Mohon tunggu...
Endah Iri Aryani
Endah Iri Aryani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Simulacra

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pola Perilaku Masyarakat Kampung Pengemis di Kota Bogor Ditinjau dalam Perspektif Sosiologi

11 November 2020   18:01 Diperbarui: 11 November 2020   18:51 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kemiskinan di Kampung Pengemis

Kampung Pengemis ada disebabkan adanya perubahan sosial yang terjadi di dalam daerah yang dahulunya adalah perkebunan sawit dan sisanya adalah lahan kosong. 

Perubahan di Kampung Pengemis ditandai dengan adanya urbanisasi yang dilakukan oleh beberapa kepala keluarga dari wilayah Cianjur dan Sukabumi. Beberapa diantara masyarakat yang tinggal di Kampung Pengemis tersebut memiliki mata pencaharian sebagai pengemis dan pemulung. 

Dari tahun ke tahun banyak masyarakat dari berbagai wilayah seperti Sukabumi, Karawang, dan Cikarang melakukan urbanisasi ke Kampung Pengemis Kelurahan Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat untuk menyewa lahan kosong untuk dijadikan tempat tinggal. Kebanyakan dari mereka merupakan keluarga yang bermata pencaharian sebagai pengemis, pemulung, anak jalanan, dan pedagang. 

Sehingga sebelum bernama Kampung Pengemis, Kampung Pengemis dinamai oleh masyarakat sekitar dengan nama Kampung Beling disebabkan rata-rata mata pencaharian sebagian masyarakatnya adalah pemulung yang mengumpulkan botol-botol kaca yang memenuhi pemukiman Kampung Pengemis tersebut. 

Tidak hanya itu, Kampung ini mendapatkan stereotip mengenai nama kampung tersebut diantaranya, yakni (1) Kampung Mongol, yang memiliki arti berhuni orang-orang kurang beradab, (2) Kampung Kaleng, disebabkan rata-rata  mata pencaharian yang dilakukan oleh warga sebagai pemulung, dan (3) Kampung Hitam yang memiliki merepresentasikan pahit dan suramnya kehidupan.

Pada tahun sebelum 2015, warga Kampung Pengemis tidak tercatat ke dalam sensus kependudukan. Hal ini menyebabkan Kampung Pengemis tidak mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kota dan juga Dinas Sosial Kota Bogor. Berletak di  pemukiman lahan Kampung Ciheleut Pakuan, wilayah Kampung Pengemis tidak terlalu

Mata Pencaharian

Pada tahun 1980-an Kampung Pengemis identik sebagai kaum pengemis dibandingkan dengan menjadi pemulung yang jumlahnya minor. Sebelum tahun 2015 masih banyak dari masyarakatnya bekerja sebagai pemulung, anak jalanan bahkan menjadi preman serta pekerja seks komersil (PSK). 

Stigma yang dilontarkan oleh masyarakat sekitar dengan sebutan Kampung Mongol telah menjadi stereotip Kampung Pengemis. Banyak dari mereka hanya mengandalkan menjadi pengemis setiap harinya, umumnya mereka akan mengemis disekitaran wilayah Bogor Tengah. Namun, ada juga yang mengemis di Stasiun Bogor yang umumnya mengemis dengan cara mengeksploitasi balita untuk menarik simpati orang-orang. 

Selain itu juga, banyak anak-anak yang tidak mengeyam pendidikan sehingga mengikuti jejak orang tuanya untuk mengemis. Berbeda dengan Kampung RT 005 RW 006, kehidupan kampung diatasnya rata-rata memiliki pekerjaan sebagai pedagang, karyawan pabrik dan lain sebagainya.

Terlihat adanya kesenjangan ataupun ketimpangan sosial yang terjadi diantara kedua kampung tersebut. Ini menunjukkan adanya kelas sosial dalam bidang profesi antara perbatasan kedua kampung tersebut. Eksploitasi anak-anak hingga pekerja seks komersil juga termasuk ke dalam adanya bukti kemiskinan yang terjadi di Kampung Pengemis.

Namun, pada tahun 2015 setelah berganti RT 005/006 ini, menjadi Pak Badri sebagai Ketua RT Kampung Ciheleut Pakuan ini mengajukan ke Kelurahan Tegallega untuk menggabungkan Kampung Pengemis dengan RT 005/006 agar tercatat di dalam sensus kependudukan. Dalam membuat keputusan tersebut, Beliau memberikan perubahan untuk Kampung Pengemis, yakni 

(1) warga Kampung Pengemis telah terdaftar oleh sensus kependudukan, 

(2) sudah tidak ada yang bekerja sebagai pekerja seks komersil dan preman, 

(3) anak-anak sudah bersekolah sampai tingkat minimal SMP bahkan adanya sudah di Perguruan Tinggi, 

(4) sebagian mulai beralih dari menjadi pengemis berubah menjadi bekerja sebagai kuli, pedagang, satpam, pemulung, hingga buruh, 

(5) adanya komunitas PKK yang berisikan kegiatan ibu-ibu pengajian. Perubahan ini tidak sepenuhnya terjadi diakibatkan adanya pola pikir dimana masyarakat masih menggemari menjadi pengemis.

luas ini memuat setidaknya sekitar 210 Kepala Keluarga. Kemiskinan yang terjadi di dalam Kampung Pengemis merupakan bentuk dari representasi bagaimana kemiskinan masih menjadi masalah perkotaan yang sampai saat ini belum tuntas.

Kualitas Sanitasi

Selain dari mata pencaharian yang umumnya merupakan seorang pengemis, kemiskinan yang ada di Kampung Pengemis tidak lepas dari penilaian terhadap kualitas sanitasi. 

Kualitas sanitasi Kampung Pengemis terbilang sangat buruk karena tidak terdapat adanya Mandi, Cuci, Kakus (MCK) di setiap rumah atau MCK umum. Kualitas sanitasi juga dilihat dalam air minum, MCK, dan juga pengolahan sampah dan saluran pembuangan air limbah rumah tangga. Namun, masyarakat Kampung Pengemis setiap hari melakukan kegiatan mencuci baju, mandi dan lain sebagainya dilakukan di sungai yang letaknya di bawah pemukiman.

Kualitas sanitasi yang sangat buruk ini menyebabkan timbul berbagai penyakit, wilayah yang kurang dijaga kebersihan juga dapat terkena dampaknya. Ini menandakan kemiskinan yang ada di Kampung Pengemis terbilang cukup buruk disebabkan oleh tidak adanya MCK di setiap rumah atau pun MCK umum di pemukimannya.

Analisis Penyebab Kemiskinan di Kampung Pengemis

Jika diamati rendahnya motivasi dalam diri individu di Kampung Pengemis ini membawa pada pola pikir yang mengalami dekadensi. Sikap keinginan untuk tetap stagnan di lingkaran kemiskinan ini menyebabkan permasalahan kemiskinan yang tidak ada penyelesaiannya. Seperti pada teori Max Weber mengenai perilaku sosial, perilaku masyarakat yang memicu adanya permasalahan di dalam masyarakat merupakan bagian yang disebabkan oleh perilaku individu atau kelompok. 

Kemiskinan yang terjadi di Kampung Pengemis merupakan wujud dari perilaku sosial masyarakat yang menganggap bahwa mengemis masih menjadi hal yang lebih efektif untuk mendapatkan uang daripada harus bekerja keras. 

Pemikiran seperti akhirnya membawa dampak dalam berbagai hal, yakni (1) persentase kemiskinan di Kota Bogor dan se-Indonesia meningkat, (2) menjadi masalah yang harus diselesaikan Dinas Sosial Kota Bogor, (3) penataan wilayah kota menjadi tidak tetatur, (4) terjerat dalam kemiskinan sepanjang hidup.

Namun, jika kita melihat dengan perspektif struktural fungsional dalam pemikiran Gans kemiskinan tidak hanya dipandang sisi negatifnya tetapi memiliki pandangan bahwa kemiskinan ini memiliki fungsi positif, yakni (1) mendapat perhatian dari pemerintah, (2) memunculkan bantuan dari Dinas Sosial, (3) memberikan pelayanan dalam pekerjaan kasar (serabutan), (4) menjadi tolak ukur adanya orang kaya dan orang miskin, (5) dalam membangun bangunan, adanya jasa kuli, dan lain sebagainya. Kemiskinan menjadi permasalahan perkotaan yang selalu ada di setiap kota. Kemiskinan kultural Kampung Pengemis ini dapat diubah dengan merubah pola pikir yang sudah tertanam dalam individu di masyarakat Kampung Pengemis.

Jika dalam perspektif Emile Durkhem mengenai kaitannya kemiskinan dan struktur fungsionalis ini menyatakan bahwa kemiskinan di Kampung Pengemis ini merupakan hasil dari tindakan gagal mengikuti atau beradaptasi dengan kondisi yang dinamis. 

Hal ini sebabkan oleh patologi sosial dimana mengganggu fungsi seperti pendidikan yang terbatas, dahulu anak-anak Kampung Pengemis tidak dapat bersekolah serta para orangtua yang dahulunya tidak bersekolah ataupun bersekolah dengan tingkat pendidikan yang rendah, selain itu juga akses informasi dan hubungan sosial dengan masyarakat kurang disebabkan oleh masyarakatnya berjumlah minor serta menutup diri.

Sementara menurut pandangan Talcott Parson dalam teori struktural fungsional, kemiskinan di Kampung Pengemis terjadi akibat dari perubahan sosial yang terjadi di dalam lapisan masyarakat yang disebabkan oleh adanya globalisasi yang dimana membuat sebagian dari masyarakat tidak dapat mengikutinya, akhirnya menyebabkan ketidakseimbangan di dalam lapisan masyarakat.

Selain daripada teori struktural fungsionalisme, kemiskinan yang terjadi di Kampung Pengemis juga merupakan bentuk dari adanya kebudayaan yang sudah tertanam pada saat munculnya Kampung Pengemis dimana awalnya warganya adalah relokasi dari orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal, maka budaya mengemis sudah tertanam pada pemikiran masyarakatnya. 

Dalam teori Michael Sherraden, yang dikembangkan oleh Oscar Lewis dan Edward Banfield inilah yang mengatakan bahwa budaya kelompok kelas bawah ini mengekalkan kemiskinan dari generasi ke generasi berikutnya.

Namun, perubahan sosial yang terjadi di Kampung Pengemis semakin terlihat apabila melihat dengan perspektif sosiologi, perubahan yang dapat dilihat adalah sebagian masyarakat sudah tidak berorientasi menjadi pengemis, pendidikan anak-anak mulai diperhatikan, hingga membenahi bangunan rumah yang dahulu hanya menggunakan bambu dan triplek berubah menjadi dinding, dan solidaritas antar warga semakin erat serta berkurangnya kesenjangan sosial diantara Kampung Ciheleut Pakuan RT 005/006 dengan Kampung Pengemis.

Selain itu juga, dalam perspektif solidaritas sosial oleh Emile Durkheim, Kampung Pengemis memiliki solidaritas mekanik dibanding dengan Kampung Ciheleut Pakuan yang memiliki 5 RT yang cenderung organik. 

Solidaritas mekanik selain daripada jumlah penduduknya minor dibanding masyarakat sekitanya tetapi disebabkan adanya rasa percaya, lingkungan tempat tinggal yang sama, serta rasa gotong royong dan saling melindungi satu sama lain masih erat. Jika ada anggota masyarakatnya sakit atau wafat, kelompok PKK ini akan segera membantu dalam mengurusi anggota masyarakat tersebut.

Kemiskinan di Kampung Pengemis merupakan patologi sosial yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Tingginya urbanisasi ke perkotaan juga harus diperhatikan keahlian hingga peningkatan kualitas diri sebab persaingan yang tinggi. 

Kemiskinan dianggap sebagai kegagalan dari individu atau kelompok yang bersaing dengan individu lainnya. Kemiskinan di Kampung Pengemis dapat teratasi apabila memperbaiki hal-hal demikian, sebagai berikut.

1. Pola pemikiran yang terbuka untuk keluar dari zona nyaman sebagai pengemis. Masyarakat Kampung Pengemis sudah mulai terdorong untuk melakukan perubahan dalam hidup. Ketua dan warga dari RT 005/006 membina serta memberikan arahan untuk menghilangkan pemikiran untuk selalu stagnan melakukan kegiatan mengemis, hasil dari pembinaan Ketua RT 005/006 ini adalah sebagian dari masyarakat mulai berubah pemikirannya dengan beragamnya pekerjaan dari warga Kampung Pengemis.

2. Mengoptimalkan kembali fungsi dari PKK Kampung Pengemis. Selain menjadi tempat dan wadah keagamaan seperti pengajian, namun optimalisasi fungsi dari PKK ini sebaiknya dengan membuat pelatihan keterampilan yang mengarahkan ke dalam bentuk wirausaha seperti menjahit, kerajinan, menganyam, dan lain sebagainya. Tujuan dari optimalisasi fungsi PKK ini adalah agar masyarakat memiliki motivasi untuk berwirausaha.

3. Perhatian pemerintah menjadi penting, bagaimana kemiskinan ini menjadi problematika bagi pemerintah yang harus dibenahi. Bantuan dari pemerintah serta P2KP menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Kampung Pengemis. Bantuan ini dapat berupa mengoptimalisasi fungsi PKK di Kampung Pengemis seperti keterampilan dan membina agar memiliki kemampuan berwirausaha atau memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Kampung Pengemis agar berhenti mengemis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun