal  yang Haru lakukan untukku membuatku tak bisa membendung getar-getar  cinta yang perlahan tumbuh, berkembang hingga menempati seluruh ruang  dalam hati.
 Ya, aku jatuh cinta padanya. Perasaan ini membuatku tidak  memiliki satu alasan pun untuk menolak cintanya. Beberapa waktu aku  lalui bersama Harun, hal itu membuatku merasa melupakan segala  kesulitanku. Hari-hariku terasa lebih berwarna dan aku benar-benar  merasakan kebahagiaan yang tak tergantikan hingga saat ini.Â
Semuanya  berlangsung dengan baik sebelum akhirnya aku melakukan suatu kesalahan  fatal yang menjadi puncak dari kebodohanku. Aku benar-benar bodoh. Hanya  karena kecemburuan kecil, aku melakukan kesalahan yang membuatku  benar-benar jauh darinya.
Harun adalah sosok teman yang selalu bersikap baik pada  siapa saja. Dia humoris, rajin, penyayang dan penuh perhatian. Hal itu  membuat banyak perempuan dalam kelas kami yang mendekatinya. Ada yang  memang mendekati Harun karena menyukainya dan ada yang hanya ingin  menjadi teman Harun.Â
Pemandangan yang sangat tidak menyenangkan selalu  aku saksikan setiap pagi ketika Harun duduk dan bercanda bersama mereka  sementara aku terus menantikan sapaan darinya. Harun tidak bermaksud  membuatku tersudut, dia hanya ingin bersikap ramah pada semua teman  kelas kami, namun tetap saja aku merasa cemburu karena hal itu.Â
Cemburu  dan perasaan terlalu bangga memiliki Harun, membuatku melakukan  kesalahan bodoh dengan mengirimkan sebuah pesan singkat padanya. Aku  memutuskannya. Aku berpikir dia akan memepertahankanku, tapi ternyata  dia punya harga diri jauh lebih besar dari yang aku pikirkan
"iya"
Hanya kata itu yang aku terima di kotak masuk WA bertuliskan My Love.  Itu pesan dari Harun menandakan aku dan dia tidak memiliki hubungan  apa-apa lagi. Aku merasa separuh jiwaku pergi saat itu. Tidak pernah  kubayangkan akan semudah itu Harun melepaskanku padahal aku sangat  mencintainya.Â
Keegoisan dan harga diri yang seharusnya tidak ada saat  itu menjadi pemisah antara aku dan dia. Aku seharusnya minta maaf  padanya waktu itu. Tapi tidak, aku justru berbalik menjauh darinya. Dan  akhirnya dia benar-benar jauh, hingga aku tak bisa lagi bahkan hanya  menyapanya.Â
Kesenjangan itu terjadi hingga saat ini, hatinya telah jauh  terpisah dariku, meski jarak kami sangat dekat. Aku dan Harun bagaikan  langit dan bumi, dia telah terbang jauh dan meninggalkanku dengan rasa  cinta padanya yang tak pernah bisa terhapuskan dan mungkin akan tetap  tinggal memenuhi setiap ruang dalam hatiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H