Menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".Â
Sementara itu, Instruksi Kapolri No.Pol:Ins/E/20/IX/75 pada butir 3Â juga menyebutkan "dalam hal seseorang yang menderita luka tadi akhirnya meninggal dunia, maka harus segera mengajukan surat usulan untuk meminta VIsum et Repertum.Â
Dengan Visum et Repertum ata mayat, berarti mayat harus dibedah. Sama sekali tidak dibenarkan mengajukan permintaan Visum et Repertum atas mayat berdasarkan pemeriksaan luar saja".Â
Lalu bagaimana jika keluarga korban masih merasa keberatan dengan adanya autopsi, maka Butir 6 menyebutkan "bila ada keluarga korban/mayat keberatan jika diadakan Visum et Repertum bedah mayat, maka adalah kewajiban petugas POLRI Pemeriksa untuk persuasif memberikan penjelasan perlu dan pentingnya autopsi untuk kepentingan penyidikan".Â
Jadi pendekatan dan penjelasan  mengenai mekanisme autopsi, apa yang dilakukan sebelum pembedahan mayat dan sesudah pembedahan mayat, fungsi dilakukannya autopsi sangatlah wajib diberikan.
Dengan mempertimbangkan betapa banyaknya manfaat diberlakukannya autopsi, ditambah dengan penjelasan para pakar, sosialisasi hukum dan persuasi dari jajaran POLRI, serta prosedur medis yang benar.
Diharapkan kesadaran masyarakat untuk lebih terbuka dan mampu mereduksi polemik yang selama ini menganggap bahwa autopsi adalah sebuah momok yang perlu di hindari bahkan tidak perlu dilakukan.
Oleh : Endah Sekar Palupi, S.Si
Mahasiswa Magister Ilmu Forensik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H