Sampai akhirnya, kebebasan yang diterimanya ketika mulai mengenal hidup dimaknai tanpa batasan hingga kebablasan. Disisi yang sama Paradoks kegetiran telah tercermin nyata pada degradasi moral dan respons pemangku pendidikan terhadap siswi dan siswa nakal. Lebih ironis lagi, kok pemecatan menjadi solusi?.
Dengan dalih kebebasan, siapa yang akan disalahkan jika siswi yang pernah kita didik sebagai syarat sebab kita bisa makan, suatu saat berlomba-lomba membebaskan diri dari pakaian mereka dan mengeksplor setiap bagian tubuhnya pada khalayak. Maka apakah kita akan apatis dan enggan tau atas nama emansipasi, kita ikhlas melihat mereka berekspresi menjadi realisator unggul pengobralan kehormatan kaum Ibu kita.
Siapa yang akan disalahkan dan berdosa jika mereka dengan percaya diri, suatu saat hanya menggunakan secarik kain, berjalan mondar mandir dengan bangga meliuk-liuk di atas catwalk dan merelakan dirinya dinikmati khayalan lelaki.
Apakah kita akan tetap apatis, cuek tidak mau tau dan tidak ingin membina satu saja, dua saja, tiga saja kelompok mereka generasi syarat sebab sertifikasi itu untuk bisa tidak secara terang-terangan dan rahasia karena tak punya skill menjadi budak nafsu ketika mereka terpaksa melakukan itu. Dengan bangga kita akan sedikit malu mengatakan bahwa Saya pernah menjadi wali kelasnya.
Karena bagaimanapun juga, kriminalitas berupa eksploitasi perempuan kini menjamur di negeri
ini. Lihatlah di berbagai alat dan media, dari video clip, film, olahraga, novel, bahkan sampai iklan dongkrak mobil untuk sebuah pencitraan, kesannya, jika tak ada perempuan maka tidak afdhol jika tidak menampilkan sosok kaum hawa sebagai icon-nya dan semoga itu bukan siswi yang pernah kita bina.
Ichsantiarini Aravinda Pravita menyebutkan beberapa fakta terkait bagimanamana sebab dan akibat dari miskonsepsi Emansipasi. Digambarkannya, dalam menarik dari ajang FFI (Festifal Film Indonesia) yang digelar pada tahun 2006. Cukup lama tapi tapi tak kunjung menjadi pelajaran.
Diungkapkan oleh dewan juri bahwa 85% film cerita lepas yang masuk seleksi, sekitar 162 judul film, semuanya bertajuk eksploitasi perempuan dalam beragam bentuk, dari tindak kekerasan hingga obral kecantikan. “Mirisnya, lagi-lagi pledoi justru kembali hadir dari perempuan itu sendiri,” ketusnya. Selain itu masih terngiang pula betapa alotnya kontroversi terkait pengesahan RUU APP (Antipornoaksi dan Pornografi).
Mayoritas animo kontranya pun perempuan. Alasannya selalu sama, atas nama emansipasi, hak mengekspresikan diri, kebebasan untuk berkarya, dan pamungkasnya, semua itu disebut bagian dari seni. Pertanyaannya, Seni macam apa yang dimaksud? Apakah Seni pelecehan martabat perempuan oleh perempuan?, tanyanya.
Nasib Bangsa ini adalah nasib dari potret para penghuninya sendiri. Kita adalah penghuninya dan Saya bukan perempuan, bukan pula guru yang terdaftar memiliki NUPTK, namun karena perempuan adalah Ibu saya, Anak Saya, Nenek Saya, Guru-guru saya maka semoga suatu saat nanti bisa lahir perempuan yang sadar untuk saling membina, bukan saling menghina.
Perempuan yang menyadari bahwa keindahan tubuh kaumnnya membuat Internet Pornography Statistic, menempatkan Indonesia mulanya ada pada peringkat ketujuh dunia sebagai negara pengakses pornoografi terbesar. Kondisi ini kemudian terus meningkat menjadi peringkat kelima pada tahun 2007 dan pada akhirnya meraih peringkat ketiga pada tahun 2009, entah lah tahun ini?.
Siswiku, izinkan Saya memanggil demikian, meskipun Saya bukan mengisi raportmu, bukan mengisi jadwal mata pelajaranmu yang banyak meninggalkan pendidikan karakter, skill dan hanya sebatas mengisi tuntutan kurikulum, tugas dan apapun namanya. Cobalah mandiri mengembangkan diri, meskipun keapatisan bernyanyi di sekelilingmu.