Mohon tunggu...
endah prabawati
endah prabawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - M

Hobi jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Self Diagnose

20 September 2022   21:30 Diperbarui: 20 September 2022   21:34 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

NAMA: ENDAH PRABAWATI

NIM:202210230311161

Kemajuan teknologi informasi merupakan aspek yang tak bisa terhindarkan. Berbagai 'mesin pencari raksasa' menyediakan jutaan informasi yang dapat diakses oleh semua kalangan, termasuk informasi penting sekali pun. Dilansir dari detik.com, berdasarkan laporan terbaru dari We Are Social, ada sebanyak 175,4 juta pengguna internet di Indonesia pada tahun 2020. Hal ini berarti 50% lebih jumlah penduduk Indonesia telah menikmati akses internet. Penyebaran informasi yang begitu pesat menjadi rintangan tersendiri bagi kita untuk lebih bersikap bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi, khususnya terkait dengan kesehatan diri.

Kesehatan mental dan fisik merupakan dua hal yang saling berkaitan. Apabila fisik seseorang terganggu maka akan berimbas pada kondisi mentalnya, begitu pula sebaliknya. Sama seperti penyakit fisik, penyakit mental juga memerlukan penangan khusus dari seorang profesional. Keduanya tidak dapat didiagnosa secara mandiri hanya dengan membaca informasi yang tertulis di internet. Menurut kami, pengambilan kesimpulan terhadap gejala yang diderita merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Hal ini justru dapat memperburuk keadaan seseorang apabila tidak mendapat penanganan secara tepat.

Dilansir dari laman news.unair.ac.id, menurut WHO (World Health Organization) kesehatan mental merupakan kondisi di mana seorang individu mampu mengelola stress dengan baik untuk bekerja secara produktif dan berperan aktif dalam komunitasnya. Jika seseorang berada di luar kondisi yang sejahtera secara fisik dan mental menurut WHO, dimungkinkan orang tersebut memiliki suatu kelainan, atau yang biasa kami sebut sebagai mental illness. Dalam UU RI NO. 18 Tahun 2014, gangguan jiwa atau yang biasa kami sebut mental illness adalah suatu kondisi di mana seseorang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang terwujud dalam perubahan perilaku sehingga dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi kehidupan.

Dibandingkan mengunjungi psikiater atau psikolog untuk mendapatkan diagnosis, sebagian besar orang lebih memilih self-diagnose melalui internet. Mereka bahkan menangani suatu penyakit yang mereka alami secara mandiri. Tak jarang kita temui  beberapa orang mengaku memiliki mental illness dari self-diagnose yang mereka lakukan dan menyebarkannya di media sosial. Menurut kami, sikap tersebut dapat membuat orang lain merasa bahwa memiliki mental illness merupakan hal yang wajar sehingga tidak memerlukan bantuan profesional.

Dilansir dari pijarpsikologi.org, self-diagnose adalah upaya mendiagnosis diri sendiri memiliki sebuah gangguan atau penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Dibandingkan manfaat yang didapat, self-diagnose melalui internet memiliki banyak risiko yang berbahaya.

Pertama, tingkat keakuratan informasi di internet tergolong rendah. Telah disebutkan sebelumnya bahwa semua orang berhak mengakses berbagai situs di internet. Apabila salah seorang dari mereka memiliki kemampuan mengedit sebuah situs web, khususnya yang menyediakan informasi seputar kesehatan maka situs tersebut perlu diragukan keakuratannya. Sebagian besar situs di internet justru menampilkan hasil yang jauh dari perkiraan sehingga membuat seseorang panik dan khawatir.

Kedua, internet tidak membedakan informasi dari seorang profesional dan bukan profesional. Internet menyediakan banyak sekali informasi seputar perkembangan pengobatan. Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua informasi yang tersedia berasal dari seorang profesional. Berbagai bentuk perawatan bermunculan tanpa bantuan profesional untuk mengobati gejala yang mereka derita. Dari sinilah muncul kekhawatiran bahwa pengguna internet tidak memahami informasi tersebut dengan baik, dan justru menggunakan pengobatan alternatif yang membahayakan daripada mengunjungi dokter, psikolog, maupun seorang profesional di bidangnya (Cline & Haynes, 2001 dalam (Gass, 2016)). Ironisnya, saat ini apotek online mulai marak di kalangan masyarakat. Mereka dapat menjual belikan berbagai macam obat tanpa resep dokter sekali pun. Hal inilah yang sebenarnya menjadi ancaman bagi kesehatan seseorang.

Ketiga, banyaknya informasi yang tidak jelas sumbernya bertebaran di internet. Ada lebih 70 ribu situs web yang menawarkan informasi seputar kesehatan dapat diakses oleh seluruh pengguna internet manapun. Menentukan data yang akurat atau tidak merupakan tindakan yang membahayakan kesehatan. Cline dan Haynes telah menentukan bahwa lebih dari setengah informasi kesehatan di internet merupakan informasi yang tidak tepat (Gass, 2016). Bahkan untuk seseorang yang memiliki latar belakang pengetahuan medis sekalipun, belum bisa dengan pasti menentukan perawatan online yang akurat atau tidak.

Keempat, internet dapat menjadi jurang bagi kesehatan mental seseorang. Internet dapat terlibat dalam "validasi gangguan mental serius sebagai sesuatu yang 'normal'"(Cline & Haynes, 2001 dalam (Gass, 2016)). Memiliki gangguan mental, bukanlah hal yang memalukan, namun seperti kebanyakan kondisi medis lainnya, penyakit mental tidak dapat diabaikan. Mereka yang memiliki mental illness perlu didiagnosis dan dirawat sesuai dengan penyakit yang dideritanya melalui seorang profesional.

Kami mendapati banyak sekali informasi seputar self-diagnose melalui situs di internet. Kami menemukan setidaknya ada empat efek self-diagnose melalui internet. Yang pertama, cognitive effects. Efek self-diagnose terhadap aspek kognitif membuat seseorang kebingungan mengenai penyakit yang mereka derita. Selain itu, cognitive effects dapat memunculkan persepsi diri mengenai kelainan. Seseorang menganggap dirinya tidak normal atau bahkan menderita penyakit serius yang membuat dirinya mengalami kesulitan hingga rasa putus asa. Kedua, affective effects. Self-diagnose akan menyebabkan seseorang mengalami tekanan fisik dan emosional. Mereka meyakini tantangan yang akan dihadapi di masa depan, termasuk prospek akademik dan kegiatan yang biasa dilakukannya dulu tidak akan lagi berjalan baik di masa depan (Ahmed & Samuel, 2017).

Selanjutnya behavioral effects yang umumnya menimbulkan maladaptasi sosial. Namun, perilaku ini masih kurang jelas apakah benar merupakan hasil dari self-diagnose atau kondisi aktual yang dia alami saat mendapatkan diagnosis tersebut. Dan yang terakhir positive effects. Self-diagnose bukan hanya dikaitkan dengan hal yang negatif saja. Di sisi lain, seseorang mendapatkan manfaat akademis tertentu dan memberikan motivasi untuk membandingkan gejala dan risiko yang yang dideritanya dengan orang lain. Hal ini menjadi salah satu cara belajar yang ampuh tersimpan di memori mereka.Hasil lain dari melakukan self-diagnose yaitu dapat membuat seseorang lebih berempati satu sama lain yang menjadi alasan mereka saling memberikan semangat dan dukungan (Ahmed & Samuel, 2017).

Individu cenderung melakukan self-diagnose untuk memberi kepuasan pada diri mereka sendiri. Dengan mencari masalah yang sedang dihadapi melalui internet, seorang individu merasa dapat memberi pertolongan pada diri sendiri (Gass, 2016). Namun sebaliknya, jika hal ini terus berlangsung dapat menyebabkan kekhawatiran apabila informasi yang ditemukan tidak cocok untuk dirinya, namun ia merasa informasi yang didapat sama seperti yang ia rasakan.

Individu yang merasa dapat melakukan kendali atas dirinya cenderung melakukan self-diagnose. Ia akan merasa lebih nyaman saat mengobati dirinya sendiri, serta merasa bisa memanajemen dirinya sendiri tanpa bantuan ahli (Jutel, 2018). Hal ini tentunya dapat menyebabkan seorang individu merasa lebih pandai dari ahli, sehingga seorang individu merasa lebih nyaman sebelum bertemu ahli untuk melakukan pengobatan atau terapi.

Merasa memiliki clinical background yang merupakan pengetahuan klinis yang didapat seseorang melalui akademik dan yang lain juga dapat menjadi salah satu penyebab seorang individu melakukan self-diagnose. Dapat dilihat dari orang yang mempelajari psikologi abnormal cenderung melakukan self-diagnose terutama yang berhubungan dengan penyakit mental (Ahmed & Samuel, 2017). Dengan memiliki clinical background seorang individu merasa sesuatu yang ia anggap benar adalah kenyataannya, padahal hal tersebut belum tentu benar. Hal ini mungkin terjadi pada seseorang yang baru mempelajari hal-hal baru di bidangnya.

Pada umumnya, semua hal yang terjadi bisa disebabkan oleh pengalaman atau peristiwa hidup sebelumnya. Hal ini juga dapat menjadi penyebab seseorang cenderung melakukan self-diagnose karena mereka merasa telah mengetahui atau merasakan hal itu sebelumnya (Ahmed & Samuel, 2017). Misalnya, ketika di keluarga seorang individu ada yang mempunyai riwayat penyakit jantung, maka ketika individu tersebut mengalami nyeri pada bagian dada, ia akan cenderung mendiagnosis dirinya mengalami penyakit jantung dan hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran pada individu tersebut.

Kami juga menemukan sebuah istilah penting yang perlu diketahui yakni Cyberochondria. Cyberchondria merupakan salah satu dampak buruk terhadap mental seseorang yang terlalu sering melakukan diagnosa diri. Sering mendiagnosa melalui artikel-artikel yang tersedia dan terbiasa menggeneralisasi gejala dapat berdampak fatal apabila terdapat detail terlewat yang hanya diketahui oleh dokter. Selain itu, tidak semua artikel di internet merupakan evidence based medicine (EBM) yang membuat informasi di dalamnya tidak bisa dipertanggungjawabkan (Akbar, 2019).

Individu yang mengalami cyberchondria kemungkinan besar mengalami distress dan kecemasan setelah membaca informasi-informasi dari internet, namun sebagian kecil individu justru merasa tenang apabila mengetahui gejala yang dimiliki bukan gejala penyakit yang berat, hal ini terkadang bisa membahayakan apabila beberapa gejala terlalu sering digeneralisasi (McMullan, Berle, Arnaez, & Starcevic, 2018). Langkah terbaik untuk menghindari resiko yang berat memanglah memeriksakan diri ke dokter, psikolog, ataupun seorang profesional di bidangnya.

Self-diagnose tentunya dapat kita atasi dengan selektif dalam mengambil informasi mengenai kesehatan kita (Georgekopolou & Stavroula, 2017). Kita tidak boleh menelan mentah informasi kesehatan terutama penyakit yang berkaitan dengan keluhannya. Kita perlu mengetahui bahwa laman penyedia informasi tersebut apakah kredibel atau tidak. Jika kita masih memiliki sebuah kekhawatiran, kita harus berani mengambil keputusan untuk berkonsultasi pada ahli. Individu yang telah mendiagnosis dirinya sendiri perlu berdiskusi satu sama lain dengan ahli agar yakin terhadap diagnosis yang diberikan kepadanya dan mengurangi rasa khawatir yang dialami (Santosa, Purwadianto, Sidipratomo, Pratama, & Prawiroharjo, 2018).

Setelah berkonsultasi dengan ahli, kita harus yakin tentang diagnosa yang telah disimpulkan dan mengikuti saran yang telah diberikan (Georgakopoulou, 2017). Jika ahli yang mempelajari sedemikian banyak penyakit kadang tidak sepenuhnya mengetahui hal-hal detail dari suatu penyakit. Apalagi pasien yang berasal dari latar belakang keilmuan yang berbeda, tidaklah mungkin sepenuhnya memahami suatu penyakit sedetail apa pun artikel yang dibacanya, itu pun bila artikel tersebut adalah artikel berkualitas yang berdasarkan bukti medis. Logika dan penalaran medis adalah sesuatu yang harus dipelajari secara khusus selama bertahun-tahun serta ditempa oleh pengalaman dalam periode yang lebih lama lagi, sehingga tidak mungkin dikuasai hanya dari membaca selama beberapa menit. Maka dari itu, kita harus mengikuti saran ahli  (Santosa, Purwadianto, Sidipratomo, Pratama, & Prawiroharjo, 2018).

Daftar Pustaka

Ahmed, A., & Samuel, S. (2017). Self-Diagnosis in Psychology Students. The International Journal of Indian Psychology , 120-139.

Akbar, M. F. (2019). Analisis Pasien Self-diagnosis Berdasarkan Internet Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. https://doi.org/10.31227/osf.io/6xuns

Aula, A. C. (2019, Oktober 10). Opini Paradigma Kesehatan Mental. Retrieved Juni 13, 2020, from UNAIR NEWS: http://news.unair.ac.id/2019/10/10/paradigma-kesehatan-mental/#:~:text=Menurut%20WHO%2C%20kesehatan%20mental%20merupakan,serta%20berperan%20serta%20di%20komunitasnya.

Gass, M. A. (2016). Risk and Benefits of Self-Diagnosis Using the Internet.

Georgakopoulou, S. (2017). The Dangers of Self-Diagnosis Self-Help. Psychology and Behavioral Science International Journal , 001-002.

Haryanto, A. T. (2020, Februari 20). detiknet. Retrieved Juni 13, 2020, from detikcom: https://inet.detik.com/cyberlife/d-4907674/riset-ada-1752-juta-pengguna-internet-di-indonesia

Jutel, A. (2018). Self-diagnosis: A discursive systematic review of the medical literature. Journal Participatoty Medicine , 1-13.

McMullan, R. D., Berle, D., Arnaez, S., & Starcevic, V. (2018). The relationship between health anxiety, online health information seeking, and cyberchondria: Systemic review and meta-analysis. Journal of Affective Disorder .

Santosa, F., Purwadianto, A., Sidipratomo, P., Pratama, P., & Prawiroharjo, P. (2018). Sikap Etis Dokter pada Pasien yang 'Mendiagnosis" Diri Sendiri Menggunakan Informasi Internet pada Era Cyber Medicine. Jurnal Etika Kedokteran Indonesia , 53-57.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun