Mohon tunggu...
Endahing Noor Iman Pustakasari
Endahing Noor Iman Pustakasari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku "SI GEMBEL" (Senang Ilmu Gembira Belajar)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Stop Jadi Malin Kundang!

22 Desember 2012   05:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:13 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1356162612428052762

Seperti biasa, pagi ini saya membuka lembaran hari ini dengan surfing ke dunia maya. Mulai membuka email, jejaring sosial, situs berita aktual, dan tentu Kompasiana tercinta. Hampir di semua situs yang saya buka itu sedang hangat membincangkan peran perempuan yang mulia yakni Ibu. Saya enggan untuk ikutan mengharu-biru atau terbawa arus tanggal merah yg dispesialkan untuk para Ibu. Bukan berarti saya tidak saying pada ibu saya, dan ibu-ibu yang lainnya, atau bahkan diri sendiri yang kelak akan menjadi ibu. Melainkan, menurut saya hari ini hanyalah formalitas saja sebagai bentuk penghormatan terhadap perempuan. Semuanya sibuk update status “Terimakasih Ibu”, “I love you, Mom.”, dan sebagainya. Semuanya serba melankolis hari ini. Kalaupun ada aksi, hanya sekedar gerakan sporadic semata misal, bagi bunga, orasi jalanan atau orasi ilmiah di forum-forum intelektual formalitas dan atau non-formalitas.

Seolah-olah hari Ibu mengalahkan perayaan hari besar agama pada umumnya. Kenapa hari Ibu hanya ditentukan pada hari ini saja? Hanya satu hari? Pada bulan Desember lagi, akhir tahun. Kenapa tidak pada bulan-bulan di awal tahun saja? Kalau dipandang dari simbolisasi, maka bulan di awal tahun itu dapat dimaknai sebagai gerbang pintu perubahan dan awal harapan baru, karena ibu merupakan gerbang kehidupan awal bagi para manusia ke dunia. Pertanyaan-pertanyaan, dan asumsi-asumsi tersebut berkecamuk dalam pikiranku pagi ini.

Cobalah kita tengok sejenak, tak usah jauh-jauh, ibu kita sendiri, apakah kita sering melakukan sesuatu yang membuatnya berbunga-bunga dengan perasaan membuncah setiap hari dan waktu? Apakah kita sering membuat ibu kita tersenyum selalu selama menghabiskan waktu bersama? Atau malah sebaliknya, setiap kita bangun tidur yang kita dengar adalah omelan ibu kita atas tindakan kita yang dianggap “tidak benar” dalam pandangannya? Dan, menangis ketika kita melakukan perbuatan yang membuat perasaannya tersakiti dan kecewa? Jujur, saya belum pernah membuat ibu saya tersenyum dan tertawa setiap waktu tanpa sedikitpun menyakiti perasaannya. Memang sih, manusia tidak ada yang sempurna dan selalu melakukan kesalahan, akan tetapi sederhananya apakah kita sudah menjadi anak yang baik yang akan menjadi ibu yang baik bagi anak kita kelak? (bila anda perempuan, silahkan mengangguk atau menggeleng. Kalau anda pria, wah saya perlu menanyakan kejantanan anda, hehehe)

Saya mengatakan dengan tegas bahwa hari ini yang ditasbihkan sebagai hari Ibu bagi saya adalah sekedar formalitas. Kenapa kita hanya membuat hari ini saja yang istimewa bagi ibu kita dengan kata-kata manis yang terlontar lewat media apapun? Sedangkan, di hari yang lain, kita masih melontarkan kata-kata menyakitkan pada ibu kita.

Kalau kita pahami secara mendalam, semua agama mendudukkan ibu kita pada derajat yang tinggi. Nggak percaya? Nih, aku kutipkan beberapa ayat atau sedikit pandangan dari beberapa agama yang diakui di Indonesia. Simak baik-baik di bawah ini ya, bias-bisa habis kalian baca ini, langsung sungkem tuh sama ibu kalian semua.

Dalam Tanzil-Nya yang mulia, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman: 14)

Di tempat lain, Dia Yang Maha Suci berfirman:

Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya dengan menyapihnya adalah tiga puluh bulan….(Al-Ahqaf: 15)

Dua ayat yang mulia di atas berisi perintah berbakti kepada orangtua sebagai suatu kewajiban dalam agama yang mulia ini. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla menggandengkan perintah berbakti ini dengan perintah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Seperti dalam ayat yang artinya :

Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatupun serta berbuatbaiklah kepada kedua orang tua. (An-Nisa`:36)

Ayah dan ibu berserikat dalam hal memiliki hak terhadap anaknya untuk memperoleh bakti. Hanya saja ibu memiliki bagian dan porsi yang lebih besar dalam hal beroleh bakti. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ditanya oleh seorang sahabatnya:

“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)

(lihat Ulangan 6:4-7) “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.“

Keluaran 2:8-9 mencatat "Sahut puteri Firaun kepadanya: 'Baiklah.' Lalu pergilah gadis itu memanggil ibu bayi itu. Maka berkatalah puteri Firaun kepada ibu itu: 'Bawalah bayi ini dan susukanlah dia bagiku, maka aku akan memberi upah kepadamu.' Kemudian perempuan itu mengambil bayi itu dan menyusuinya."

Timotius 1:5 mencatat ‘Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas yaitu iman yang pertama-tama di dalam nenekmu Louis dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu”

Ucapan “sorga ada ditangan wanita” bukanlah suatu slogan kosong, karena ditulis dalam MD.III.56:

YATRA NARYASTU PUJYANTE, RAMANTE TATRA DEVATAH, YATRAITASTU NA PUJYANTE, SARVASTATRAPHALAH KRIYAH

Di mana wanita dihormati, di sanalah pada Dewa-Dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.

Lebih tegas lagi dalam pasal berikutnya: 57:

SOCANTI JAMAYO YATRA, VINASYATYACU TATKULAM, NA SOCANTI TU YATRAITA, VARDHATE TADDHI SARVADA

Di mana wanita hidup dalam kesedihan, keluarga itu akan cepat hancur, tetapi di mana wanita tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.

Dan pasal 58:

JAMAYO YANI GEHANI, CAPANTYA PATRI PUJITAH, TANI KRTYAHATANEVA, VINASYANTI SAMANTARAH

Rumah di mana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib.

Dalam Dhammapada bab XXIII ayat 332, Sang Buddha bersabda, “Berlaku baik terhadap ibu merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik terhadap ayah juga merupakan kebahagiaan. Berlaku baik terhadap pertapa merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini, berlaku baik terhadap Para Ariya juga merupakan kebahagiaan.”

Dalam Angguttara Nikaya Bab IV ayat 2, Sang Buddha juga memberikan petunjuk mengenai cara terbaik untuk membalas budi dan jasa kebaikan orang tuanya, yaitu sebagai berikut :

“ Apabila anak dapat mendorong orang tuanya yang belum mempunyai keyakinan terhadap Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha), sehingga mempunyai keyakinan kepada Tiratana; apabila anak dapat membuka mata hati orang tua untuk hidup sesuai dengan Dhamma, membimbing mereka untuk memupuk kamma baik, berdana, melaksanakan sila, mengorong mereka mengembangkan kebijaksanaan, maka anak tersebut dapat membalas budi dan jasa-jasa kebaikan orang tuanya.”

Terlepas dari yang di atas, saya jadi teringat semasa kecil kita selalu memberi hadiah saat ibu ulangtahun, waktu itu saya member bandana yang saya beli dengan uang saku saya sendiri, belinya dimana? Jelas di pasar dekat rumah sepulang sekolah, saat itu saya masih kelas 1 SD. Kalau teringat itu, rasanya bahagia sekali. Walaupun, hanya memberikan bandana seharga Rp.2000,- saja. Itu pun sudah membuat ibu saya terharu. Namun saat saya beranjak dewasa, kenapa selelu mengecewakan beliau ya? Ada saja cekcok mulut setiap hari, saya baru sadar saat di bangku kuliah, karena memang jurusan yang saya ambil terkait manifestasi jiwa individu dalam perilaku, bahwa ada masanya saya mengalami fase perkembangan yang selalu membangkang orangtua dan membutuhkan teman daripada orangtua sendiri.

Setidaknya, sekarang saya sedang belajar untuk menjalani kehidupan sesuai dengan fase perkembangan saya saat ini. Salah satunya, kalau kata orang sih membahagiakan orangtua. Tapi, menurut saya, untuk diri sendiri yang nantinya pasti membuat ibu saya bahagia dan merasa tidak sia-sia melahirkan saya ke dunia ini. Amiin…

Mari kita jadikan, setiap hari adalah hari Ibu. Senyumnya adalah bahan bakar kehidupan kita, doanya adalah mesiu perjuangan kita, restunya adalah peluru kesuksesan langkah kita. STOP jadi Malin Kundang!

Emak loe-gue FRIEND! :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun