Mohon tunggu...
Endang Yusro
Endang Yusro Mohon Tunggu... Dosen - Kepala Sekolah SMAIT Bait et-Tauhied Kota Serang, Pengurus ICMI Orwil Banten, Dosen STIT Serang, Founder Mata Pena

Menulis: Politik, Agama, Olahraga, Pendidikan, dll.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jalan Sufi sebagai Solusi Kebangsaan

23 September 2022   00:25 Diperbarui: 23 September 2022   00:27 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

JALAN SUFI SEBAGAI SOLUSI KEBANGSAAN

Oleh Endang Yusro

Tulisan singkat berikut ini tidak membahas bagaimana memecahkan permasalahan yang dihadapi Bangsa ini secara menyeluruh atau umum yang tentunya membutuhkan waktu, tenaga, biaya, dan pikiran untuk mempublikasikannya. Dengan kata lain memerlukan penelitian kuantitatif dan kualitatif.

Tulisan ini hanya mengkaji bagaimana menghadapi permasalahan Bangsa ini melalui satu sudut pandang keilmuan, yaitu, ilmu tasawuf. Hal ini penulis lakukan sebagai bentuk tanggung jawab akademik dari yang telah disampaikan.

Selanjutnya, mengawali tulisan sederhana ini,  penulis mengajak pembaca mendalami bagaimana jalan sufi yang dimaksud. Dalam hal ini, literasi sufiisme mengenal istilah asketis.

Asketis atau "kesederhanaan",   yaitu ajaran tasawuf dalam rangka menghindari hal-hal yang berlebihan. Istilah ini (baca, asketis) sepadan dengan istilah zuhud dalam khasanah sufisme (paham tasawuf), menjauhi sikap hidup berfoya-foya.

Jika diletakkan dalam konteks kehidupan bernegara, asketisme berarti cerminan dari seorang negarawan yang sederhana, jujur dan rela berkorban bagi bangsa dan negaranya.

Dalam makna  yang sederhana, pemimpin asketis adalah pemimpin yang senantiasa membentengi  jiwanya dari kecintaannya  kepada dunia yang melebihi  batas.

Sementara, dalam makna yang lebih luas, pemimpin asketis selalu menempatkan hak dan kewajiban rakyatnya secara proporsional. Untuk hal ini diperlukan sikap dan karakteristik pemimpin dan warganya.

Pemimpin yang berkarakter kuat, cerdas, disiplin, tegas, terbuka dan jujur pun dengan warganya, yang senantiasa meletakkan pondasi "kejujuran"  dalam  setiap  tingkah  dan  lakunya  akan  membawa  bangsa  ini  menuju  bangsa yang "berperadaban" tinggi.

Bangsa Indonesia memiliki banyak pemimpin dan calon pemimpin yang berkarakter seperti yang telah disebutkan di atas, akan tetapi sirna seketika berhadapan dengan kehidupan duniawi.

Selain jujur sifat yang ditekankan pada ajaran tasawuf adalah berani (syaja'ah). Kaum sufi karena kecintaan dan kepatuhannya kepada Sang Khalik, tidak takut dan  gentar menghadapi "kejamnya" kehidupan dunia, karena bagi mereka  kehidupan   dunia  hanya sementara dan ada kehidupan yang abadi, yaitu kehidupan akhirat.

Tidak ada yang berhak ditakuti, karena kekuasaan hanya milik Allah, dan berani jujur walau berhadapan dengan "cruel system" (sistem yang bengis). Manusia sebagai pribadi pemberani pasti mempunyai ketegasan sikap, keputusan, dan tindakan yang dilandasi oleh suara hati nurani serta pemahaman yang mantap terhadap berbagai persoalan.

Kejujuran merupakan sifat yang banyak ditunjukkan para sufi dalam kehidupannya,   seperti  Al--Mawardi  dengan   kejujurannya   dalam   berdagang,  Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam menuntut ilmu, Imam Al-Ghazali dalam mengajarkan ilmu yang diperoleh dari gurunya, Rabiah al-Adawiyah kejujuran cintanya kepada Allah.

Al-Ghazali menyatakan bahwa perjalanan tasawuf itu pada hakikatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan  hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah. Oleh karena itu ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempaan moral atau akhlak yang terpuji  baik disisi  manusia maupun Tuhan.

Sementara berbicara kejujuran, al-Ghazl membagi enam tingkat. Orang yang mencapai derajat kejujuran yang sempurna layak disebut sebagai orang yang benar-benar jujur, antara   lain:

Pertama, jujur dalam perkataan, di setiap situasi, baik yang berkaitan dengan masa lalu, masa sekarang dan yang akan datang.

Kedua, kejujuran dalam niat, berupa   pemurnian  yang menjurus pada kebaikan. Jika di dalamnya terdapat unsur campuran lainnya berarti kejujuran kepada Allah S.W.T. telah sirna.

Ketiga, kejujuran dalam bertekad, yaitu untuk  berbuat  adil bila dikaruniai kekuasaan. Orang yang mempunyai tekad yang bulat lagi kuat disebut sebagai orang yang benar-benar kuat dan jujur.

Keempat, kejujuran memenuhi tekad. Pada tingkat ini  seringkali jiwa dibanjiri dengan kemauan yang kuat pada mulanya, tetapi ketika menginjak pada tahap pelaksanaan, bisa melemah. Karena janji tekad yang bulat itu mudah, namun menjadi berat ketika dalam pelaksanaan.

Kelima, kejujuran dalam beramal. Pada tingkat ini tidak ada ekspresi pada hal-hal yang bersifat bathiniyah, apa yang dilakukan memang demikian adanya, tidak ada unsur riya' dalam beramal.

Keenam, kejujuran dalam maqam agama, yaitu peringkat tertinggi dalam derajat kejujuran yang meliputi: maqam takut (khauf), harapan (raja'), cinta (hub), ridha, tawakal dan lain-lain.

Seluruh maqam tersebut memiliki titik tolak, hakikat dan puncak akhir (klimaks). Sebab dinyatakan pula, "Ini adalah rasa takut yang benar (al-Khauf al-Shdq)", dan "Ini adalah kesenangan yang jujur/benar (al-Shahwah al-shdiq). Inilah tingkatan-tingkatan kejujuran.

Orang yang mampu mewujudkannya secara keseluruhan, dialah orang yang benar-benar jujur. Orang yang belum mampu mencapai sebagian peringkat kejujuran, tingkatan dirinya sesuai dengan kadar peringkat kejujuran yang telah dicapainya.

Di  antara sejumlah kejujuran adalah pembenaran kalbu bahwa Allah S.W.T. adalah Dzat Yang Maha Suci. Hal ini merupakan jalan Tasawuf menuju Bangsa yang bermartabat.

Selain jujur, ada beberapa jalan tasawuf yang harus dimiliki bangsa ini (meliputi para pemimpin dan rakyatnya)  dalam menuju ma'rifat, yaitu jalan menuju singgasana Allah, diantaranya:  Taubat,  Qana'ah,  Zuhud,  Sabar,  Tawakal,  Ikhlas,  dan Syukur.

Taubat adalah kembali dari kemaksiatan kepada ketaatan. Bagi kalangan sufi, taubat itu bukan hanya sebagai penghapus dosa, tapi  ada yang lebih tinggi, yakni sebagai sarana untuk mendekatkan diri  kepada Tuhan Yang Maha Suci   (Moh. Saifullah Al Aziz S, 1998: 113).

Dalam kaitan ini Rasulullah S.a.w. bersabda yang artinya berbunyi:

"Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampunan Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari-semalam lebih dari tujuh puluh kali." (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah, R.A)

Qana'ah menurut Hamka dalam "Tasawuf Modern" adalah menerima cukup, yang meliputi lima hal yaitu: menerima apa yang  sudah  ada, berusaha  dan  berdoa  untuk mendapat tambahan dari nikmat yang sudah ada, menerima dengan sabar atas ketentuan yang telah diberikan Allah, berserah diri (bertawakal) atas apa yang sudah diusahakan, dan tidak tertarik oleh keindahan dunia yang fana.

Imam Al-Ghazali dalam "Ihya Ulumuddin" mengatakan bahwa hakikat zuhud adalah menolak sesuatu dan mengandalkan yang lain. Manusia zahid ialah yang meninggalkan kelebihan dunia dan menolaknya serta mengharapkan kehidupan yang abadi, kehidupan akhirat.

Derajat zuhud tertinggi adalah hilangnya keinginan akan sesuatu selain Allah S.W.T., karena bagi mereka apa yang ada di bumi ini  adalah  sebagai   ujian. Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi ini sebagai perhiasan baginya agar kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang terbaik perbuatannya." (Q.S. Al-Kahfi: 7).

Terkait masalah tsb., Rasulullah S.a.w. dalam Kitab Ihya'  Ulumuddin-nya Imam al-Ghazali berkata: "Jika kamu ingin dicintai Allah, maka jauhilah keduniaan, niscaya Allah mencintaimu."

Sabar menurut  Al-Quran adalah Menahan diri atas segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap Ridha Allah SWT. Sabar merupakan hal terpenting yang harus dimiliki oleh orang beriman, karena kesabaran adalah kunci kemenangan.

Menurut  Imam al-Ghazali sabar terhadap kesenangan itu lebih berat. Orang yang lapar ketika tidak ada makanan lebih dapat bersabar daripada ketika terhidang di hadapannya makanan yang lezat dan ia mampu menyiapkannya kemudian ia bisa bersabar untuk tidak berlebih-lebihan atasnya.

Tawakal berasal dari bahasa Arab yang berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah  dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan.

Sementara Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakal sebagai menyandarkan kepada Allah S.W.T. tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.

Secara bahasa, Ikhlas artinya membersihkan (bersih, jernih, suci dari campuran dan pencemaran, baik berupa materi maupun immateri). Adapun berdasar terminologi yaitu membersihkan hati supaya menuju kepada Allah   semata, dengan kata lain dalam beribadah hati tidak boleh menuju kepada selain   Allah.

Menurut ajaran tasawuf ikhlas merupakan kesucian hati dalam beribadah atau beramal untuk menuju kepada Allah. Ikhlas adalah suasana kewajiban yang mencerminkan motivasi batin ke arah beribadah kepada Allah dan kearah membersihkan hati dari kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang tidak menuju kepada Allah.

Dengan satu pengertian, ikhlas berarti ketulusan niat untuk berbuat hanya karena Allah.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas,  gambaran tentang bagaimana peranan tasawuf dalam membentuk pribadi yang kuat bagi pemimpin atau rakyatnya dari segala tipu-daya kemewahan dunia yang akan membawanya kepada kehinaan baik di dunia   maupun di akhirat.

Namun dalam hal ini, bukan berarti tasawuf tanpa cela.

Menurut penulis ada beberapa ajaran yang dipraktekan tokoh-tokoh sufi   ternama, seperti Sufyan ats-Tsauri, Ibrahim  bin Adham,  Dawud   at-Thaiy,  Al-Fudhail   bin Iyadh,  Sulaiman  al-Khawash,  dan Basyar  al-Hafi yang lebih memilih uzlah (mengasingkan diri) daripada pergaulan.

Berkenaan dengan praktek para tokoh sufi di atas, Rasulullah S.a.w. dengan tegas melarang hal ini. Sebagaimana dijelaskan dalam Ihya' Ulumuddin,  datang seorang laki-laki yang telah pergi ke gunung untuk beribadah di situ. Maka Rasulullah S.a.w. bersabda:

"Janganlah engkau lakukan dan jangan seorang pun di antara kamu melakukannya. Sungguh kesabaran seseorang di antara kamu dalam suatu negeri Islam lebih baik daripada ibadah seseorang dari kamu 40 tahun."

Mengakhiri tulisan  ini, penulis kemukakan sabda Rasulullah S.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang bermakna:

Barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai ambisinya maka Allah  akan menghimpun kekuatannya dalam hatinya dan dunia mendatanginya dengan segan-segan.

Sebaliknya, barangsiapa yang dunia menjadi ambisi hidupnya, maka Allah akan memecah-belah kekuatannya, menjadikan kefakiran di depan matanya dan dunia   tidak memberikan sesuatu kepadanya kecuali sekadar apa yang sudah ditakdirkan baginya.

Orang yang bahagia adalah orang yang memilih akhirat yang kekal,abadi kenikmatannya ketimbang memilih dunia yang fana dan azab yang tidak berkesudahan di akhirat kelak .

Semoga kita bisa bersikap jujur dalam kezuhudan, menjadikan semua fasilitas dunia sebagai alat menggapai akhirat dan ridho Allah  S.W.T., amin. Wallahu a'lam bish-shawab.

Demikian kajian singkat bagaimana solusi menghadapi permasalahan Bangsa ini yang menurut penulis tidak hanya dilakukan oleh satu unsur saja, namun keduanya antara pemimpin dan rakyatnya mesti sama-sama berupaya apa yang telah dilakukan para salafussaleh di atas.

Penulis menyadari tentunya banyak kekurangan baik data maupun fakta yang mendukung tulisan ini. Namun penulis tetap berharap, semoga tulisan sederhana ini bermanfaat!

Wallahu a'lam bish-shawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun