Begitulah. Membaca buku mungil berisi 41 puisi karya Selsa ini ibarat menyusuri tapak kakinya yang merambah hingga ke Palestina dan negara bagian Rakhine, Burma, tempat bermukimnya etnis Rohingya, dan tentu lembah-ngarai di antara Gunung Sumbing dan Sindoro. Yang bisa saya ingat, saya mengenal Selsa melalui Kompasiana dan berlanjut ke Facebook. Perempuan yang dilahirkan di bulan Oktober ini kerap menulis status puitis. Ia juga sesekali memberi komentar pada status saya dan tautan-tautan yang saya pampang di timeline. Dari sana interaksi kami berawal. Sejak Mei 2010 hingga tulisan ini saya buat, warga Temanggung ini telah mengunggah 571 tulisan di Kompasiana dan 365 buah di antaranya berupa puisi. Luar biasa. Ini bukti bahwa Selsa serius berpuisi. Antologi berjudul Empat Puluh Dua Jejak yang diterbitkan oleh Indie Publishing ini merupakan buku puisi pertamanya. Empat belas puisinya di bagian depan (salah satunya, Kiamat Rohingya, tidak tercantum dalam daftar isi) menyoal ketidakadilan, penindasan pemimpin pada rakyatnya, dan kekecewaan anak manusia atas berbagai kekejian di muka bumi. Selsa tampaknya geram pada sikap para penguasa (negeri ini) yang sebagian besar hanya mengedepankan kepentingan diri dan kelompoknya. Salah satu puisinya juga mengingatkan saya akan Pancasila. Sungguh, saya sudah lupa pada dasar negara kita yang pernah jadi semacam 'jimat' itu. Pilihan katanya sederhana dan susunan katanya menyerupai kalimat dalam prosa, membuat puisi-puisinya - yang menyuarakan kemarahan, perlawanan, dan rasa frustrasi - jadi semacam jeritan yang dibekap. Bila susunannya dipadatkan, tanpa mengubah pilihan kata, menurut saya pesan atau protes yang hendak ia sampaikan bisa lebih lugas. Contohnya berikut ini: Penggalan puisi berjudul Tangisan Ibu Pertiwi
Semalam tadi
Aku mendengar sayat pedihmu
Mengiba di sudut kelam
Menurut saya akan lebih jleb bila ditulis begini:
Semalam
Kudengar sayat pedihmu
Mengiba di sudut kelam
Contoh lain lagi: Penggalan puisi berjudul Lakon Negeri Gonjang Ganjing
Pentas teaterkah yang kini di hadapanku ini
Atau nyata yang terbungkus dusta
Aku hanya sedang bergumam
Dalam ketidakberdayaan seorang jelata
Kapankah kesewenang-wenangan dari penguasa ini akan berakhir
Sebaga pembaca, saya akan lebih tergugah bila ditulis begini:
Pentas teaterkah di hadapanku ini
Atau nyata terbungkus dusta
Aku hanya bergumam dalam ketidakberdayaan jelata
Kapan kesewenang-wenangan ini berakhir
Dua puluh tujuh puisi selanjutnya menyuarakan kegundahan hati, cinta tak sampai, dan kepasrahan. Semuanya terasa senyap dan menyayat. Selsa seperti sedang menangis dalam hati, tangis panjang yang ditahan hingga suaranya sayup-sayup. Senada dengan puisi-puisi sebelumnya, puisi rindu dan cinta ini (istilah saya sendiri) juga boros kata-kata. Contoh pada Dirimu Cinta Sebenarnya:
Hingga malam berubah pada dini
Aku hanya bisa mengeja namamu
Tanpa sempat memburaikan rasa
Yang kini makin sesakkan dada
Sepertinya, bagi saya, akan lebih mantap bila ditulis lebih padat seperti ini:
Hingga malam berubah dini
Hanya bisa kueja namamu
Tanpa sempat kuburai rasa
Yang makin sesakkan dada
Salah satu puisi favorit saya adalah Purnama Sebelas, Sebelas Purnama. Puisi ini kena di hati (saya). Membacanya saya bisa menangkap rasa rindu seorang anak pada ibunya. Untuk puisi yang satu inipun saya gatal ingin memangkas sedikit pada bait terakhirnya. Seperti berikut ini: Versi asli:
Sebelas purnama, purnama sebelas
Telah pula berlalu
Seperti juga dirimu
Tinggalkan aku dalam pedih
Versi 'rasa saya':
Sebelas purnama, purnama sebelas
Telah berlalu
Seperti dirimu
Tulisan ini mewakili diri saya sebagai orang yang berusaha menikmati puisi (khususnya karya Selsa), bukan kritikus yang piawai menilai karya orang. Tak terhindarkan bila saya membandingkan puisi-puisi Selsa dengan karya Sapardi Djoko Damono (ini pujian). Keduanya sama-sama memilih kata yang sederhana, sehari-hari, mudah dicerna. Bedanya ada pada 'kepadatannya'. Mengingat karyanya yang ratusan itu, dan terbitnya buku puisi ini, sudah saatnya Selsa menggulung lengan lebih tinggi untuk meningkatkan kualitas dan bukan kuantitas karya. Bila hendak menulis puisi yang lebih gemuk, yang lebih 'berasa prosa' atau yang lebih bercerita (saya tidak tahu istilah tepatnya), Selsa bisa membaca karya-karya Afrizal Malna. Baik Sapardi maupun Afrizal sama-sama menyukai kata-kata sederhana untuk puisi-puisi mereka. Saya yakin, puisi-puisi Selsa akan lebih mengena bila ia tidak boros kata-kata. Bayangkan, bila ia berniat membukukan semua puisi yang telah diunggah di Kompasiana, sedikitnya buku antologi puisi pertamanya ini akan disusul oleh 8 buku lagi. Selamat Selsa, menerbitkan buku dengan cara indie semacam ini adalah pilihan indah dan cerdas untuk menghargai karya sendiri. Catatan: Bersama buku puisi karya 3 penyair dari berbagai kota, buku puisi Selsa akan dirayakan di Tembi Rumah Budaya, Jl. Parangtritis Km 8,4 Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta dalam acara Sastra Bulan Purnama edisi Agustus 2013. Bulan purnama saat itu akan jatuh pada tanggal 21 atau 22. Bagi yang tinggal di Jogja dan sekitarnya, jangan lupa ramai-ramai ikut membaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H