“Kalau g’ bisa merebut hatimu, minimal nafsumu, say..,” kembali ia meraba, kali ini langsung ke paha.
Kini aku terdiam. Posisinya yang memang sedang tiduran di pangkuan dalam keadaan sedih, membuat diri ini tak bisa memberontak. Aku diam melawan hasrat, antara nafsu dan perasaan. Antara nurani dan naluri, bercampuk aduk menjadi gelora yang terasa diundang.
Memikirkan itu, tak sadar bahwa kini Fitri sudah mencari resleting celana dan sontak membuat jantung ini berdebar. Nekad benar cewek ini. Apa ini sudah menjadi kebiasaannya, benakku.
Sembari tak bisa melawan birahi yang tiba-tiba naik dratis. Dengan cerdas fitri merebahkan kursi mobil itu menjadi lebih datar dan tak sadar Aku tidur dibuatnya. Kini Fitri naik ke pinggangku sambil menatapku tajam memancing. Perlahan, bajunya dibuka yang membuatku lama menutup mata.
“Buka matanya, dong say,…”rintihnya.
Berpura-pura tak ingin membuka mata. Dia terus menggoda. Tak tau sudah sampai mana dia telanjang. Jangankan telanjang, melihat tubuh seksinya saja, birahiku merasa terpancing.
“Ini tidak boleh terjadi, bantu Aku wahai yang mencipatakan Nafsu,” doaku.
Aku semakin terkejut ketika bibir lembutnya mengucup bibirku dan langsung ke mataku yang spontan dibuka oleh mulutnya. Belum sempat melihat tubuhnya yang kini hanya dibalut bungkusan khusus perempuan, tiba-tiba pintu mobil itu di gedor.
Kami sontak kaget, secepat kilat, Fitri menggunakan kembali pakainnya. Dari balik kaca, tiga orang pemuda sedang mengintip apa yang terjadi. Jantung ini terasa berhenti berdetak. Kami terdiam. Semakin keras pintu itu digedor bahkan kini digoyang-goyangkan.
“Gemana ni fit, ujarku.
“Buka saja lah pintunya, ntar semakin banyak yang datang,”pintanya.