Bagian Satu. Ibu Menteri Kesehatan Yth. Mohon maaf menjadikan plungguh model menuju uraian latar belakang terkait sambungan judul diatas "Sabar itu Punya Batas kan?" karena plungguh lah pigur public yang terkait banget gitu loh untuk mengawali antisipasi public memiliki kesan, bahwa ada sesuatu yang janggal yang semoga saja bisa menarik minat baca. Maklumlah. Semoga menjadi inspirasi, bahwa ya bahwa. InsyaAllah akan diuraikan. Pelan-pelan gih.Â
1,5 tahun sudah di Lombok Timur Nusa Tenggara Barat ada sebuah adicita besar seorang pemimpin Dinas Kesehatan yang ingin mencerdaskan masyarakat tentu sesuai tupoksinya. 1,5 tahun sudah Adicita itu dituangkan dalam bentuk sebuah program yang jika dikaji berdasarkan undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. (Browsing sendiri guys) akan sangat menyentuh. Â
Diakuli pula oleh Yth. dokter Kurnia Akmal pada tahap awal rapat teknis dan pembentukan Adicita itu. Saat itu para tim yang baik hati berharap itu dan bla..bla..bla..Semangat banget deh pokoknya. Â Apalagi saya yang saat itu masih terlibat, mungkin masuk dalam kategori Peran Serta Masyarakat (PSM). Diperankan, Alhamdulillah, karenanya maka muncullah pemberotakan melawan kesan Ardi Ibrahim terkait konsep program kesehatan.
"Kesehatan seolah-olah Berharap Orang Sakit"
"Kok?. Kan ada Promosi Kesehatan?"
"Mana?
"Diam!.
Namun, masih di awal pula dalam hitungan sekitar 1,5 tahun yang lalu, maka kalimat "Sabar itu Punya Batas kan?" terpatri karena tiba-tiba di awal perjalanan merintis misi dari Buletin Kesehatan ini mendapat gejala tidak baik.
Muncul terbaca dalam kajian simulasi factor majas "Bisnis di Wajah Dinas" mungkin sampai sekarang atau munkin saja dalam sebuah penulusuran karena di Dinas termaksud ada gejala yang terkait banget dengan gejolak Nasional "Pasutri Dilarang Satu Kantor". Â
Syuut....!!! Inikan problem pribadi, jangan di publish dong. Entar melanggar UU ITE lo. Di tuntut, di penjara. Bahaya lo?. Haha. Sepicik itukah UU ITE?. Semua yakin tidak. UU ITE itu mulia kan?. Â Bahkan sangat mendukung orang dipenjara jika itu perbuatannya merugikan public. Tapi bukan bahasan. Sederhana aja dah. Langsung ke bahasan.
1,5 tahun sudah. Waktu yang singkat, namun karena mungkin Saya orang yang berbeda atau entahlah, maka untuk dan atas nama harapan publik, maka Model Figur publik dalam tulisan ini seharusnya bukan cuman Kemenkes. Tetapi juga BKN, BPK, dan KPK. Menyebut BKN, BPK, dan KPK sudah jelas pasti ada yang bergosip suka, bahkan duka di balik rangkain tulisan bersambung ini. Mirip gosip / fitnah PNS Pengangguran, bisa juga karena ibarat Bisnis di wajah Dinas. Â
Tapi bisa ia, bisa tidak. Simak saja, semoga bisa menjadi referensi untuk tupoksi terkait. Tujuannya mulia kok. Rakyat Cerdas, Anda Waspada. Lagian pula saya mengingat itu karena karena dibalik model-model yang terhormat. Yang paling menyakitkan adalah dengan alasan KPK, BKN dan sebagainya inovasi jadi terhambat. Engak mungkin kan? Karena seyakinnya Lembaga mulia itu tujuannya bukan untuk mengekang inovasi.
Gambarannya tentu juga terkait  erat  dengan undang-undang 1945 bab VIII A yang membahas badan pemeriksa keuangan, undang-undang  nomor 30 tahun 2002, dan Undang-Undang nomor 5 tahun 2014. Lalu kemudian,  apa kaitannya dengan Bulletin Kesehatan, PSM  atau Peran Serta Masyarakat dan Sabar itu punya batas ???
Ya. Sekilas ini khusus soal Bulletin Kesehatan dalam hal ini Media Informasi dan Promosi Kesehatan. Tidak ada yang lain. Yang lain bagus semua. Â Ini hanya soal pengalaman mendampingi masyarakat yang buta terkait informasi kesehatan, Apatismenya oknum staf terkait Undang-undang nomor 14 tahun 2008. Fakta perintisnya yang selalu dipersulit, jelas karena provokasi Staf Tukang Gosip. Serta harapan pimpinan dan hasil karya Jurnalisme yang terbaca dianggap sampah oleh oknum staf.
Tidak semua staf sih, segelintir saja. Dan merekalah yang ada kaitannya/menjadi (harapan) refrensi KPK, BPK, BKN dan pasal 8 UU No. 28 Tahun 1999. KPK sih jauh, karena 3 tahun yang lalu (Sebelum di Dikes) Â saya mendapat kode tiket. Bahwa KPK memberikan edukasi untuk ini, itu, dan bla...bla...bla...
Singkatnya KPK yang mulia berterima kasih serta menyampaikan beragam saran atas peran serta masyarakat. Bacaan Saya, Â KPK masih istiqomah untuk meminimalisir dosa atau menyelamatkan Abdi Negara dari orientasi "Datang, Duduk, Begosip, Terima Gaji, Bahas Anggaran, Jalankan RKA, Terima Fee, Laporan Fiktif, Rakyat Tau apa". Â
Dan melalui tulisan bersambung ini, semoga bisa melahirkan kebijakan, bahwa dalam urusan keuangan, administrasi, serta unqualified opinion, qualified opinion, adversed opinion dan disclaimer of opinion, jangan semuanya disalahkan atau dibebankan kepada pimpinan. Butuh sebuah kebijakan baru untuk revolusi mental yang tidak memberikan kesempatan Staf menggali jebakan untuk pimpinan atau Kepala Dinas.
Ya. Harus dipahami bahwa dibalik adanya kepala dinas yang sama-sama digaji bersama staf. Banyak staf yang kurang ajar. Banyak staf / karyawan dinas yang lahir karena suap, bukan karena kompetisi, kompetensi atau yang dibutuhkan oleh negara. Banyak staf yang diterima bekerja karena bahasa membayar kesempatan, 10 juta, 20 juta bahkan tau sendiri kan BKD mengeluarkan pengumuman itu. Entahlah.
Banyak staf yang bekerja hanya karena ingin dilihat menggunakan seragam dinas. Hingga pernah ada cerita, sebegitu banyaknya petugas, sayangnya sang petugas bingung  nelpon sana-sini, mungkin ditinggal oleh...hahaha.  Pekerjaan siapa tuh?  Akibatnya, Kepala Dinas yang cerdas pun bisa jadi buntu (bloon) seketika dengan kualitas SDM-nya. Kasian kan. Tapi sudah diperbaiki, tapi sedikit melahirkan kebencian dan gosip. Ikhlaskan saja. "Dibenci Staf, Disayang Rakyat" (Akan dibahas di lain kesempatan).
Lalu kemudian agar tulisan ini tidak ngelantur, kesana kemari, maka mari fokus sama terkait judul bersama pengalaman 1, 5 tahun menghadapi keapatisan. Ya. Hanya itu bahasannya, bukan yang lain. Karena yang lain sudah cukup bagus. Puskesmas sangat bagus. Seksi lain sangat Bagus, semuanya bagus. Tapi sayang malah sesuatu yang dinamakan bagus yang malah kurang bagus.
1, 5 tahun sudah. Media yang menurut dr. Kurnia Akmal (Baca di edisi Januari). Sayangnya tak ada perubahan. Jauh dari harapan ketua KNPI itu. Jauh dari harapan Seksi PL yang selalu berdoa konsistensinya. Ya. Semakin menyakitkan. Semakin diapatiskan. Entah apa sebabnya, praduga sementara, mungkin karena "Cemburu di Wajah Dinas". Cemburu yang tidak mengenal karakter, HAM dan potret latar dibalik photo dibawah ini.
1,5 tahun sudah, dibalik fakta adanya program BPKMMTM itu membuat ingatan terkait perjuangan seorang suami, 3 hari 4 malam tak ada biaya makan, menunggu istri di rumah sakit. Terpaksa jongkok di depan satpam memohon sebuah surat yang sudah di tandatangani Kepala Dinas, Namun faktor pembodohan karena apatisme informasi, Saya yang menolongnya pun harus mengemis kesana kemari.
Alhamdulilllah, Allah mengirim Kepala Puskesmas Selong, Mq. Ican baik hati berdonasi Rp. 50.000, Kepala Bidang Hub Antar Lembaga, H.R. Pandu Rp. 50.000 dan rizki yang menempel di saku ini, tercatat untuk mendampinginya sampai KTP mahluk asal Terara itu pun digadai untuk melepas penat selama di Rumah Sakit. Pulang.
Ya. Sangat kasian bidan dan petugas yang ada disana. Karena relawan informasi untuk memudahkan proses juga masih buta  informasi terkait program-program kesehatan itu. Bidan tidak salah, Petugas rumah sakit tidak salah. Karena ada petugas yang di tugaskan dan masih apatis terkait informasi dan penyuluhan yang masih hanya mengharapkan tanda tangan kedatangan plus uang jalan ke sebuah tempat mewah.
Informasi Kesehatan. Dan segala pengalaman sampai bagaimana kisah lucu birokrasi rumit dalam jenjang pembiayaan kesehatan sesuai mandat UU Nomor 36 tahun 2009. Â Namun, tentu tak semua paham soal ini. Makanya refrensi / inspirasi/ dakwah atau apapun sebutannya (ini) akan bercerita pelan-pelan.
Terkait kesan Anda. Terserah, tidak ada anggaran untuk membahas kesan Anda. Pembahasan soal ini tidak ada dalam DPA, RKA, atau yang sering disebut oleh alasan seorang PNS yang menakut-nakuti relawan peran serta masyarakat (PSM) bahkan sampai menjadi honorer (PPPK) dengan bahasa-bahasa pengecut.
Intinya adalah sebagian kecil dari cerita-cerita diatas adalah bagian dari alasan untuk tetap bertahan, walau sakit di kandung dada. Mungkin sampai relawan informasi kesehatan pelan-pelan terpanggil demi mereka yang buta informasi dan teraniaya. Entah sampai kapan. Yang paling jelas mungkin ketika orang-orang seperti Asrul Sani, "tak ada lagi", di sana. Tapi semoga pengantinya memiliki kepedulian yang sama. Khusus terkait informasi. Khusus terkait HAM Komunitas saya (Bersambung).
NOTE.
1. Agar semoga tetap dapat pahala sabar, (hehe) maka judul diatas bukan merupakan ujaran kebencian, melainkan sebagai bentuk perjuangan yang semoga menjadi inspirasi perjuangan baru, bagi siapapun dan dimanapun (publik) bahwa merintis itu butuh sabar dan motivasi.
2. Bahasa yang menyebut instansi mulia BPK, KPK, dan lembaga berpahala BKN dan terkait Informasi Kesehatan, dalam ulasan ini karena yang menyampaikan tulisan ini adalah alibi yang diperbodoh mendapatkan kesan bahwa KPK, BPK, BKN itu adalah instansi yang memenjarakan inovasi (apa artinya program Nakes Teladan???) karena pula Penulis adalah seekor mahluk bernama Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang berusaha keras, fokus terkait Informasi kesehatan (saja), Karena dulu sampai sekarang selalu bodoh. Â Rakyat Cerdas, Anda Waspada. Kajiannya, bersambung-kan?
3. Doa, semoga menjadi refrensi bagaimana semangat (baca juga : Fasilitas) Honorer jangan sampai musnah gara-gara terdidik budaya ........ Karena zaman ini, zaman undang-undang ASN gays... Jangan hanya paksa PPPK bekerja. Apalagi memperbodoh dengan alasan Anda lebih pengalaman dan sudah capek. Kan Anda digaji. Siapa tau aja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H