The Sunrise of Java, gelar bagi Pantai Bama sebagai pesisir paling Timur di Pulau Jawa. Kembali disayangkan karena kami berkunjung di waktu yang kurang tepat; sore hari. Matahari tertutup mendung meski tidak menurunkan hujan. Tetapi keindahan bebatuan granit yang menyusun bibir pantai cukup membuat kami menghabiskan sesi curhat featuring bulian hingga petang. Beberapa resort yang menghadap ke arah timur cukup ramai dengan kumpulan pengunjung. Seperti wisma di Savana Bekol, resort/ penginapan di Pantai Bama juga bisa dipesan jauh hari sebelumnya. Keterbatasan wisma penampung inilah yang mengharuskan wisatawan/ peneliti yang ingin menginap harus mempersiapkan kunjungan sebaik-baiknya, terutama karena pihak pengelola TN Baluran tidak sembarangan mengeluarkan izin pengunjung untuk mendirikan tenda.
Dua elf kami kembali melaju melintas jalur Banyuwangi-Situbondo, setelah menyelesaikan sholat jamak di area Batangan Visitor Center sekembali dari Pantai Bama. Kawah ijen menjadi impian rombongan trip hore ini untuk dijamah. Seorang kawan memutuskan untuk berpisah dari rombongan dan harus kembali ke arah Bali, namun terpaksa mengikuti jalur kami hingga Situbondo untuk mempermudah mendapatkan transportasi penyeberangan karena waktu sudah terlampau larut. Dua supir elf kami yang terpercaya begitu berdedikasi mencarikan travel untuk mengangkut perjalanan teman kami. Bisa saja sebenarnya dari Baluran kami mengambil arah Kota Banyuwangi (termasuk melewati pelabuhan Ketapang), lalu mengambil jalan ke arah Jambu/ Licin mengikuti jalur transportasi truk pengangkut belerang hingga Paltuding. Namun dua sopir elf kami tidak berani mengambil resiko melewati tanjakan-tanjakan berat, medan makadam serta melintas belantara tanpa LPJU (lampu penerangan jalan umum) sehingga lebih memilih jalur memutar melewati kota Situbondo. Dari Situbondo, kami masih terus menuju Bondowoso. Teman-teman mulai dilanda rasa lapar. Kami sempat berhenti di warung makan kecil yang masih eksis ketika waktu sudah hampir menunjuk tengah malam.
Sampai di pertigaan Tapen, mengambil arah ke Sempol. Beberapa kali kami melewati pos jaga PTPN, membayar administrasi tanpa tiket (sekedar membuka portal) dan sempat tersesat karena sopir kami memilih arah ke kiri menuju air terjun Blawan, beliau melewatkan papan petunjuk ke arah kanan yang mengarah Paltuding. Si bapak supir pede aja gitu berpendirian akan tetap sampai paltuding via Blawan. Sampai ketika kami bertemu portal, beliau baru berkenan memutar elf menuju pertigaan Sempol yang sebenarnya sudah cukup jauh kami lalui. Perjalanan melewati desa Jampit, seandainya kami melaju di siang hari, tentu saja view bukit savana akan memanjakan mata. Semoga ada kesempatan kembali mengunjungi Ijen untuk Jampit dan Blawan.
Rasa berat pelupuk mata ternyata tidak melulu berhasil membuatku terlelap ketika meliuk di kursi depan elf. Tidak seperti perjalanan biasanya yang membuatku mudah memejamkan mata apapun moda transportasinya. Jalan berliku yang kami lalui rasanya seperti tak berujung.
Pukul 02.00 dini hari. Kerlip kehidupan Paltuding melegakan perjalanan. Informasi simpang siur tentang status Gunung Ijen beberapa hari terakhir sempat meresahkan kami. Beruntung karena pendakian malam ini adalah pertama kalinya dibuka setelah beberapa waktu ditutup. Summit attack hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan dengan jalur yang cukup lebar. Logistik dan jaket tebal wajib hukumnya untuk bekal mendaki karena hawa dingin sudah sangat menusuk ketika sampai di Pos Paltuding.