Mohon tunggu...
Endah Tri Rachmani
Endah Tri Rachmani Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga dengan 3 anak yang juga bekerja sebagai guru.

Menulis untuk berbagi kisah tentang cerita-cerita kehidupan di lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kencana Wingka

19 Februari 2022   17:46 Diperbarui: 19 Februari 2022   17:57 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ibu dan anak/ Dunia Belajar Anak

Anakmu Bukanlah Milikmu

Puisi oleh Khalil Gibran

Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.

Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.

Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.

Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.

Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.

Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.

Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.

*****

Siapa pun orang tua pasti ingin membanggakan anaknya. Terkadang, kebanggaan itu layak dan sepadan dengan kemampuan anak. Tapi sering juga kebanggaan itu semu dan orang tua seperti menutup mata atas kekurangan anak-anaknya. Hal yang lebih parah lagi, orang tua yang memiliki kebanggaan berlebih terhadap anaknya ini seringkali juga punya sikap nyinyir dan suka menjatuhkan anak-anak lain.

Bu Dona misalnya. Begitu bangganya dia akan anak semata wayangnya, Albert. Hampir setiap hari, ada saja cerita tentang kehebatan Albert yang diceritakan pada ibu-ibu kompleks.

"Albert hari ini bikin saya terharu lo, Jeng. Masa pagi-pagi dia sudah bikin sarapan sendiri, terus saya juga dibikinin. Coba bayangkan, anak kelas enam SD, lho. Nggak kayak si Ridwan anaknya Bu RT, coba bisa apa dia?" cerita Bu Dona tentang Albert hari ini.

Ibu-ibu kompleks yang sudah hafal sifat Bu Dona memberi tanggapan yang bermacam-macam. Ada yang memuji, ada yang cemberut, ada yang biasa saja, ada juga yang kepo ingin tahu masakan apa yang dibuat Albert untuk sarapan.

"Syukur, Bu Dona. Punya anak satu-satunya itu memang harus diajari mandiri dari kecil. Jangan terlalu dimanja. Nanti jadi kebiasaan, apa-apa minta dilayani," puji Bu Siti.

"Ah, biasa aja kali, Bu. Anak kelas enam ya memang harusnya sudah bisa bikin sarapan sendiri. Anak saya, Si Kemal, juga sudah bisa bikin nasi goreng sendiri." Bu Tuti manyun tak mau kalah ikut membanggakan anaknya.

"Bagus itu Bu Dona. Insyaa Allah besok besar Mas Albert jadi anak sooleh. Aamiin," timpal Bu Nunik.

Bu Gita yang orangnya cuek hanya mendengarkan saja celotehan ibu-ibu. Sesekali ikut tertawa jika ada yang menurutnya lucu. Selebihnya dia hanya diam.

"Emangnya Albert bikin sarapan apa, Bu Dona? Bikin nasi goreng atau praktek masakan anak muda zaman sekarang, pizza atau ayam pok-pok, gitu?" Bu Santi yang suka kepo langsung menanyakan menu yang dibuat oleh Albert untuk sarapan.

Mendengar pertanyaan langsung dari Bu Santi, dengan tersenyum kecut Bu Dona menjawab, "Eh, itu ... bikin roti oles selai," jawabnya

Ibu-ibu lain yang mendengar jawaban Bu Dona kompak menjawab, "Oh ... roti oles."

Biasa saja tanggapan ibu-ibu, namun dalam penerimaan Bu Dona, ada Muta menghina dalam tanggapan mereka atas kemampuan Albert membuat roti oles selai. Dia pun segera beranjak pulang tanpa berpamitan pada gerombolan ibu-ibu yang masih asyik ngobrol.

Lain hari, beda lagi cerita Bu Dona tentang Albert. Kali ini tentang betapa pintarnya Albert di sekolah.

"Albert itu ya, bisa aja bikin saya bangga. Tadi itu kan dia ulangan matematika di sekolah, masa nilainya 100. Coba ibu-ibu, gimana saya nggak bangga kalau begitu? Lain anaknya Bu Rina, itu lo Si Bondan, sekolah kok tinggal kelas" cerocos Bu Dona dengan bangga.

Seperti biasa, ibu-ibu kompleks menanggapi seperlunya cerita Bu Dona tentang Albert. Cerita tentang kehebatan Albert sepertinya sudah terdengar kemana-mana. Bahkan orang yang tidak mengenal sosok Albert, secara pribadi, tahu tentang kisah Albert, anak Bu Dona yang rajin, jujur, pintar, dan kelebihan-kelebihan lain yang tidak dimiliki oleh anak-anak sebayanya. Namun, tak ada yang menyadari bagaimana perasaan bocah itu dengan segala cap kebaikan yang disematkan di dirinya.

Suatu hari, di senja yang temaram, datang berita yang sangat mengejutkan seisi kompleks. Albert ditemukan meninggal tergantung di pohon mangga dekat gudamg sekolah.

"Albert! Kamu kenapa, Nak? Jangan tinggalkan ibu." Bu Dona menangis histeris saat polisi datang untuk mengabarkan kematian Albert.

Bergegas Bu Dona mengikuti polisi tersebut menuju lokasi ditemukannya jasad Albert. Sepanjang jalan, Bu Dona tak henti menangis. Bayangan Albert yang tergantung membuat tangisnya semakin kencang. Dia tak habis pikir, kenapa Albert sampai berbuat nekat.

Saat sampai di lokasi, jasad Albert sudah diturunkan. Tidak ada yang boleh menyentuhnya. Polisi yang menangani pun memakai sarung tangan. Ini dalam rangka melindungi barang bukti agar tidak menyulitkan proses penyelidikan.

Bu Dona yang meronta-ronta ingin memeluk jasad Albert akhirnya ditahan dalam mobil polisi. Dia dijaga ketat karena mengganggu kinerja polisi.

Setelah proses penyelidikan, tidak ditemukan tanda-tanda penganiayaan. Bahkan di dalam saku baju Albert ditemukan sepucuk surat untuk ibunya.

Ibu maafkan aku. Aku sudah berbohong pada ibu. Aku tidak pintar seperti yang ibu mau. Hari ini HPku disita karena aku ketahuan nyontek saat ulangan. Aku sering bolos karena malas sekolah. Ada surat dari pak guru untuk ibu di dalam tasku. Sekali lagi maafkan aku, Bu.

Albert.

Bu Dona lunglai membaca surat Albert. Tak disangka anak kebanggaannya menyimpan kebohongan itu. Kepercayaannya yang berlebih pada kemampuan anaknya ternyata membebani Albert sehingga membuat anak itu memilih pergi saat tak mampu menutupi kebohongannya.

"Albert ... maafkan ibu. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak. Ibu ingin semua orang tahu kalau kamu pintar, kamu terbaik, kamu anak ibu." Ratap Bu Dona sebelum kembali jatuh pingsan.

#Salah satu karya dalam buku kumpulan puisi "Cermin Hati"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun