Mohon tunggu...
Endah Lestariati
Endah Lestariati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang banci kolam [renang] yang sedang butuh vitamin K; Kamuuuuuuuuuu

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pendakian Rinjani, Sebuah Perjalanan Hati [Eps. Sembalun Lawang-Tujuh Bukit Penyesalan-Plawangan Sembalun]

20 Juni 2012   14:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:44 1821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gunung Barujari, Gunung Rinjani National Park



Ketika ibu-ibu PKK rempong mendominasi squad kami mendaki gunung setinggi 3726 mdpl, terasa diambang frustasi; 9 orang dengan formasi 7 wanita dan 2 lelaki.

Ketika berbagai rasa cemas berkecamuk, terhimpit ketakutan, hawa dingin mendera, tertempa lelah luar biasa, medan panjang dan berat masih saja tak henti menghampar di depan mata, mengesampingkan segala kesempitan itu, hanya kepada Allah SWT meminta kekuatan lebih dan lebih dari biasanya.



Berawal dari Juanda Airport 11 Mei 2012

Belum genap pukul 17.00 saya turun dari Damri angkutan khusus menuju bandara, celingak-celinguk mencari sosok Adinda yang jauh-jauh datang dari Medan, menumpang pesawat Medan-Surabaya, untuk selanjutnya bersama saya mengarung udara dalam satu nomer penerbangan IW 1874 menuju Mataram. Sedikit berbangga hati dan cukup membuat penumpang lain menatap iri karena saya memegang tiket penerbangan promo untuk Surabaya-Mataram seharga 273.400 IDR.



Memasuki ruang check in, kami diantar Mega dan Andrian, dua orang teman yang bersedia menjadi team dadah, mengantar kami hingga pintu waiting room. Saya sedikit ternganga menjumpai akal bulus Mega yang sudah prepare mem-booking tiket pesawat abal-abal sebelumnya supaya lolos melewati pintu check in,  sampai akhirnya kami berpisah ketika mbak-mbak customer service mengumumkan penerbangan kami segera boarding.



Penerbangan yang lancar, take off yang halus, gemerlap view lampu dari atas sana yang indah, landing pesawat yang sempurna, dan voila! Saya menjejakkan kaki di Bandara International Lombok, Praya, West Nusa Tenggara!



BIL 21.00 WITA

Saya dan Adin menanti rombongan pendaki team lain dari Jakarta, team-nya Mas Tege yang sudah janjian akan memungut kami berdua keluar dari kawasan bandara, mengingat kawasan ini konon sedikit rawan anarki. Sampai lewat tengah malam ketika rombongan dua mobil carteran berjubel ini meninggalkan kawasan BIL. Masing-masing penumpang membayar sewa mobil 25.000 IDR untuk perjalanan BIL-Mataram dengan servis dianter sampai lokasi penginapan.



Dari sejak landing tadi saya sudah mencoba mengontak Adhi, Hamzah dan Achi, personel team pendakian kami nantinya yang konon sudah sampai Mataram sejak siang tadi via jalur darat. Namun karena mereka sulit dihubungi, saya dan Adin memutuskan bergabung menginap dengan team Mas Tege. Saya men-skip perasaan was-was, menggantinya dengan asumsi bahwa ketiganya terlalu lelap beristirahat setelah hampir dua hari perjalanan darat dari Jakarta dan Jogja. Saya rasa tidak akan terlalu mempet menyusun koordinasi pendakian esok hari mengingat Lia, Nina, Dian dan mbak Indri -personel team kami yang lain- belum tiba di TKP, giliran flight mereka mencapai Mataram masih besok pagi.



12 Mei 2012, Wisma Nusantara I, Jl R. Suprapto Mataram.

Saya hanya membayar 22.000 IDR untuk sekedar merebahkan diri di wisma sederhana ini, dan entah karena kebaikan hati pengelola atau karena kesaktian team Mas Tege melobi pihak penginapan, saya dan Adin diperbolehkan tinggal hari ini hingga jam berapa pun sampai team kami terkumpul dan berangkat menuju RIC (Rinjani Information Centre) Sembalun. Kebutuhan sarapan pagi pun tidak perlu dikhawatirkan, karena akan ada beberapa penjaja nasi bungkus yang rajin mampir wisma menawarkan dagangannya dengan harga yang murah meriah.



Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 WITA. Team Mas Tege sudah siap berangkat menuju Sembalun, sementara team saya masih kelabakan harus ngapain terlebih karena Adhi, Hamzah dan Achi masih saja sulit dihubungi.  Kekhawatiran saya sudah cukup memuncak dengan berbagai asumsi yang berkecamuk di kepala.



Mendekati pukul 09.00 WITA Hamzah berhasil memberi kabar kepada kami tentang keberadaan mereka ngelencer selama semalam  di kawasan Gili Trawangan dan sudah bersiap kembali menyeberang menuju Lombok. Antara lega dan pengen kunyel-kunyel ketiganya karena sudah sukses membuat kepanikan sejagad pendakian Rinjani hingga dunia maya.



Selanjutnya saya dan Adin masih saja menumpang rombongan Mas Tege yang berangkat menuju Sembalun, minta diturunkan di Pasar Dasan Agung untuk keperluan berbelanja logistik selama pendakian nanti. Di sini, kami berpisah dengan team Mas Tege, berjanji akan ketemu lagi nanti di jalur pendakian. Sedikit agak dangdut, tapi memang begitulah adanya teman sesama pendaki.



Lia, Nina, Dian dan Mbak Indri tiba di Wisma Nusantara I membawa mobil carteran dari bandara, mobil ini yang sekalian mau disewa menuju Sembalun, dengan tarif 300 ribu/mobil untuk Mataram-Sembalun. Hari sudah menjelang siang ketika team kami sudah komplit. Setelah menjamak qhosor dhuhur dan ashar, kami berangkat menuju Sembalun Lawang. Perjalanan dari Kota Mataram menuju Sembalun melewati jalan aspal berliku, hutan, dan beberapa spot view laut dengan Gili Trawangan di kejauhan yang memanjakan mata.


13404644211601254347
13404644211601254347
welcome to Sembalun Lawang



View pegunungan dengan dominasi vegetasi savana seakan memberi ucapan selamat datang kepada kami ketika memasuki Posko Rinjani Information Center (RIC) Sembalun. Entry ticket seharga 10000 IDR per pendaki dan setoran fotocopy KTP untuk keperluan administrasi kami selesaikan sore itu. Hari sudah menjelang petang, kami memutuskan untuk bermalam di Desa Sembalun Lawang dengan menyewa bangunan homestay yang dikelola oleh pihak RIC Sembalun. Setidaknya beristirahat semalam di dalam bangunan permanen layak huni ini sukses menghalau hembusan angn dan hawa dingin serta cukup menyimpan energi untuk persiapan pendakian esok. Kami mem-packing ulang property pendakian dan berkoordinasi dengan dua orang porter, Pak Yus dan Pak Zaenal, yang akan menemani kami selama pendakian. Sewa porter dihargai 125.000 IDR per hari dengan kesepakatan berat maksimal 23 kg. Harga ini sudah termasuk servis memasakan makanan bagi pendaki. Sementara logistik dan rokok untuk porter sepenuhnya ditanggung penyewa, diluar harga tersebut.



1340464856774040492
1340464856774040492
awal pendakian



Ahad, 13 Mei 2012

Hari masih gelap ketika saya dan team memulai pendakian. Kami berjalan kaki melalui jalan aspal lebar yang sebenarnya masih mampu dilalui kendaraan, melewati ladang dan kebun penduduk. Jalur ini mampu membuat kami nyasar beberapa kali karena berorientasi pada arah puncak yang ternyata cukup menipu. Beruntung karena rombongan di belakang bersama para porter mengingatkan kami untuk kembali pada jalur yang benar. Dari perkebunan penduduk jalur mulai bertransisi dengan trek padang savana. Dari RIC menuju pos I terasa cukup jauh, kami membutuhkan waktu hampir 4 jam perjalanan termasuk trek nyasar sebelumnya. Pos I menuju Pos II setidaknya membutuhkan waktu perjalanan 1,5 jam. Jalur masih melulu padang savana tak jemu-jemu, berliku, kontur jalan setapak yang naik turun, dan beberapa kali harus menyeberang jalur lahar dingin.



1340465333115359013
1340465333115359013
savana sembalun



Pos II Tangengean menjadi tempat kami beristirahat agak lama, terlebih karena kondisi Achi cukup lemah oleh penyakit maagnya yang kambuh. Selesai makan siang yang disiapkan porter, kami melanjutkan perjalanan menuju pos III.



13404665951199423520
13404665951199423520
the team-minus saya





Adalah Pos Bayangan yang berada ± 30 meter sebelum Pos III, menjadi tempat kami menunaikan sholat. Di sini kami mulai akrab dengan beberapa team tetangga. Ada team Haekal dari Jakarta dan team-nya Pak Djoko dari Petrokimia Gresik.


13404657871532856922
13404657871532856922
jalur tujuh bukit penyesalan



Pos III biasa menjadi area camping transit para pendaki, tetapi berdasarkan pertimbangan waktu yang masih mencukupi, maka kami melanjutkan pendakian ini dengan titik destinasi berikutnya adalah Plawangan Sembalun. Tanjakan demi tanjakan selepas Pos III ini nyiksanya bener-bener nggak santai. Konon kabarnya jalur yang dinamakan tujuh bukit penyesalan ini setara dengan seratus kali Tanjakan Cinta di atas Ranu Kumbolo, jalur pendakian Semeru (survey kurang ilmiah). Setiap kali selesai mendaki satu bukit, akan ada bukit lain yang menanti didaki lebih tinggi seperti nggak ada habisnya. Sementara tenaga semakin terkuras. Hujan dan hawa dingin melanda. Tak terasa squad kami terpisah-pisah. Adhi (dengan double keril, selain keril 70 liternya dia masih bawa keril 32 liternya Achi), Dian, mbak Indri dan Lia berada di barisan depan. Saya konstan jalan bareng Adinda di tengah. Sisanya tiga orang di belakang menjadi team sapu bersih kami, ada Hamzah, Achi dan Nina. Sesekali saya dan Adin masih bisa menyusul Dian dkk, sempat bertemu lagi dengan rombongan Haekal dan merasa berhutang budi karena hibahan air tawar panas team mereka memberi asupan energi baru di antara medan berat yang harus kami lalui. Ketika hari mulai gelap dan masih saja terlunta-lunta diantara punggung-punggung bukit, tiba-tiba saya dan Adin serasa ditemukan oleh sesosok mulekat, seorang mas-mas yang tampak sakti di mata saya karena naik gunung dengan medan begini memakai sandal jepit. Saya yang bersepatu trekking saja terseok-seok. Si mas Mulekat Sendal Jepitsepertinya jatuh iba dan menggugah niatnya secara suka rela untuk mem-back up kami sampai puncak Plawangan Sembalun. Sesampai Plawangan dia seperti hilang ditelan bumi, saya pun kehilangan jejaknya. (padahal belum tukeran ID. #ditoyor)


Plawangan Sembalun, lepas Maghrib.

“Diaaaaaannn….!!! Adhiiiiiiii…..”

Saya mencoba berteriak sesampai di Plawangan Sembalun, mencoba mengidentifikasi di mana team saya yang sudah sampai terlebih dahulu membuka lapak tenda, cara primitive yang bisa saya lakukan karena ponsel jelas sudah tidak bias diharapkan kesaktiannya. Saya menuai sahutan balasan dari Mbak Indri. Itu pun ternyata mbak Indri sedang terdampar di tenda kelompok Pak Djoko. Hypothermia, frustasi dan entah tekanan mental jenis apa lagi yang saya sendiri ogah menganalisa lebih dalam kala itu, karena penyakit serupa juga melanda diri saya. Selanjutnya saya pun tersangkut di tenda kelompok Mas Tege. Ketika team sapu bersih saya mencapai bumi Plawangan pun mereka makmum terimbas nyangkut sejenak melepas frustasi. Hanya Hamzah yang kekeuh mencoba melanjutkan perjalanan mencari tenda adhi dkk. Saya nggak seberapa tega melihat Hamzah dengan ingus yang sudah meler membentuk angka sebelas di bawah lubang hidungnya, mata nanar yang melukiskan capek luar biasa setelah menggendong dua keril karena Nina yang nge-drop oleh hypothermia dan secara otomatis menjadikan Hamzah sebagai tumbal.


Team kami benar-benar berkumpul setelah Dian muncul dipandu Haekal menjemput kami. Mas Tege membantu menjemput Mbak Indri dari binaan tenda Pak Djoko. Dari tenda Mas Tege menuju tenda kami berdiri masih berjarak dua bukit. Memang tidak separah medan tujuh bukit penyesalan, tapi tetap saja rasanya meluluhlantakkan mental kami mendengar realita ini. Terlepas dari semua rasa terhimpit ini, bisa berkumpul kembali dalam keadaan sehat adalah rasa syukur yang lebih dari apapun.


Di ketinggian hampir 3000 mdpl itu, hawa dingin malam terasa semakin menusuk. Hamzah, tanpa sleeping bag, meringkuk jauh dari tingkat kenyamanan. Berbagai posisi untuk menghalau dingin sudah di-pose-kan. Sleeping bag-nya basah oleh air hujan sepanjang perjalanan Sembalun Lawang hingga Plawangan Sembalun. Sekitar pukul 01.00 dini hari saya terbangun dan menjumpai Hamzah dengan kondisi yang semakin gemetar memprihatinkan menahan dingin menusuk tulang. Saya benar-benar nggak tega melihatnya kedinginan, saya paksa Hamzah menerima sleeping bag saya, sementara kaki saya yang selapis terbungkus celana panjang saya balut dengan baju-baju bersih dan mukena. Lalu saya minta Dian di sebelah saya untuk menindih kaki saya supaya berada di bawah tubuhnya yang bergelung sleeping bag hangat. Saya tidur memeluk dian, mencari kehangatan.



14 Mei 2012

Pagi yang berkabut. Dan gerimis awet yang sepertinya mengandung formalin. Berharap pagi ini bisa memandang danau segara anak dari kawasan bumi Plawangan ini, tetapi view di pelupuk mata tetap putih-abu-abu yang mendominasi, membuat saya memilih tetap melungker di dalam tenda. Monyet-monyet berkeliaran di sekeliling perkemahan, begitu bandelnya sampai-sampai berani mencuri makanan atau barang lain di luar tenda. Ada ajakan team Haekal untuk muncak pagi ini. Matahari sudah mulai tinggi tapi kami meng-iyakannya mengingat squad team yang didominasi ibu-ibu pkk. Tentu saja ajakan Haekal terdengar seperti tawaran mem-back up kami secara sukarela. Setelah sarapan dan acara prepare yang entah kenapa nggak kunjung selesai, sukses bikin team Haekal bosan menunggu, team kami bersembilan plus 3 orang team Haekal berangkat summit. Jam tangan saya sudah menunjukkan angka di atas jam 10 pagi. Cuaca masih dingin. Kabut dan mendung silih berganti, sedikit matahari yang terkadang menyapa.

13404661661139609298
13404661661139609298
Plawangan Sembalun, menuju puncak

Ketika bukit pertama berhasil kami lalui, Achi sudah mulai menyerah, maagnya kambuh lagi. Hamzah turun untuk mengantar Achi sampai di tenda. Adalah jaket saya yang terbawa turun oleh Hamzah, sedikit membuat saya khawatir di tengah cuaca seperti ini, hanya berbalut T-shirt, tanpa jaket dan tanpa raincoat.

13404665951199423520
13404665951199423520
the team-minus saya

Kami bertujuh melanjutkan perjalanan muncak plus Arsyan dan Bayu (teamnya Haekal). Sementara Haekal sudah jauh di depan sana, (sekali lagi) bertemu rombongan Pak Djoko yang sebelumnya ‘soulmate’ sama mbak Indri.

Jalan yang kami lalui berupa medan pasir yang siap menurunkan tubuh setiap kali melangkah. Hujan, kabut dan angin makin menerpa kami. Satu orang anggota menyerah untuk kembali ke tenda. Posisi saya kebetulan di depan, tidak tahu menahu tentang kemelut apa yang terjadi di belakang. Nggak begitu ngerti ketika Adin memutuskan menyerah dan turun diantar Dian. Saya masih terus berusaha menggapai puncak meski paham benar titik 3726 mdpl itu hanya akan menyisakan view kabut. Lalu Bayu dan Arsyan juga memutuskan untuk turun. Kegalauan pun semakin melanda, karena squad yang kami harapkan membantu mem-back up justru memutuskan turun. Hujan dan angin masih saja datang bersamaan. Sekali dua awan putih dan langit biru tersibak, tetapi hanya dalam hitungan detik sudah menghilang. Kami sudah beberapa puluh meter lebih tinggi dari titik dimana Adin memutuskan turun, saat mbak Indri memanggil saya untuk berbalik. (fyi, ketika kita naik gunung, dan posisi kita sudah sedikit lebih tinggi dari pada temen kita, lalu diminta kembali, perjuangan yang selangkah-dua langkah itu rasanya berhargaaaaa sekali). Dan opsi yang saya khawatirkan pun terlahir, Mbak IIndri mengajak kami untuk kembali karena kondisi cuaca yang sepertinya semakin tidak bersahabat untuk melakukan pendakian. Sedih rasanya dengan pengorbanan baju basah kuyup ini, semangat muncak masih penuh, tenaga masih cukup kuat untuk mendaki. Ingin rasanya bilang tidak. Tapi saya cukup paham dengan apa yang dinamakan keputusan bersama.

13404666841733488118
13404666841733488118
menuju puncak


Hamzah tiba-tiba sudah muncul menyusul kami. Saya merasa seperti mendapat secercah harapan. Sekali lagi team kami harus terpisah. Saya diantar Hamzah mencoba melanjutkan pendakian setelah logistik dibagi dua, sementara sisanya memutuskan untuk turun. Sepeninggal teman-teman, badai masih saja tak kunjung menghilang.



Kami sudah sampai di trek batu-batu hitam kecil setelah trek pasir yang panjang. Bongkah-bongkah batu besar berserakan di beberapa titik. Sempat dua kali puncak sang Dewi Anjani tampak tersibak di depan mata beberapa detik, lalu kembali kabut merenggutnya dari pandangan. Beberapa kali kami harus berbalik langkah, kembali untuk berlindung di balik batu besar menghindari amukan badai. Sampai di saat terakhir kami berteduh, Hamzah sudah menggigil kedinginan. Dan saya cukup tau diri untuk menyudahi ambisi muncak, memutuskan untuk turun kali ini, meninggalkan angka tiga tujuh dua enam yang belum sempat teraih. Kami turun sembari bermain perosotan di antara jalur berpasir, saya masih terus menangis, melepas mimpi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun