Mohon tunggu...
SURAT TERBUKA
SURAT TERBUKA Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pingin Masuk Syurga Bi Ghoiri Hisab

Mencari Doa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel Saciko 4 : Bayi Berdarah & Miras

27 Desember 2015   08:51 Diperbarui: 30 Maret 2016   18:39 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

**** 

Bersama rasa penasaran setinggi gunung Rinjani. Pikiran ini berkecamuk kembali. Ada apa dengan situasi akhir-akhir ini. Semuanya benar-benar menyita waktu. Mungkinkah ini awal dari usia yang mulai Dewasa. Bertemu masalah bertubi-tubi, hanya dengan mengingat Allah hati ini menjadi tenang.

“Astagfirullahaladzim,” desah nafasku, tapi tak sadar suara itu begitu besar yang membuat Ibu Sachiko menoleh dan melemparkan senyum seksinya.

“Maaf ya nak, lama sekali g’ menyapa,”

“G’ pa-pa bu, oya bu, tinggal berapa lama sih nyampai tujuan?, tanyaku tak ingin bertanya lagi terkait profesi kedua orangtua Sachiko. Takut mis lagi.

“Sebentar lagi sampai kok nak,”

“Trus kapan balik ke Lotim?

“Ntar malam, ntar ta telponkan ortunya oke,” jawabnya.

Kami sudah sampai Lombok Barat. Tepatnya di kecamatan Narmada. Kami belok kanan, tidak lagi berjalan di jalan ramai jalan provinsi. Kami menulusi jalan desa yang indah, namun tak seindah suasan hati ini meskipun duduk dengan wajah Indah mirip  Sachiko.

Masih asing dengan situasi disana meski tak asing lagi dengan Ibunya Sachiko. Mobil berhenti tepat di rumah yang cukup luas. Ibu Sachiko keluar dari Mobil dan membuka gerbang rumah yang terlihat tidak terawat tapi asri ditumbuhi banyak pohon-pohon.

Aku diminta diam di mobil. Sambil mengamati suasana dari luar Bu Sachiko terlihat masuk lagi dan langsung mengarahkan mobil ke garasi. Perhatianku bukan kepada rumah itu, melainkan suasananya yang sepi. Dibawah pohon-pohon, banyak buah yang busuk sisa kelelawar. Ada mangga, rambutan, alfukat dan yang membuatku tertarik adalah buah manggis. Bisa-bisanya Ibu ini tidak merawat rumah seluas itu.

“Syuut,,,, jangan keluar sebelum ada aba-aba,” kata Ibu Sachiko sambil mengambil Kunci dari tasnya dan membawanya keluar Mobil.

“Enggi,,, belum sampai menjawab, Bu Sacihko sudah memberikan kode, Diam.

Aku semakin penasaran. Pasalnya, cara Ibu ini sangat mengundang birahi. Seolah-olah ada yang direncanakan dan bertingkah bak pemain sinetron tertentu yang ada ciri-ciri khususnya. Dari dalam mobil Bu Sachiko terlihat membuka pintu yang langsung tersambung  garasi.

Bu Sachiko masuk rumah itu. Lama, sekitar 5 menit baru keluar dan benar saja dia memberikan kode. Pakainnya juga berubah. Akupun keluar mengikutinya dan masuk dengan sejuta rasa. Ku perhatikan sekelilingnya. Di tembok ada beberapa photo yang terpampang, hanya itu. Photo Bayi yang baru lahir, jumlahnya sekitar 10 lebih dan Photo Sachiko ketika masih SD dan SMP, Cantik benar.

Saya perhatikan photo-photo itu. Yang membuat saya heran, ada photo bayi yang latarnya di kuburan, ada juga photo bayi yang masih berdarah. Mirip semua. Mengundang curiga dan menambah tanda Tanya, tapi  tak ingin bertanya. Khawatir Ibu cantik ini tak menyapa lagi berjam-jam

Sambil menunggunya entah ke ruang mana. Kondisi rumah itu sepi mimit. Tapi tak terasa angker, mungkin saja karena sering ditempati oleh sahabat Ibu ini.

“Nih minumnya,” sapa Bu Sachiko membuat kaget.

“Nggih, bu, jawabku seadaanya.

“Ayo diminum, ini udah siang lo, kamu pasti kehausan” tegurnya.

“Nggih bu, tapi,,,,ujarku

“Kamu curiga ini miras???

“Nggak bu,” jawabku.

Padahal Aku benar-benar curiga dan mulai merasa kurang nyaman. Pikiran mulai berontak, tapi perlahan kuatur emosi ini. Lalu meminumnya dalam hati berdo’a. Karena khawatir riset terkait keluarganya Sachiko terhenti, maka Aku ikuti saja kemauan Ibu yang dalam dua sangka ini.

Yang membuat agak emosi adalah bisa-bisanya, anaknya, Sachiko sahabatku dalam kedaan entah dimana dan bernasib bagaimana, malah Ibunya terlihat santai dan sama sekali belum menyentuh pembahasan itu. Mengapa saya lebih prihatin dengan kondisi Sachiko daripada Ibunya yang melahirkannya.

Perasaan ini campur aduk, pusing rasanya pasca minum itu. Ibu inipun mengajak ke kamarnya. Aku tak bisa menolak. Kepalaku terasa berat. Sesekali menatap wajah cantik itu, sesaat pula ingat diri yang masih berseragam putih abu-abu. Pengalaman yang belum pernah Aku alami. Pengalaman yang membuat lupa-lupa ingat.

(Bersambung,,,)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun