"Aku mau, Mak, bikin kios buat jualan pulsa," kata Darto. Tiap malam ia bekerja mencuci gelas-piring pada tetangganya, penjual mi dan nasi goreng. Hasilnya cukup untuk membiayai diri sendiri dan sedikit membantu adiknya membeli buku. "Uangnya buat beli sepeda motor, ya, Mak." Belum-belum pemuda kurus tujuh belas tahun itu sudah ikut bermimpi. Kalau punya sepeda motor, tiap pagi dia bisa mengantar adik perempuannya ke sekolah, berkenalan dengan teman-temannya yang manis-manis itu. Mungkin dia bisa memboncengkan salah satunya. Angan-angan anak sulung Lastri melambung tinggi.
"Aku mau utang sama Yu Minah, Kang. Buat bikin kios," gumam Lastri sambil ngeluk boyok, meluruskan punggung, meredakan penat seharian mencuci dan menyeterika. Sambil mengelus-elus kaki lumpuh suaminya, Lastri memandangi Darto yang menggelesot di sampingnya, menonton TV yang layarnya buram. Kontraktor yang dulu mempekerjakan Diman memberinya kursi roda. Setiap hari ia membantu Lastri menyeterika cucian kering. Sambil memejamkan mata Diman membayangkan calon kios kecilnya, di dalamnya harus diberi kursi dan tikar agar dia bisa ikut menjaga bergantian dengan Lastri dan Darto. Senyumnya terkembang. Digenggamnya tangan Lastri yang tengah memijit-mijit lututnya, tangan-tangan yang kering dan kasar.
Meskipun hidup Lastri pahit, ia rajin bersyukur, dua anaknya berperilaku manis. "Aku punya celengan sedikit, Mak, bisa dipakai dulu," Darto menawarkan tabungannya. "Nggak usah pinjam sama Yu Minah. Nanti nyicilnya repot. Kalau kita bolong sekali saja rentenir itu tiap hari pasti teriak-teriak di depan rumah."
**
Susah payah Diman keluar rumah, kursi rodanya tersangkut kusen pintu. Ketika Darto hendak membantu, tiba-tiba kursi roda itu terpental kembali ke belakang diikuti hardikan.
"Kamu jangan coba-coba nyuri milikku!!!" Seorang laki-laki berwajah penuh bekas luka berkecak pinggang di depan pintu. Roy Codet. Gembong preman penguasa hampir seluruh preman dan pencopet yang beroperasi di bagian selatan kota. Seisi kampung mengenalinya, seminggu sekali laki-laki berotot itu datang mengunjungi salah satu simpanannya yang tinggal di kampung itu. Kedatangannya selalu didahului gelegar knalpot motornya, menggetarkan kaca-kaca jendela rumah-rumah kampung yang berhimpitan.
Salah satu kakinya yang terbungkus sepatu boot kulit dengan kancing logam berderet menekan bagian depan kursi roda Diman. Wajah Diman pucat pasi, kepalanya tertunduk dalam-dalam.
"Kamu harus beli kapling di atas parit itu kalau mau jualan!" teriaknya di sela-sela kepulan asap rokok. Ia menyebut sejumlah angka. Sebelum pergi sekali lagi ditendangnya kursi roda Diman hingga laki-laki lumpuh itu nyaris terjungkal.
**
"Aku sudah lapor Pak RT. Katanya semua orang boleh naruh kios di atas parit. Yang penting ngisi kas seminggu sekali buat keamanan dan jangan mepet-mepet ke jalan. Gitu, katanya." Lastri tidak mau mendengarkan ketika Diman memberi kabar buruk tentang Roy Codet.
"Di sini yang punya kuasa Roy Codet. Pak RT cuma ngurus administrasi kampung, nggak tahu aturan main di luaran. Nggak berani dan nggak bisa ngatur orang. Apalagi Roy Codet," ujar Diman. "Kita nggak punya uang buat beli kapling," tambahnya.