Mohon tunggu...
Endah Kurniati
Endah Kurniati Mohon Tunggu... Penulis - Pendidik, Penulis

Penulis buku Non Fiksi yang sedang belajar jadi Novelis di platform digital. Menulis sebagai Katarsis, aktif sebagai Duta Kesehatan Mental DANDIAH CARE

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pahlawan Devisa, Quo Vadis TKW Indonesia

16 Mei 2019   22:06 Diperbarui: 11 Oktober 2019   12:40 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
photo credit : koleksi Endah Kurniati

Bocah perempuan itu namanya Kumayu, umurnya seusia anak PAUD. Ibunya pergi TKW ke Arab Saudi, jadi hari-harinya dilalui bersama bapaknya yang kerja serabutan, kadang jadi kuli bangunan, kadang disuruh bersihkan kebun tetangganya, atau apa saja pekerjaan kuli. 

Aku perhatikan selama bapaknya kerja di rumahku, Kumayu seringnya asyik sendiri, mainan pasir adukan atau apa saja yang bisa dijadikan mainan, sambil nyerocos ngomong sendiri. Bajunya kotor, seringnya hanya pake kaos dan celana dalam. Jam istirahat dhuhur, Kumayu ikut makan bareng ayahnya. Setiap ada tukang jajanan anak lewat, pasti merengek minta jajan. Jadi upah si bapaknya cape kerja seharian itu hampir sepertiganya untuk jajan si bocah.

Dari jendela aku perhatikan bapaknya sungguh sabar mengasuh anaknya ini, sangking sabarnya kali sampai-sampai isteri pergi nyari duit sampai ke Arab diijinkan juga...hmm, I just don't get it. 

Tragic? Tapi inilah gambaran nyata yang terjadi di masyarakat. Bahkan ada satu kampung di Jawa Barat, tepatnya di Desa Cigadog, Kecamatan Sucinaraja, Kabupaten Garut yang dijuluki "Kampung TKW" karena hampir semua wanita di desa ini mencari rezeki dengan menjadi TKW di negeri orang. Bagi warga Cigadog, berangkat menjadi TKW adalah pilihan disaat kampung halaman mereka dianggap sudah tak dapat lagi menjadi tempat mencari penghidupan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Desa Cigadog memang tidak memiliki banyak potensi penghasilan bagi warganya. Kebanyakan warga di desa ini adalah buruh tani yang mengelola pertanian sayuran di lahan milik orang lain.    Sehingga menjadi TKW menjadi "the only one way out " bagi banyak rumah tangga di kampung ini.

Mestinya ini ada yang salah, bagaimana tidak ?  Bila sang ibu pergi dari rumah, nyebrang laut lintas negara mencari uang demi keluarga... Lho, mengapa ibu-ibu ini begitu perkasa, sampai harus pertaruhkan kewajiban utamanya sebagai pendamping suami dan pendidik bagi anak-anaknya. Hellow... Suppose pemerintah menjadi garda terdepan yang mengakomodasi peraturan bahwa seorang wanita yang masih memiliki suami dan memiliki anak dibawah 17 tahun tidak bisa dapat ijin untuk jadi TKW.

Tentunya ini mesti di cari akar masalahnya. Agar penanganan masalah TKW ini mendapatkan perhatian dan solusi yang tepat. Pernah aku kehilangan salah satu murid di kelas, sudah beberapa hari absen sekolah, saat aku tanyakan pada teman di kelasnya, ternyata ibunya pergi menjadi TKW dan muridku yang malang ini, harus menjaga adiknya yang masih kecil di rumah.

Aku menghela nafas panjang dan berat. I really  just don't get it. Apa tidak terlalu selfish,  engga worthed julukan "Pahlawan Devisa" bagi para TKW padahal dibalik itu ada anak-anak yang berkorban. Memang sih,  ibu-ibu pelaku TKW juga tidak perduli dengan julukan tersebut, yang penting bagi mereka, dapat duit banyak demi keluarga.

***

Dampak Sosial 

Perlu riset yang mendalam untuk mengetahui dampak social pada masyarakat yang keluarganya ditinggal pergi TKW oleh wanitanya yang suppose jadi ratu dalam rumah tangga. Perempuan sebagai seorang ibu merupakan pendidik satu generasi, aktor utama dalam keluarga. Ibulah yang membantu ayah di rumah dalam menanamkan norma, memberikan kasih sayang, dan memberi contoh keteladanan bagi anak-anak.  Di desa Cigadog yang berjarak sekitar 15 km dari pusat Kota Kabupaten Garut. Desa ini terletak di pelosok perbukitan dengan ketinggian lebih dari 1.000 mdpl ada banyak kita temui para lelaki yang berperan sebagai bapak rumah tangga, karena istri sang ratu rumah tangganya tengah bekerja ke luar negeri. Para ibu rumah tangga ini minimal memiliki kontrak kerja rata-rata dua tahun.

Menurut BNP2TKI, ada ribuan TKI yang dipulangkan ke Indonesia setiap tahunnya. Mereka ini adalah kebanyakan TKW bermasalah yaitu yang nekad berangkat dan tidak memiliki keahlian apapun, inilah tipikal perempuan yang memiliki kondisi psikososial yang bermasalah. yaitu tidak bisa mengkontrol keseimbangan antara kondisi sosialnya dengan kesehatan mental emosionalnya.  Pastilah bagi seorang ibu yang terpisah jarak dengan anak-anaknya karena keadaan sehingga mesti berjauhan, hal seperti ini sangat dilematis, belum lagi masalah yang dihadapinya di negara orang, karena tidak setiap dari mereka mendapatkan majikan yang baik. Ada juga beberapa TKW yang kurang beruntung seperti rawannya kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga)  atau kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh majikan. Berapa banyak TKW yang kemudian tersandung kasus pembunuhan karena terpaksa  untuk melindungi diri saat mendapat tekanan. Alih-alih mendapatkan perlindungan hukum, malah justru nasibnya berakhir dengan hukuman mati, kecuali dapat membayar diyat, yaitu uang tebusan yang jumlahnya sangat fantastis.

Pemerintah dalam hal ini Kementrian Pemberdayaan Perempuan  dan  Perlindungan Anak,  memiliki program untuk mengatasi masalah perempuan ini, pemerintah punya program P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) di setiap Kabupaten - adalah Pusat kegiatan terpadu yang menyediakan pelayanan bagi perempuandan anak korban tindak kekerasan yang meliputi pelayanan medis, Pelayanan hukum, Pelayanan Psikis dan Pelayanan Rehabilitas Sosial.   Program ini meliputi juga upaya pemberdayaan ibu dan anak baik secara preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Salah satu masalah yang menjadi keprihatinan pemerintah adalah maraknya kasus kekerasan dan perdagangan manusia (trafficking) terhadap perempuan dan anak. Faktor kemiskinan, masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pergeseran nilai moral, masalah sosial budaya, gaya hidup dan makin besarnya jumlah penduduk yang mempersempit lapangan pekerjaan, membuat perempuan dan anak rentan terhadap permasalahan traficking dan kekerasan.

Akar Masalah 

Benang merah segala masalah yang dihadapi oleh perempuan itu akar masalahnya adalah kebodohan, kurang pendidikan. Faktanya memang daerah yang paling banyak mengirimkan TKWnya adalah kabupaten-kabupaten yang memiliki  IPM (indeks Pembangunan Manusia) terendah di Indonesia. Pendidikan yang dimaksud adalah formal, nonformal (keterampilan, ilmu agama/ pondok pesantren). Dengan pendidikan, seseorang akan memiliki bekal psikososial yang stabil. Kita mafhum, ada fakta pula beberapa pemimpin kita dahulu lahir dari ibu yang tidak mengenyam pendidikan formal tinggi, namun mereka menjalankan ajaran agama dengan penuh ketaatan. Karena dalam ajaran agama Islam, bagi perempuan, keberkahan dari sifat taat ini menyelamatkan dirinya, keluarganya dan kehidupannya.

Peningkatan kualitas sumber daya manusia dimulai dari peran perempuan dalam memberikan pendidikan kepada anaknya sebagai generasi penerus bangsa. Generasi yang nantinya akan memimpin bangsa ini kedepannya. Saat generasi ini terdidik melalui madrasah awal (madrasatul 'ula) yang baik, maka bukan sebuah hal yang mustahil jika itu sudah menjadi satu jaminan bahwa kehidupan bangsa ini di masa mendatang akan jauh lebih baik.

Masih ada banyak jalan keluar

Mari bebenah diri, ada kisah inspiratif dari TKW yang sukses meng-up grade diri dan sukses, seperti kisah Teteh Okti yang berhasil mendapatkan penghasilan lumayan besar dari menulis sebagai blogger perempuan yang sukses, baca di link ini.

Selain itu pun, saat ini dengan fenomena sosial media, banyak peluang usaha yang dapat diberdayakan oleh para kaum perempuan khususnya untuk membuat usaha rumahan dengan dukungan penuh dari kementrian koperasi dan perindustrian dengan berbagai pelatihan usaha kecil dan bantuan modal serta pemasaran, sehingga para kaum perempuan khususnya ibu-ibu ini tetap dapat berdaya dan menghasilkan pendapatan tanpa harus pergi ke luar negeri. Begitupun yang juga terdampak dari perkembangan teknologi media ini, adalah sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, sehingga banyak potensi daerah wisata yang tumbuh, sehingga wisata-wisata turunannya seperti kuliner khas lokal dan berbagai handicraft lokal dapat digali dan diberdayakan oleh para kaum perempuan.

Wahai perempuan, potensimu jangan disiakan, jangan menyesal dikemudian hari. Kalau kita tak sanggup sabar mengasuh, mendidik anak-anak saat mereka sangat membutuhkan kasih sayang dan bimbingan orang tua, jangan salahkan siapa pun bila nanti kesulitan di masa-masa tua kita, dan itu pasti akan sangat menyakitkan.... atau ibu-ibu merasa yakin mereka akan sholeh dengan sendirinya dan akan menjadi anak yang berbakti tanpa pengorbanan?

Bersyukurlah dengan apa yang dimiliki dalam hidup, bahkan untuk hal sederhana sekalipun, positif dan berbaik sangka pada diri sendiri, kendalikan ketegangan dan kecemasan dalam rumah tangga, suamilah tempat kita merasa nyaman, kurang rejeki itu biasa, tidak ada yang salah dengan itu, yang salah adalah bila kita kurang iman. please don't do TKW, don't go any where ibu....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun