Mohon tunggu...
Endang Sriwahyuli Simanjuntak
Endang Sriwahyuli Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - @mbokne_segara

Guru di SMPN 6 Yogyakarta dan SMPN 3 Yogyakarta, Penulis Buku Tanah Brahmana. Seorang ibu untuk Ocean dan Sky, pecinta teratai, kamboja dan hujan. Penikmat candi, jalan sunyi dan pedesaan. Sampai bertemu di IG @mbokne_segara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lumbung Pangan dan Lumbung Harapan

28 Oktober 2024   15:59 Diperbarui: 28 Oktober 2024   16:08 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketahanan pangan lokal yang berkelanjutan merupakan topik yang semakin mendesak dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan pertumbuhan populasi. Namun menurut saya, membangun ketahanan pangan bukan sekadar tentang budi daya bibit unggul, tata ruang, dan inovasi teknologi. Lebih dari itu, keberhasilan dalam mencapai ketahanan pangan yang sesungguhnya terletak pada kesungguhan sekelompok masyarakat untuk mengupayakan pendidikan yang baik bagi generasi penerusnya.

Anda perlu mendengar tentang satu desa bernama Desa Purbatua. Desa kecil berpagar Bukit Barisan di sudut Sumatera Utara, tempat saya dilahirkan. Di Desa Purbatua, masyarakat desa memiliki tradisi pertanian yang kaya ragamnya juga kaya dalam caranya. 

Sebelum mengenal Padi, Gadong atau Suhat adalah makanan utama bagi mereka. Terdapat dua jenis gadong yang mereka tanam di kebun dan pekarangan, yaitu Gadong Hau/Atirha yang kita kenal sebagai Singkong dan Gadong Julur/Gadong Incir atau yang kita kenal sebagai Ubi Rambat. Selain itu mereka juga memenuhi kolam mereka dengan tanaman Talas atau yang disebut sebagai Suhat. yang menjadi sumber karbohidrat dan kalori yang penting untuk mereka konsumsi. 

Gadong Hau, Gadong Incir, dan Suhat menjadi umbi-umbian yang memiliki peranan vital sebagai cadangan pangan ketika hasil padi dan jagung tidak mencukupi di musim-musim tertentu. 

Pangan sederhana ini mungkin menempati urutan belakang dari daftar pangan lokal yang dikenal oleh generasi muda kita. Terutama di tengah gempuran jajanan ala Korea, Jepang, India dan Eropa. Namun tidak demikian bagi masyarakat Desa Purbatua. 

Kecintaan terhadap pangan lokal ini menjadikan mereka sangat arif dalam mengatur dan mengolah berbagai ragam jenis tanaman lain secara mendalam dan genuine. Meskipun Eme (Padi) mendapat tempat istimewa sebagai tanaman utama, sehingga ia menempati lumbung rumah setiap keluarga, namun di sampingnya ada jenis umbi-umbian yang mendapat tempat tersendiri bagi para-para/bubungan setiap rumah di desa tersebut.

Hampir di seluruh kepulauan Indonesia, tanaman Padi dianggap sebagai tanaman mulia, terkhusus bagi masyarakat batak, Eme/Padi bahkan dianggap tondi atau perwujudan dari roh manusia. Maka tahapan upacara dalam menanam Padi akan diawali dengan Marsungkun, yaitu musyawarah untuk menentukan bibit, menentukan waktu pengolahan tanah, dan hari baik untuk bercocok tanam, kemudian diikuti dengan Mangengge Boni atau merendam bibit, dan akhirnya Manabur Boni atau menaburkan benih di persemaian. 

Pemaparan tersebut saya sertakan untuk mendapatkan gambaran bahwa cara menghasilkan pangan bukan sekadar gerak ekonomi bagi masyarakat di sana namun ada doa dan harapan yang besar di dalam setiap aktivitas pertanian. Posisi Padi bagi masyarakat Desa Purbatua, adalah ujung tombak pendidikan. Padi yang dikumpulkan di dalam lumbung, kelak akan dikeluarkan, dijemur dan dijual untuk membiayai perkuliahan anak-anak mereka di kota.

Namun sebelumnya mari kita lihat, bagaimana kondisi masyarakat Desa Purbatua. Masyarakat di Desa Purbatua bukan komunitas tani yang kaya. Seperti kebanyakan desa lainnya, Desa Purbatua selama berpuluh tahun lamanya masih sering menghadapi tantangan ekonomi yang serius. Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks, dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti keterbatasan akses terhadap sumber daya, infrastruktur yang minim, dan kurangnya peluang kerja. 

Banyak keluarga bergantung pada pertanian tradisional dengan hasil yang tidak selalu mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski mereka menghasilkan padi berkualiats, namun mereka kerap mengkonsumsi umbi-umbian dan sayuran buah dari kebun untuk sumber energi mereka sehari-hari. Meski harus berbagi hasil bumi, Padi untuk sekolah, umbi-umbian untuk dimakan sehari-hari, hebatnya, masyarakat Desa Purbatua memiliki cita-cita besar untuk memberikan pendidikan tinggi kepada anak-anak mereka. 

Di tengah gempuran kemiskinan dan harga pangan yang tidak menentu, banyak orang tua yang berjuang keras untuk mengumpulkan biaya pendidikan, meskipun pendapatan mereka dari hasil bumi sangat terbatas. Mereka percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk keluar dari lingkaran kemiskinan dan membuka peluang yang lebih baik di masa depan. 

Masyarakat di Desa Purbatua sangat menghargai pendidikan, namun akses yang terbatas dan keterbatasan finansial menjadi penghalang. Meski demikian, banyak orang tua yang tetap berusaha, dengan harapan bahwa pendidikan akan memberikan anak-anak mereka peluang untuk meraih cita-cita yang lebih tinggi, membawa perubahan positif tidak hanya bagi diri mereka sendiri tetapi juga untuk komunitas mereka. 

Kondisi ini menciptakan dinamika yang kompleks antara kemiskinan dan harapan. Meski tantangan yang dihadapi besar, semangat dan tekad untuk memperbaiki kehidupan melalui pendidikan tetap menjadi pendorong utama bagi masyarakat di Desa Purbatua dalam bekerja dan mengolah ladang-ladang mereka.

Seperti yang saya sampaikan di awal bahwa masyarakat Batak menganggap hubungan dengan bumi dan tumbuh-tumbuhan sebagai hal yang sakral, maka mereka mempertahankan pengetahuan dan identitas ini dengan cara mempersiapkan generasi mendatang untuk menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka di kemudian hari. 

Selepas jam sekolah anak-anak lelaki dan perempuan tampak berjalan berramai-ramai menuju ke ladang tempat orang tua mereka bekerja, dan kembali ke rumah saat hari sudah petang. Di malam hari mereka belajar dan keesokan harinya mereka kembali membantu orang tua di ladang selepas jam sekolah. 

Demikianlah proses pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan sebagai sumber pangan telah diturunkan secara turun-temurun, di mana orangtua berperan sebagai pengajar bagi anak-anak mereka sendiri. 

Pewarisan pengetahuan ini tidak hanya berfungsi untuk melestarikan tradisi, tetapi juga membantu mereka dalam mempertahankan ketahanan pangan. Dengan mengajarkan cara menanam dan mengolah berbagai jenis umbi-umbian dan biji-bijian, orang tua memastikan bahwa anak-anak mereka memahami pentingnya diversifikasi pangan dalam kehidupan sehari-hari. 

Di Desa Purbatua anda masih dapat menemukan lumbung kayu tempat penyimpanan padi ada pada setiap rumah. Lumbung ini berfungsi untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran padi yang akan dijemur dan digiling menjadi beras. Masa kecil saya dulu, Lumbung Padi menjadi salah satu tempat favorit bermain petak umpet bersama teman-teman. Dan selama tahun 1990-an, keberadaan lumbung menjadi sangat penting untuk menjaga kualitas padi yang disimpan. 

Karena lumbung juga berfungsi sebagai tempat cadangan pangan pokok, khususnya ketika hasil panen padi menurun di musim berikutnya. Fungsi lumbung sebagai salah satu bentuk ketahanan pangan keluarga, bersanding dengan fungsi lumbung sebagai harapan hari esok bagi keluarga yang menjaga agar lumbung tersebut selalu terisi di segala musim.

Ada yang khas dari komposisi rumah masyarakat Desa Purbatua. Yakni, rumah panggung yang usang, tanaman obat keluarga di pekarangan, lumbung kayu yang besar, dan dinding kayu yang dipenuhi dengan foto wisuda anak-anaknya yang bersekolah di kota. 

Rumah mereka dipenuhi dengan kebanggan dan harapan. Foto-foto wisuda yang terpajang menjadi pengingat akan pengorbanan yang telah dilakukan, serta harapan untuk masa depan yang lebih cerah. 

Masyarakat Desa Purbatua meyakini bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang yang akan membuahkan hasil, tidak hanya bagi keluarga, tetapi juga untuk kemajuan desa mereka. Momen wisuda ini bukan hanya tanda prestasi pribadi, tetapi juga simbol perjuangan orang tua mereka yang rela mengorbankan kenyamanan hidup demi memastikan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.

Demikianlah, Masyarakat Desa Purbatua memiliki keterikatan yang erat antara hasil panen dan pendidikan anak-anak mereka. Setiap tahun, dengan ketekunan dan kerja keras, mereka mengolah lahan dan merawat tanaman, berharap agar hasil panen dapat mencukupi biaya sekolah anak-anak mereka. 

Pendidikan yang diperoleh di kota tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga membuka peluang bagi anak-anak untuk kembali ke desa mereka, berkontribusi, dan membangun komunitas yang lebih kuat. Padi, Gadong dan Suhat adalah kolaborasi yang kuat demi berlangsungnya pendidikan anak-anak dan demi berlangsungnya ketahanan pangan bagi mereka yang ada di kampung halaman. Hasil padi dijual, untuk membiayai perkuliahan dan umbi-umbian ditanam dan diolah untukdinikmati di rumah dan di ladang.

Dalam kebersahajaan dan keteguhan hati mereka, masyarakat Desa Purbatua terus menanamkan nilai pendidikan dan harapan, menjadikan hasil panen sebagai jembatan menuju masa depan yang lebih baik. Ketergantungan mereka pada pertanian tidak hanya untuk kelangsungan hidup sehari-hari, tetapi juga untuk mewujudkan impian bagi anak-anak mereka yang kelak akan mengubah wajah desa ini.

Dalam beberapa perenungan saya, mungkin cara bertani dan ketangguhan hidup ini memerlukan inovasi dan pembaharuan. Bukan untuk menyurutkan atau mengubah roh kerja keras yang ada pada masyarakat Desa Purbatua, namun untuk memudahkan mereka dalam menjalankan "ibadah" bertani itu, agar mencapai potensinya secara maksimal. 

Untuk mencapai hal tersebut perlu ada program yang dapat menjaga produktivitas dan kesejahteraan, serta keberlanjutan dan ketangguhan, seperti yang disampaikan oleh Bapak Ifan Martino pada Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia. 

Mengingat bahwa hasil survei sitasi BPS Tahun 2021 menunjukkan bahwa sekitar 89,54% lahan pertanian Indonesia berada pada status un-sustainable. Yang disebabkan oleh rendahnya produktivitas lahan, resiko akibat input kimia, dan isu konflik status kepemilikan lahan. Hal yang sama juga terjadi pada ladang milik warga Desa Purbatua. 

Kearifan dalam mengolah dan menyimpan pangan lokal, daya juang yang militan, generasi penerus yang berpendidikan, mungkin akan menjadi "motor" bertenaga besar saat dibarengi dengan inovasi dan pembaharuan. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun