Mohon tunggu...
Endah Raharjo
Endah Raharjo Mohon Tunggu... -

~...~

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menyusuri Jejak Selsa

24 Juli 2013   19:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:06 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitulah. Membaca buku mungil berisi 41 puisi karya Selsa ini ibarat menyusuri tapak kakinya yang merambah hingga ke Palestina dan negara bagian Rakhine, Burma, tempat bermukimnya etnis Rohingya, dan tentu lembah-ngarai di antara Gunung Sumbing dan Sindoro. Yang bisa saya ingat, saya mengenal Selsa melalui Kompasiana dan berlanjut ke Facebook. Perempuan yang dilahirkan di bulan Oktober ini kerap menulis status puitis. Ia juga sesekali memberi komentar pada status saya dan tautan-tautan yang saya pampang di timeline. Dari sana interaksi kami berawal. Sejak Mei 2010 hingga tulisan ini saya buat, warga Temanggung ini telah mengunggah 571 tulisan di Kompasiana dan 365 buah di antaranya berupa puisi. Luar biasa. Ini bukti bahwa Selsa serius berpuisi. Antologi berjudul Empat Puluh Dua Jejak yang diterbitkan oleh Indie Publishing ini merupakan buku puisi pertamanya. Empat belas puisinya di bagian depan (salah satunya, Kiamat Rohingya, tidak tercantum dalam daftar isi) menyoal ketidakadilan, penindasan pemimpin pada rakyatnya, dan kekecewaan anak manusia atas berbagai kekejian di muka bumi. Selsa tampaknya geram pada sikap para penguasa (negeri ini) yang sebagian besar hanya mengedepankan kepentingan diri dan kelompoknya. Salah satu puisinya juga mengingatkan saya akan Pancasila. Sungguh, saya sudah lupa pada dasar negara kita yang pernah jadi semacam 'jimat' itu. Pilihan katanya sederhana dan susunan katanya menyerupai kalimat dalam prosa, membuat puisi-puisinya - yang menyuarakan kemarahan, perlawanan, dan rasa frustrasi - jadi semacam jeritan yang dibekap. Bila susunannya dipadatkan, tanpa mengubah pilihan kata, menurut saya pesan atau protes yang hendak ia sampaikan bisa lebih lugas. Contohnya berikut ini: Penggalan puisi berjudul Tangisan Ibu Pertiwi

Semalam tadi

Aku mendengar sayat pedihmu

Mengiba di sudut kelam

Menurut saya akan lebih jleb bila ditulis begini:

Semalam

Kudengar sayat pedihmu

Mengiba di sudut kelam

Contoh lain lagi: Penggalan puisi berjudul Lakon Negeri Gonjang Ganjing

Pentas teaterkah yang kini di hadapanku ini

Atau nyata yang terbungkus dusta

Aku hanya sedang bergumam

Dalam ketidakberdayaan seorang jelata

Kapankah kesewenang-wenangan dari penguasa ini akan berakhir

Sebaga pembaca, saya akan lebih tergugah bila ditulis begini:

Pentas teaterkah di hadapanku ini

Atau nyata terbungkus dusta

Aku hanya bergumam dalam ketidakberdayaan jelata

Kapan kesewenang-wenangan ini berakhir

Dua puluh tujuh puisi selanjutnya menyuarakan kegundahan hati, cinta tak sampai, dan kepasrahan. Semuanya terasa senyap dan menyayat. Selsa seperti sedang menangis dalam hati, tangis panjang yang ditahan hingga suaranya sayup-sayup. Senada dengan puisi-puisi sebelumnya, puisi rindu dan cinta ini (istilah saya sendiri) juga boros kata-kata. Contoh pada Dirimu Cinta Sebenarnya:

Hingga malam berubah pada dini

Aku hanya bisa mengeja namamu

Tanpa sempat memburaikan rasa

Yang kini makin sesakkan dada

Sepertinya, bagi saya, akan lebih mantap bila ditulis lebih padat seperti ini:

Hingga malam berubah dini

Hanya bisa kueja namamu

Tanpa sempat kuburai rasa

Yang makin sesakkan dada

Salah satu puisi favorit saya adalah Purnama Sebelas, Sebelas Purnama. Puisi ini kena di hati (saya). Membacanya saya bisa menangkap rasa rindu seorang anak pada ibunya. Untuk puisi yang satu inipun saya gatal ingin memangkas sedikit pada bait terakhirnya. Seperti berikut ini: Versi asli:

Sebelas purnama, purnama sebelas

Telah pula berlalu

Seperti juga dirimu

Tinggalkan aku dalam pedih

Versi 'rasa saya':

Sebelas purnama, purnama sebelas

Telah berlalu

Seperti dirimu

Tulisan ini mewakili diri saya sebagai orang yang berusaha menikmati puisi (khususnya karya Selsa), bukan kritikus yang piawai menilai karya orang. Tak terhindarkan bila saya membandingkan puisi-puisi Selsa dengan karya Sapardi Djoko Damono  (ini pujian). Keduanya sama-sama memilih kata yang sederhana, sehari-hari, mudah dicerna. Bedanya ada pada 'kepadatannya'. Mengingat karyanya yang ratusan itu, dan terbitnya buku puisi ini, sudah saatnya Selsa menggulung lengan lebih tinggi untuk meningkatkan kualitas dan bukan kuantitas karya. Bila hendak menulis puisi yang lebih gemuk, yang lebih 'berasa prosa' atau yang lebih bercerita (saya tidak tahu istilah tepatnya), Selsa bisa membaca karya-karya Afrizal Malna. Baik Sapardi maupun Afrizal sama-sama menyukai kata-kata sederhana untuk puisi-puisi mereka. Saya yakin, puisi-puisi Selsa akan lebih mengena bila ia tidak boros kata-kata. Bayangkan, bila ia berniat membukukan semua puisi yang telah diunggah di Kompasiana, sedikitnya buku antologi puisi pertamanya ini akan disusul oleh 8 buku lagi. Selamat Selsa, menerbitkan buku dengan cara indie semacam ini adalah pilihan indah dan cerdas untuk menghargai karya sendiri. Catatan: Bersama buku puisi karya 3 penyair dari berbagai kota, buku puisi Selsa akan dirayakan di Tembi Rumah Budaya, Jl. Parangtritis Km 8,4 Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta dalam acara Sastra Bulan Purnama edisi Agustus 2013. Bulan purnama saat itu akan jatuh pada tanggal 21 atau 22. Bagi yang tinggal di Jogja dan sekitarnya, jangan lupa ramai-ramai ikut membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun