Mohon tunggu...
Endah Raharjo
Endah Raharjo Mohon Tunggu... -

~...~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Satu Kali Dua Meter

19 April 2012   14:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:25 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_182984" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi/Admin (Dok.Kompasiana)"][/caption]

Dada Lastri kembang kempis dipenuhi rasa girang bukan kepalang. Matanya berbinar-binar memandangi parit di dekat rumahnya yang selama ini menganga dan berbau busuk itu, kini bagian atasnya telah tertutup dak beton.

Lastri berlari menyusuri gang-gang becek, hujan deras habis mengguyur kampungnya dan seluruh kota. Hampir saja ia menabrak anak tetangganya yang sedang belajar naik sepeda. "Wooo, jelalatan kayak setan!" pekik bapak si anak. Di kampung pinggir sungai itu orang terbiasa memaki, tak ada yang peduli. Penghuninya sebagian besar pendatang dari desa atau kota lain yang menganggur, bekerja serabutan jadi buruh bangunan, pedagang asongan, penjaja makanan keliling, pelacur, hingga pencopet. Yang terakhir itu pun diakui sebagai sebuah profesi, selain membutuhkan ketrampilan, kegiatan hina itu juga mampu menghidupi. Kampung itu juga menjadi salah satu langganan tetap penggerebekan polisi. Sungai yang melintas di pinggir kampung itu terbelah menjadi dua, lalu kembali bertemu di ujung selatan kampung. Anak sungainya yang kecil selebar sekitar dua meter, serupa parit, masuk meliuk ke dalam kampung. Orang-orang menyebutnya Kali Bathang gara-gara limbah rumah tangga yang disalurkan ke parit itu menimbulkan bau menyengat seperti bangkai. Anak-anak kecil dan laki-laki dewasa sering buang hajat besar, langsung berjongkok di tebingnya. Di sepanjang Kali Bathang ada jalan kecil yang selalu dipadati pengendara motor; mereka bisa menghemat waktu sampai 10 menit menuju jalan utama lingkar selatan. Tiga bulan lalu kampung itu mendapat dana bantuan yang disalurkan ke kampung-kampung oleh pemerintah kota. Sebagian warga yang sering membaca koran di halaman kantor kelurahan tahu dana itu tidak tepat disebut bantuan. Menurut berita, hutang luar negeri itu angsurannya dibebankan itung gundul pada semua rakyat. Tak peduli kaya atau melarat.

"Dananya untuk nutup Kali Bathang saja, Pak RT!" Warga yang rumahnya berada di sekitar parit melontarkan usulan. Beberapa kali rapat warga harus dijalani sebelum diputuskan Kali Bathang ditutup dengan pasangan beton.

Selain bau bacin hilang, di atas parit itu kini terbentang ruang kosong selebar dua meter, memanjang sekitar 200 meter hingga ke ujung kampung.

Lastri ingin memanfaatkan sebagian ruang yang dianggap tak bertuan itu.

**

"Kita bisa jualan, Kang! Kita jadi bikin kios, Kang!" Setengah menjerit Lastri menubruk tubuh suaminya yang tergolek di lantai beralaskan kasur tipis usang. Wajahnya berbinar-binar memandangi mata suaminya yang terpejam sembari bibirnya menggumamkan doa. Di kampung yang seakan tak tersentuh tangan Tuhan itu Lastri sekeluarga masih percaya pada doa.

Tiga tahun lalu suami Lastri, Diman, jatuh dari atap bangunan lantai tiga. Buruh bangunan itu lumpuh total. Sejak itu, perempuan buruh cuci itu menjadi tulang punggung keluarga. Ia memilih berteman dengan kesusahan hidup. Setiap kali mencoba melawan ia terkalahkan. Memiliki kios menjadi angan-angan yang dipendamnya sejak lama. Ia ingin berjualan bensin, rokok, majalah dan pulsa. Namun Lastri tidak punya koneksi untuk mengkapling kakilima yang terdekat dari kampungnya. Hidup di kota semakin keras saja. Berdagang di kakilima memerlukan koneksi untuk menyewa atau membeli kapling satu kali dua meter.

Kini tak jauh dari rumahnya ada ruang gilar-gilar tanpa ada pemiliknya. Angan-angan Lastri untuk memiliki kios segera menjadi nyata. Darto, anak sulungnya yang harus berhenti sekolah selepas SMP berharap bisa menjaga kios itu dari pagi sampai siang. Sore hingga malam Lastri bisa menggantikan anaknya. Punya kios sendiri pasti untungnya lebih besar, pikir Lastri.

"Darto suruh pulang ke gunung saja," pinta emak Lastri, setahun lalu. Ia berharap cucunya akan kuat berladang, menanam singkong, jagung, kacang dan apa saja yang bisa tumbuh di ladang, di atas gunung yang menjadi gantungan hidupnya. Darto menolak. Pikirnya untuk apa bekerja di ladang. Tampaknya saja segunduk gunung, tapi hasilnya tak seberapa dibandingkan satu kali dua meter tanah di pinggir jalan di kota. Dengan kios ukuran satu kali dua meter Darto yakin bisa mengantungi paling tidak 25.000 rupiah tiap hari. Berlipat kali lebih banyak daripada berbulan-bulan menanam dan memanen singkong di gunung tandus milik embahnya.

"Aku mau, Mak, bikin kios buat jualan pulsa," kata Darto. Tiap malam ia bekerja mencuci gelas-piring pada tetangganya, penjual mi dan nasi goreng. Hasilnya cukup untuk membiayai diri sendiri dan sedikit membantu adiknya membeli buku. "Uangnya buat beli sepeda motor, ya, Mak." Belum-belum pemuda kurus tujuh belas tahun itu sudah ikut bermimpi. Kalau punya sepeda motor, tiap pagi dia bisa mengantar adik perempuannya ke sekolah, berkenalan dengan teman-temannya yang manis-manis itu. Mungkin dia bisa memboncengkan salah satunya. Angan-angan anak sulung Lastri melambung tinggi.

"Aku mau utang sama Yu Minah, Kang. Buat bikin kios," gumam Lastri sambil ngeluk boyok, meluruskan punggung, meredakan penat seharian mencuci dan menyeterika. Sambil mengelus-elus kaki lumpuh suaminya, Lastri memandangi Darto yang menggelesot di sampingnya, menonton TV yang layarnya buram. Kontraktor yang dulu mempekerjakan Diman memberinya kursi roda. Setiap hari ia membantu Lastri menyeterika cucian kering. Sambil memejamkan mata Diman membayangkan calon kios kecilnya, di dalamnya harus diberi kursi dan tikar agar dia bisa ikut menjaga bergantian dengan Lastri dan Darto. Senyumnya terkembang. Digenggamnya tangan Lastri yang tengah memijit-mijit lututnya, tangan-tangan yang kering dan kasar.

Meskipun hidup Lastri pahit, ia rajin bersyukur, dua anaknya berperilaku manis. "Aku punya celengan sedikit, Mak, bisa dipakai dulu," Darto menawarkan tabungannya. "Nggak usah pinjam sama Yu Minah. Nanti nyicilnya repot. Kalau kita bolong sekali saja rentenir itu tiap hari pasti teriak-teriak di depan rumah."

**

Susah payah Diman keluar rumah, kursi rodanya tersangkut kusen pintu. Ketika Darto hendak membantu, tiba-tiba kursi roda itu terpental kembali ke belakang diikuti hardikan.

"Kamu jangan coba-coba nyuri milikku!!!" Seorang laki-laki berwajah penuh bekas luka berkecak pinggang di depan pintu. Roy Codet. Gembong preman penguasa hampir seluruh preman dan pencopet yang beroperasi di bagian selatan kota. Seisi kampung mengenalinya, seminggu sekali laki-laki berotot itu datang mengunjungi salah satu simpanannya yang tinggal di kampung itu. Kedatangannya selalu didahului gelegar knalpot motornya, menggetarkan kaca-kaca jendela rumah-rumah kampung yang berhimpitan.

Salah satu kakinya yang terbungkus sepatu boot kulit dengan kancing logam berderet menekan bagian depan kursi roda Diman. Wajah Diman pucat pasi, kepalanya tertunduk dalam-dalam.

"Kamu harus beli kapling di atas parit itu kalau mau jualan!" teriaknya di sela-sela kepulan asap rokok. Ia menyebut sejumlah angka. Sebelum pergi sekali lagi ditendangnya kursi roda Diman hingga laki-laki lumpuh itu nyaris terjungkal.

**

"Aku sudah lapor Pak RT. Katanya semua orang boleh naruh kios di atas parit. Yang penting ngisi kas seminggu sekali buat keamanan dan jangan mepet-mepet ke jalan. Gitu, katanya." Lastri tidak mau mendengarkan ketika Diman memberi kabar buruk tentang Roy Codet.

"Di sini yang punya kuasa Roy Codet. Pak RT cuma ngurus administrasi kampung, nggak tahu aturan main di luaran. Nggak berani dan nggak bisa ngatur orang. Apalagi Roy Codet," ujar Diman. "Kita nggak punya uang buat beli kapling," tambahnya.

"Nggak! Nggak bisa!" bantah Lastri. "Aku mau bilang Roy Codet kalau Pak RT sudah kasih ijin." Perempuan itu sering mendengar omongan orang tentang Roy Codet. Ia miris juga. Laki-laki itu semena-mena terhadap orang yang mencoba menentang aturannya. Tapi ketika aturan itu menghalangi mimpinya, Lastri tidak mau menyerah begitu saja. Ia ingin Darto bisa punya sepeda motor, mengantarnya kemana saja dirinya dan anak perempuannya pergi. Darto juga bisa memboncengkan bapaknya jalan-jalan keliling kota. Sudah lebih tiga tahun suaminya tidak bisa keluar kampung, tidak ada angkutan umum yang mau berhenti begitu melihat ada orang berkursi roda mencegat di pinggir jalan. Mau naik taksi sudah pasti tidak punya biaya.

Lastri tak mau mimpinya buyar gara-gara preman bernama Roy Codet. Ia berlari keluar rumah dengan wajah marah. Diman khawatir sekali. Darto disuruh menyusul emaknya.

Di antara suara radio, televisi, teriakan anak-anak dan tangisan bayi, Darto mendengar emaknya dan Roy Codet adu mulut di depan rumah gundik Roy Codet. Di dekat sungai. Dibantu beberapa tetangganya takut-takut Darto mencoba menghentikan Lastri. Namun perempuan itu seperti sudah kehilangan akal sehatnya. Suaranya lantang menantang. Saking marahnya tangan berotot Roy Codet terangkat, terayun kuat, lalu mendarat di rahang Lastri. Perempuan itu terpental ke belakang, mengaduh panjang. Darto mencoba melindungi emaknya.

Roy Codet mendekat, menarik paksa tubuh Darto yang telungkup di atas tubuh emaknya. Sekuat tenaga Roy Codet melempar tubuh kurus itu ke samping. Terdengar suara benturan keras. Kepala Darto menghantam batu besar yang biasa dipakai duduk anak-anak kecil sehabis bermain-main di kali. Suasana berubah senyap. Tubuh Darto tergeletak tidak bergerak. Lastri merangkak mendekati tubuh anaknya. Dilihatnya darah segar mengalir dari bawah kepalanya, pelan-pelan merembes ke tanah. Lastri melolong panjang, gemanya terbawa aliran sungai hingga ke ujung kampung.

**

Wajah Lastri membeku. Pipinya lebam biru. Dengan sorot penuh duka matanya tak berkedip memandangi lubang satu kali dua meter yang tengah ditimbun tanah oleh para tetangga yang mengubur jenazah Darto.

***

Baca cerita lainnya di sini dan di sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun